Part 10

602 98 25
                                    

Sinar matahari pagi dilangit yang cerah, terkalahkan dengan senyum manis dari seorang laki-laki tampan yang sejak tadi malam memancarkan binar. Ali —laki-laki itu tidak merasa mengantuk sedikitpun. Padahal ia baru saja tertidur pukul dua malam tadi, karna sibuk bertelfon ria dengan Prilly —pacar barunya. Ralat, tunangannya.

"Buru-buru amat sih, Li." Suara dari ruang tamu, menghentikan langkah Ali yang hampir diujung tangga.

Ali menoleh ke asal suara. Laki-laki itu sedang asik membolak-balik korannya. Tak asing lagi dengan aktivitas rutin sang ayah, tapi, bukankah hari ini ayahnya itu dinas ke luar kota?

"Ayah kok disini?" tanya Ali menghampiri sang ayah.

Reno menutup korannya,  menatap Ali yang baru saja duduk disampingnya, dengan satu alis yang terangkat.

"Ini rumah ayah, loh, bukan rumah pembelian kamu." Reno tersenyum puas karna berhasil membalas telak ucapan Ali.

"Ali tau, Yah. Tapi kan, maksud Ali itu, bukannya ayah hari ini dinas ke Bandung? Kok masih disini."

"Ayah kamu mager katanya, Li. Mau santai aja hari ini." Anita yang baru saja membawa nampan yang berisikan kopi, menyerobot ucapan Ali.

"Buat Ali mana, Bun?" Ali protes saat kopi itu hanya satu gelas.

Reno dan Anita mengernyit heran. Sedikit kaget dengan penuturan Ali barusan. Kopi? Bukankah Ali trauma dengan kopi.

"Bunda nggak salah dengar, kan? Kamu minta kopi? Tumben." Anita memastikan bahwa kupingnya masih berfungsi dengan baik.

Ali berdiri dari duduknya, menyalami tangan Reno dan Anita bergantian.

"Ali pamit, ya. Mau jemput tunangan dulu." Ali berlari keluar rumah setelah mengangkat jari manisnya, memamerkan cincin putih yang sedang ia pakai.

Sebelum Ali benar-benar melajukan mobilnya, samar-samar Ali mendengar Ayah dan Bundanya berteriak meminta penjelasan. Ali terkekeh, dan bergegas memutar stir menuju rumah Prilly.

✒✒✒✒

Klakson mobil Ali yang sejak tiga puluh detik yang lalu berbunyi nyaring, membuat Prilly berdecak.

Gadis itu baru saja memakai lipbalm tipis yang melembabkan bibirnya. Tapi klakson mobil Ali membuat aktivitasnya jadi terganggu.

"Biasa aja dong, natapnya." Prilly bersungut melihat Ali berdiri di depan pintu kamarnya, dengan tangan yang dilipat ke dada. Terlebih laki-laki itu menatapnya datar, tanpa ekspresi sedikitpun.

"Udah?" balas Ali singkat.

Prilly mengangguk. Ia menyambar tas ransel coklatnya, kemudian melengos keluar mengikuti langkah Ali. Hari ini, ia tidak pamit dengan Reyna karna Reyna sudah berangkat kerja sejak pukul lima, subuh tadi.

"Kok pakai mobil?" protes Prilly saat melihat mobil mewah Ali terparkir didepan pagarnya.

"Lo nggak lihat ini mau hujan?" Ali menatap ke atas langit yang mulai gelap.

"Nanti kalau macet gimana? Aku nggak mau telat, ya." peringat Prilly.

"Nggak usah takut. Ntar Gue jalan gang tikus. Lo mungil, pasti muat masuk sana." setelahnya, Ali memutar stir meninggalkan rumah Prilly.

Dan benar saja, belum sampai dua menit Ali mengendarai mobilnya, rintik hujan itu turun membasahi kaca depan mobilnya.

Ali melirik jam tangannya. Pukul enam lewat lima menit. Jalanan pagi ini cukup lengang. Apalagi cuaca yang kurang bersahabat membuat pengendara roda dua berteduh dipinggir toko yang belum buka. Hujannya tidak terlalu deras, tapi cukup bisa membasahi rambut orang-orang yang tidak memakai penutup kepala.

Cinta Secangkir KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang