Lelaki Pemabuk

1 0 0
                                    

Siang ini, kami sengaja meluangkan waktu untuk bicara dari hati ke hati. Kak Rian menceritakan semuanya tentang apa yang ia rasakan. Aku pikir, karena dia seorang anak laki-laki sifatnya akan lebih cuek dariku. Nyatanya, laki-laki yang umurnya beda lima tahun lebih tua denganku itu juga merasakan hancur yang teramat dalam. Ditinggal seorang ayah yang awalnya menjadi panutan sekarang menjadi orang yang sangat ia benci.

Terdengar suara pintu terbuka dari luar, tak ada ketukan pintu atau salam sebelumnya. Aku dan Kak Rian yang sedang menonton tv langsung menoleh. Tangan Kak Rian terlihat mengepal kencang di samping celana. Kemarahan mulai terlihat diraut wajahnya saat melihat dua orang yang tiba-tiba masuk tanpa salam itu.

Wajah orang yang selama dua bulan ini tidak ingin aku lihat. Wajah orang yang menjadi sumber masalah keluarga kami. Wajah orang yang ingin sekali aku bumi hanguskan saat ini juga. Wajah orang yang sudah menyakiti hati Ibu. Kalau saja aku tidak ingat ia adalah orang tuaku, sudah kupastikan dia akan babak belur saat ini juga.

Kak Rian mengubah posisinya menjadi berdiri dan menatap geram. Laki-laki itu masuk bersama wanitanya dan mulai berjalan mendekat.

“Hai, Rian. Kau tampan, persis seperti Ayahmu,” ucap wanita itu lalu tersenyum.

‘Cih, sok cantik' batinku.

“Oh, ya. Aku Alinna. Sebentar lagi akan menjadi istri Ayahmu.” Wanita itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Nampak Kak Rian tak memperdulikannya.

“Cobalah kalian bersikap baik pada calon Ibu kalian yang baru.”

“Ibu baru? Oh ... aku tak akan pernah sudi memiliki Ibu seperti dia.” Kak Rian memandang wanita itu dari atas sampai bawah.

“Rian,” desis ayah.

Setelahnya terjadi hening cukup lama. Aku masih memperhatikan wanita itu.

“Untuk apa kalian kemari?! Belum puas?!” Kak Rian semakin geram.

“Ayah hanya ingin bertemu kalian,” jawab ayah dengan nada datar sambil merangkul wanita di sampingnya itu.

“Sayangnya Luna gak mau ketemu sama Ayah. Cukup, yah. Cukup nyakitin Ibu dan kita!” ucapku mengiba.

“Buat anda.” Kak Rian mengarahkan telunjuk ke wanita itu. “Apa anda gak punya keluarga? Coba bayangin kalau Ayah anda selingkuh dengan wanita murahan seperti anda,” lanjitnya.

Aku menarik nafas dan membuangnya secara perlahan. Menahan sesak, menahan airmata agar tidak tumpah. Bersikap kuat di depan Ayah, agar dia berpikir aku bukan seorang anak yang lemah.

“Apa anda pernah berpikir sejauh itu. Ayahnya direbut wanita murahan. Pernah gak si anda mikir bagaimana nasib anak-anaknya?” tambahnya dengan nada sinis.

Seketika satu tamparan keras mendarat di pipi Kak Rian. Aku tak menyangka Ayah akan melakukan itu.

“Jaga bicaramu, Rian!” Teriak Ayah.

“Kenapa? Anda tidak suka, wanitanya saya sebut wanita murahan?” Nada Kak Rian semakin meninggi, aku tak mampu lagi membendung air mata. Membiarkannya luruh mungkin akan mengurangi sedikit sesak.

Lagi-lagi ayah melayangkan satu tonjokan keras tepat di pipi kanan Kak Rian. Laki-laki dewasa itu mencengkram kerah baju Kak Rian dengan wajah memerah karena emosi.

“Cukup, Yah,” ucapku dengan nada bergetar. Perlahan ayah melepas cengkraman itu.

“Luna mohon cukup.” aku semakin tak bisa menahan tangis. Aku memeluk Kak Rian lalu menatap Ayah dan wanita itu bergantian dengan tatapan geram.

“Pergi kalian dari rumah ini. Atau saya akan bertindak lebih nekat lagi.” Bentak Kak Rian seraya menunjuk ke arah keluar rumah.

*****

Entah siapa yang patut disalahkan atas hancurnya seorang anak. Dirinya sendiri, lingkungan, orang tua, atau ... takdir?

Rian POV

Azan subuh berkumandang dari masjid dekat rumah saat aku berjalan limbung melewati orang-orang yang berjalan memenuhi panggilan-Nya. Matahari yang belum sepenuhnya keluar membuat pandamgan yang sejak tadi terasa kabur semakin tak karuan. Beberapa orang menatap sinis, sesekali berbisik dengan orang di sebelahnya. Beberapa yang lain hanya menatap iba.

Aku menggeser pagar bercat hitam yang sengaja tidak dikunci. Entah kali keberapa aku pulang dalam keadaan mabuk. Wanita di rumah ini pasti sengaja melakukannya agar aku tidak tergeletak begitu saja di luar pagar. Semenjak perceraian itu, aku jadi bersahabat dengan botol alkohol. Mungkin ini cara pelampiasan paling sempurna menurutku.

Dengan tubuh sempoyongan, aku tersungkur di depan pintu saat akan mengetuknya. Sekuat tenaga aku berusaha mengetuk lebih keras lagi agar bisa segera merebahkan diri di kamar. Sosok dengan balutan mukena putih keluar dengan wajah teduhnya. Mendekat saat tubuh ini terduduk lemas menyandar di dinding teras. Lembut, tangannya terulur menahan tubuh ini dan memapahku berjalan.

Aku setengah tersadar saat tangan lembutnya menyapu rambutku yang menutup wajah dan menatap lekat. Sesaat dia meninggalkanku dan kembali dengan segelas air lemon yang ditambah madu untukku. Tak ada kata yang teurcap darinya. Tidak marah, menangis, atau menasihati. Wanita itu hanya diam dan tetap memperlakukanku dengan sebaik yang dia bisa. Beberapa saat kemudian, ia pergi meninggalkanku di sofa ruang tengah ini.

Memijat dahi untuk menghilangkan pusing efek minuman itu sambil rebahan, hanya itu yang bisa aku lakukan. Sejak kepergian lelaki itu, aku kehilangan banyak kata. Semakin sulit untuk bicara, bahkan bingung dengan apa yang dirasa. Aku pernah mendengar dari seseorang, “Semua akan indah pada waktunya.” Bullshit!

Bagaimana bisa seorang anak terbiasa melihat sosok yang menjadi super heronya dulu, sekarang menjadi sosok yang begitu jauh dan menghancurkan. Mungkin akan lebih mudah jika salah satunya mati, atau tidak saling berhubungan sama sekali. Bukannya meninggalkan, tapi enggan melepaskan. Menciptakan bahagia sendiri tapi menghancurkan separuh atas dirinya.

 

Luka AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang