Part 4

581 83 22
                                    

Ali membanting kasar pintu mobil yang baru saja ia tutup. Darahnya terasa mendidih ke ubun-ubun, ketika mendegar Prilly dikatai pelacur seperti itu. Apalagi yang mengatakan itu Neneknya sendiri. Ali tak habis pikir, Nenek macam apa yang tega mengata-ngatai cucu kandungnya sendiri.

"Ali" lirihan pelan yang terdengar itu menghentikan langkah Ali. Prilly terlihat pucat dengan tubuh yang bergetar hebat.

Lagi-lagi, emosi Ali kembali terpancing melihat gadis yang ia sayang, ketakutan seperti ini.

"Apa?" tanya Ali dingin, setelah terdiam cukup lama. Ali kembali melanjutkan langkahnya, menuju satu kursi kayu, yang bisa ditempati oleh dua atau tiga orang.

Prilly menjatuhkan tubuhnya disamping Ali, yang sudah lebih dulu, duduk. "Pelacur itu apa?" Pertanyaan polos yang keluar dari mulut Prilly, membuat Ali menghela berat.

Lihatlah. Betapa polos dan lugunya Prilly. Diumur yang hampir memasuki tujuh belas tahun ini, Prilly masih bertanya apa arti pelacur.

Mungkin anak SD diluaran sana sudah paham dan mengerti apa maksud kata itu, sedangkan Prilly? Ah. Berdosa kah, Ali, jika mengatakan Prilly seperti anak TK?

"Pelacur itu bukan wanita baik-baik" Ali berusaha menjelaskan dengan kalimat yang sederhana, agar Prilly memahami ucapannya.

Prilly diam. Mencerna ucapan Ali. Matanya menatap langit senja yang mulai berubah warna menjadi orange.

Saat ini, mereka sedang ada ditaman kota yang tak jauh dari rumah Prilly. Ali sengaja membawanya kesini, karna tak ingin telinga Prilly mendengar lebih lanjut perkataan pedas Neneknya itu.

Prilly menoleh, "Berarti, pelacur itu wanita jahat?" Prilly menatap Ali dengan fokus. Ia masih penasaran dengan kata yang disebutkan oleh Neneknya tadi.

Ali mengangguk, "Iya. Makanya, kalau lo dikatai kayak tadi sama orang lain, lo harus balas. Jangan diam aja"

"Tapi kan, itu nenek aku, bukan orang lain" sanggah Prilly cepat.

"Lo tau nggak Prill, seseorang yang sangat dekat dengan kita, akan pantas dianggap orang lain, ketika sikap dan perlakuannya sudah melewati batas." Ali menatap lurus kedepan. Kedua tangannya mengepal kuat, karna masih dikuasi emosi.

"Aku nggak ngerti maksud kamu" Kernyitan di dahi Prilly semakin berlipat-lipat.

Ali menghela nafas pelan, mencoba meredam emosi yang sejak satu jam yang lalu, menguasainya.

Tidak pernah habis-habisnya penderitaan Prilly. Sejak ayahnya meninggal, Prilly tak lagi merasakan kebahagiaan seperti remaja lain pada umumnya. Tapi karna kepolosan dan keluguannya, itu semua menutupi rasa sakit dan kesengsaraan yang Prilly rasakan. Prilly belum terlalu mengerti, apa maksud rasa sakit. Yang Prilly tau, sakit itu hanya luka dibagian kaki dan lutut, bukan hati.

"Kalau nggak ngerti, nggak usah dipikirin. Nanti rambut lo botak." ingat Ali pura-pura serius.

Prilly menoleh cepat pada Ali, "Kamu serius, Li?" tanyanya polos.

Ali mengangguk, mengiyakan. Setidaknya, dengan membuat gurauan kecil seperti ini, bisa mengalihkan sedikit perhatian Prilly dari ucapan pedas Neneknya tadi.

"Lo mau pulang?" tanya Ali mulai tenang. Emosinya perlahan hilang, digantikan dengan senyum hangat saat ia menatap wajah polos Prilly.

"Iya. Ini udah malam" Prilly melirik jam yang melingkar ditangannya. Hampir pukul setengah tujuh malam. Itu artinya Prilly harus segera kembali kerumah. Apalagi ia masih mengenakan seragam sekolahnya yang belum sempat ia ganti, karna Ali sudah lebih dulu menyeretnya ke mobil dengan cepat.

Cinta Secangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang