Dukuh Kembang 3

93 8 2
                                    

Kembali masuk pemilik rumah namun kini yang masuk beda, wanita dengan kebaya merah, rambut panjang dengan badan agak gemuk, sosok itu memberi tahukan agar kami bersiap-siap, sebentar lagi utusan Nyai Ayu akan datang menemui.

Kembali kami berdua hanya diam mendengar penjelasan itu, sangat enggan rasa nya mau menjawab pernyataan pemberitahuan itu.
Yang bisa kami berdua lakukan hanya diam terduduk,tanpa bergeming.
Yang terdengar hanya wanita itu menguik seperti babi lalu meninggalkan kami.

Tidak seberapa kami berdua dijemput lalu diajak kesebuah pendopo desa di sana sudah terlihat beberapa orang yang duduk dan ditengahnya terlihat Nyai Kembang juga duduk disebuah bangku yang ukuran nya agak besar dengan ukiran ditempat pegangan tangannya, harimau disebelah kanan yang disebelah kiri berbentuk Babi.

"Silahkan duduk."
Katanya terdengar sangat lembut.

Dengan duduk di bangku yang ada dihadapannya kami berdua hanya mengikuti arahannya.
"Ini Nyai Kembang itu, manusia yang berwujud harimau loreng itu.", batinku mulai menjawab pertanyaan ku sendiri.

"Iya aku Nyai Kembang. Pemimpin Dukuh Kembang ini."

Tiba-tiba sosok itu menjawab pertanyaan batin ku. Disitu langsung aku hanya tertunduk membaca istigfar.
Terlihat tatap matanya tajam menelisik kami kearah ku, dengan sunggingan senyum. Semua gambaran itu terlihat tanpa mata ku memandang hanya gambaran yang melintas didalam fikiran ku.

"Apa kakang bersedia menjadi suami ku?"

Pertanyaan nya terdengar tanpa aku jawab, sampai ketiga kalinya pertanyaan itu terucap.

"Hey Iphend Alzikra bin Alwinoto anak manusia, sekali lagi aku bertanya apa kamu bersedia menjadi suami ku dan memimpin Dukuh ini?"

Ketika nama almarhum bapak pun disertakan nya langsung aku angkat kepala dan menjawab.

"Saya tidak bersedia."

Aku sangat tau jika itu akan memicu amarah penunggu lereng Merbabu ini, tapi ini jawaban hati yang siap menerima apa pun resiko didepan ku.

"Kalau begitu kamu akan mati disini."
Imbuh ucapan Nyai Kembang.

"Tidak akan ada yang mati disini, urusan kematian itu milik Allah."
Kata kang Armani membuka mulut yang dari tadi hanya terdiam.

"Lancang kamu, aku tau kamu memiliki kemurnian jiwa tapi tidak selayaknya mencampuri urusan ku, kamu cukup diam menjadi saksi untuk sahabat mu."
Marah itu terucap, dengan cengkraman jemarinya yang terdengar menggeretak.

"Apa Nyai lupa jika diluar sana kami dipersilahkan masuk hanya sebagai tamu, tidak lebih."
Kang Armani yang menjawab dengan pandangan tajam ke arah Nyai Kembang.

Lalu geraman terdengar dari seluruh sosok yang terduduk disitu, seakan sangat marah mendengar ucapan kang Armani.
Namun Nyai Kembang hanya tersenyum sambil terlihat lebih tenang dibarengi oleh ketenangan yang lain nya.

"Jiwa manusia yang masuk keDukuh Kembang tidak akan pernah bisa kembali tanpa seijinku."
Kata itu terucap disunggingan senyum sinis Nyai Kembang.

"Kenapa kami yang dipanggil sebagai tamu harus tersesat ke alam ini, seperti ini sikap kalian sebagai tuan rumah? Harus mengantarkan jiwa tanpa bersalah untuk kalian makan?"

Kini bukan hanya gertakan kang Armani mengucap tapi dengan nada yang keras dan bangkit dari duduknya seraya menunjukan amarahnya.

Ditangan kanan nya juga aku lihat cahaya putih keluar entah itu cahaya  apa yang jelas sahabatku ini sudah tidak main-main lagi.

Punggawa juga sosok yang terduduk disitu juga matanya sangat mengerikan menatap dengan menyala, taring terlihat dalam geraman mereka, kuku mulai tumbuh memanjang dijemari itu.

Aku yang hanya menyaksikan semua kejadian itu mengamati dengan seksama, satu persatu perubahan yang terjadi dimasing-masing maghluk siluman ini.
Bersiap-siap jika akan terjadi suatu pertempuran, aku yang tidak memiliki apa-apa akan melawan walau mati.

"Sudah terlalu banyak jiwa manusia disini, dengan jasad yang kalian makan. Apa itu semua masih kurang?"

Ucapan tanya yang membuat bangkit Nyai Kembang dari duduk nya.
Lalu keluar Nyai Ratu dari badan Nyai Kembang.
Hingga dua sosok wanita itu berdiri dengan amarah.

"Aku tau siapa yang berdiri dalam dirimu, sampai kau berani gemparkan Dukuh ini. Kalian semua duduk."
Wanita tua berkebaya putih dan berambut putih itu berkata.

Mendengar perintah itu semua duduk dengan disusul sahabatku yang kembali duduk disebelah ku.
Sesaat semuanya hening tanpa ada yang memulai pembicaraan, sampai alam yang semula remang-remang terlihat seperti siang hari yang terik.
Semua mata mereka terpejam, dan disini aku mulai bingung lagi, mengamati mereka.

Mengalihkan pandangan ku kearah pendaki yang bergerombol, semua kepala menghadap ke langit, namun kembali semua kepala itu sudah menjadi wujud berbagai hewan.
Mulut terbuka asap putih tipis masuk kedalam nya.

"Ya Allah apa ini?"
Tanya ku dalam hati.
Sampai tidak terasa aku berdiri mendekati semua maghluk yang berpakaian pendaki itu, telinga aku mendengar rintihan kecil dari mulut-mulut mereka..
Iiiiiikkkk (rintihan yang seakan menahan kesakitan).

Hanya terus menyebut asma illahi aku melihat kejadian ini, ketika menoleh kearah pendopo itu lagi, semua sudah hilang termasuk sahabat ku kang Armani.
Terkejut dalam hati ku, sampai membuat sesak nafas ku..

Astagfirullah
Lafas itu terus yang aku ucapkan.

Langkahku mendekati bangku kosong didalam pendopo lalu terduduk di bangku yang menjadi tempat duduk ku tadi, namun seketika aku sudah terduduk didalam bilik kamar dengan kang Armani.
Semua nyata terasa, bahkan sangat teringat semua kejadian dari awal masuk, dari berulang-ulang kejadian, sampai pertikaian juga fenomena perubahan alam serta penglihatan para pendaki itu.

"Astagfirullah"
Hanya itu yang keluar dari dalam mulut ku.

"Kita keluar dari sini, semua ini sudah usai."
Kang Armani memberi tahu ku.

"Usai bagai mana kang?"
Tanyaku masih dalam hati yang berdegup kencang merasakan keganjilan ini.

"Nanti akan aku ceritakan diluar sana, semua sudah beres bro."
Terucap kata itu dengan hiasan senyum nya.

Sampai diketuknya pintu, lalu masuk wanita tadi yang bertubuh gemuk memberi tahukan.

"Aden berdua sudah boleh pulang, nanti akan diantar oleh Ki Joyo."
Pungkasnya lalu meninggalkan kami berdua.

Aku yang hanya tidak tau arah dan ranah semua ini, seperti ini akhir kunjungan kami kedalam desa ghaib lereng gunung, masih memiliki berbagai tanya.
Bukan karena usainya bertamu, tapi lebih tertuju ke kang Armani yang entah apa dia lakukan untuk menyelesaikan semua ini.

****

"Mari saya antar kisanak berdua untuk pulang."
Kamituo itu berkata lalu mengantarkan kami keluar Dukuh, dengan jalan yang sama seperti saat kami masuk, melalui perkuburan.
Dan nisan yang tertulis nama ku itu kini berubah menjadi nama Ahmad Armani.

"Kang."
Kata ku sambil menunjukan tulisan batu nisan itu.

Namun dia hanya tersenyum sambil menepuk pundak ku sambil berkata.

"Ayo pulang, dunia mu bukan disini."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






DUKUH KEMBANG (MERBABU) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang