Dukuh Kembang

153 10 0
                                    

Kamituo yang menjadi punggawa dibawah kepemimpinan Nyai Kembang adalah sesosok laki-laki dengan wajah tampan bertaring, sambutan nya menuntun kami berdua tanpa mampu menolaknya.
Mengikuti langkah kakinya memasuki gapura yang beraksarakan jawa itu, menyibak kabut dan didepan sana sudah terlihat desa.

Namun sebelum memasuki kedalam desa kami lebih dulu diberhentikan di pemakaman.
Banyak sekali kuburan bercungkup tanah, dengan kijing nisan dari batu yang terukir nama orang yang dimakamkan.
Terdapat satu makam baru dipekuburan ini, masih basah tanah juga taburan bunga nya, sebuah kendi tanah menghias, dengan tulisan di nisan itu nama ku.

Mata ini hanya menyaksikan itu, lalu menatap kearah kang Armani juga Ki Joyo Sukmo sang kamituo desa.

"Kenapa ada makam aku disini?"
Tanyaku dalam hati.

Sebuah senyum yang memperlihatkan sepasang taring itu pun mulai membuka suara.

"Aden sudah ditunjuk Nyai, beliau suka dengan kehadiran kisanak. Jadi kalau sudah ada nisan di tanah ini maka sudah menjadi bagian dari dukuh Kembang."
Penjelasan sosok itu pada ku seakan bisa membaca batin ini.

Kenapa aku? Aku masih ingin hidup normal di dunia luar sana, dan wujud Nyai Kembang itu sendiri seperti apa, cantik atau menyeramkan sama sekali tidak aku tau.

"Tidak ada yang akan tinggal disini."
Kata kang Armani.

Perkataan itu sontak membuat kaget juga melalaknya mata sang'punggawa. Rasa heran itu terlihat.

"Bagai mana Aden bisa berbicara dialam ini tanpa saya ijinkan?"
Tanya sosok itu.

"Apa yang bisa melebihi kekuatan doa kepada tuhan ku?"
Ucap kang Armani.

Lalu laki-laki itu mengajak kami meninggalkan makam yang bertuliskan nama ku. Menuju masuk kedalam desa, semua rumah terlihat hampir sama dengan pelataran yang sangat luas. Dipadati oleh manusia-manusia berpakaian pendaki, muka sangat terlihat sepucat mayat, raut nya menunjukan rasa kesedihan.

Saat kami melewati rumah-rumah ini, tatapan mereka menuju kearah kami, seakan meneriakan sesuatu yang entah itu apa, namun yang jelas mereka ini lah nama-nama yang ada di batu nisan pemakaman itu.
Mereka terjebak didalam dukuh ini tanpa bisa kembali.

Sampai kami berhenti disebuah aula pelataran yang dipadati para pendaki, semua dengan expresi yang sama bermuka pucat dengan raut kesedihan. Sampai dibelakang ku terdengar dua suara seperti geraman harimau juga dengkuran babi.
Tiba-tiba semua bersujud dan menunduk hanya menyisakan kami berdua yang masih berdiri.

Ku balikan badan dan memang harimau loreng dengan seekor babi sedang berjalan kearah kami, sampai berubah menjadi dua sosok wanita.
Harimau menjadi sosok wanita berkebaya merah, babi menjadi wanita berkebaya putih, yang menjadi pembedanya yang satu terlihat muda dan sangat cantik, satunya lagi lebih tua walau tetap cantik dengan rambut putihnya.

Merinding semua tubuh ini bukan karena takut, tapi karena sangat sadar jika kini berdiri di atas dimensi astral, dan membayangkan andai aku seperti mereka yang ada disini.

"Nyai Ratu, Nyai Ayu."
Kata Ki Joyo Sukmo.

hanya anggukan pelan dengan senyum sosok itu menjawab, yang lalu berdiri dihadapan ku.

"Ini manusia yang akan jadi menantu disini."
Kata Wanita berambut putih itu.

"Iya kanjeng Ratu."
Jawab wanita muda.

"Apa ini?"
Tanyaku dalam hati, karena mau berucap pun tidak bisa.

"Anak ku, kamu manusia yang dipilih Nyai Kembang sebagai suami, tanpa syarat, tanpa penolakan."
Kata Wanita siluman babi itu.

Hanya didalam hati ku terus beristigfar mengabaikan pertanyaan-pertanyaan hati, terus ucapkan lafas itu sampai tidak terdengar sepatah kata pun dari mereka.

****

Suasana di dalam dukuh seperti sehabis subuh, Langit memerah, semua terlihat temaram, remang-remang.
Penghuni rumah-rumah disini semua berwujud babi juga harimau yang bisa menjelma seperti manusia, yang laki-laki berpakaian hitam berikat kepala merah, sementara wanita berkebaya merah dengan rambut panjang terurai. Anak keturunannya pun sama seperti itu.

Disini yang membedakan hanya para pendaki dengan pakaian mereka masing-masing, terlihat tumpukan tas gunung dihalaman rumah yang pasti itu milik mereka. Banyak berbagai carriel dari jaman dulu sampai merk di jaman sekarang, menandakan mereka berkumpul sudah dari yang lama sampai di jaman ini.

Aktivitas normal seperti layaknya dunia luar sana, semua memiliki peranan masing-masing, terlihat berinteraksi dengan sesama, hanya para pendaki itu seakan tidak dipedulikan sama sekali, dibiarkan begitu saja. Atau kerena baru menyaksikan saja, semua itu pun jadi pertanyaan dalam diri.

Sampai diantarnya kami berdua disebuah kamar yang sudah dipersiapkan disalah satu rumah warga desa, kamar berdindingkan papan kayu, berdipan dari bambu.
Disini kami duduk berdua termenung dibawah pencahayaan lampu sentir.

"Kamu harus kuat bro, Kita bisa keluar dari sini percaya lah."
Kata kang Armani pada ku.

"Iya kang, jadi harus bagai mana kedepannya?"
Tanya ku.

"Tetap bedoa, ikuti saja bagai mana caraku nanti. Tetap fokus."
Imbuhnya.

"Iya kang."
Jawabku.

Dan didalam kamar ini semua yang ada pada ku kembali normal, badan sudah terasa ringan, juga bisa ngobrol seperti biasa. Sangat jauh berbeda dengan awal masuk ke Dukuh tadi.

****

Sampai terdengar ketukan pintu, lalu masuklah laki-laki tua dengan pakaian yang sama seperti yang lain. Dia mengantarkan makanan juga kendi minum.

"Aden berdua makan, sehabis itu istirahat saja, jangan keluar rumah kalau ingin selamat."
Katanya.

"Pak, sebenarnya kenapa harus saudara saya yang dipilih Nyai Kembang sebagai suami?"
Tanya kang Armani.

"Itu sudah jadi pilihan Nyai Ayu."
Jawabnya, sambil pergi keluar kamar.

Hanya belum tau kenapa aku yang disukai sosok penunggu Merbabu ini, tapi kenapa melalui orang lain dia harus berinteraksi tidak secara langsung dengan ku.
Semua masih belum menemukan jawaban, sampai larangan bapak tua pemilik rumah ini; agar kami berdua tetap didalam saja tanpa diijinkan melihat keluar sana.

Kembali kepada sang pencipta alam semesta saja semua doa dan permintaan pertolongan hati ini meminta, segala yang sudah harus dilalui pasti akan memiliki jalan keluar dengan tuntunan Iman.

****

Sangat tidak bisa dicerna oleh akal normal manusia, tapi percaya dan tidaknya semua itu nyata ada nya dan ini yang aku lalui dimasa itu.

Memang diusia ku saat itu masih berselimut kesombongan diri, menganggap gunung itu mampu ditaklukan dengan kemampuan diri.
Semua itu sangat salah, jika ingin menapaki dunia luar dan liar tempat para jin, harus berniat dengan suci hati, dengan langkah yang disertai doa juga restu orang tua.
Usia muda terkadang lalai akan bentuk sopan santun, melupakan jika diri ini hanya datang sebagai tamu.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DUKUH KEMBANG (MERBABU) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang