Surat Perceraian

1 0 0
                                    

Aku duduk di kursi kayu yang berada di balkon kamarku, menatap kosong ke depan. Jiwaku memang di sini, tapi pikiran melayang entah kemana. Dadaku semakin sesak mengingat kejadian tadi.

Tamparan, bentakan, kemarahan, dan tangisan itu terus mencambukku setiap saat tanpa ampun. Bahkan aku dapat mengingat sangat jelas. Semua seperti sudah tersimpan di dalam sel otakku yang paling jauh dan terdalam sehingga membuatku sulit untuk melupakan.

Aku menarik napas dalam-dalam berusaha menghilangkan sesak yang dari tadi menggangguku.

“Tenang aja, ada aku di sini. Kamu nggak akan merasa sendirian.” Suara itu mecahkan lamunanku.

“Satya.” Aku kembali tak percaya dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

“Mereka itu udah nggak sayang sama kamu. Mereka hanya mementingkan ego masing-masing tanpa memperdulikan perasaan kamu. Iya kan?” ucapnya saat duduk di sampingku.

Aku kembali terisak. “Jangan nangis, aku akan setia berada di sampingmu, menemanimu dan tidak akan membiarkan kamu sendiri.” Lanjutnya meyakinkanku.

“Bagaimana kamu bisa hadir secara tiba-tiba, Satya?” tanyaku penasaran.

“Aku akan datang saat kamu merasa sedih. Sudah jangan menangis lagi. Aku tidak jahat seperti mereka. Aku akan melindungimu.”

“Terimakasih, Satya.”

Aku merasakan seseorang menepuk pundak, lalu duduk di sampingku. “Are you okey, Lun?” Tepat disaat itu, tetesan airmataku mulai jatuh. “I'm here. Don’t cru,” bisik Kak Rian. Satya? Seperi biasa, langsung menghilang. Sejenis makhluk apa si dia?

Kak Rian mengahapus sisa airmataku dengan lembut. Perlakuannya justru membuat semakin tambah terisak. Rasanya aku ingin menanyakan semua pertanyaan yang mengganjal di otakku sekarang, tapi tidak bisa. “Tell me please,” justru kata-kata itu yang keluar dari mulutku.

Kak Rian menatapku dengan tatapan teduhnya. “not now, Lun.”

Aku kembali memohon kepadanya, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah ini. Dan Kak Rian tahu semua tentang hal itu.

“Okey, fine.” ia menghela napas panjang memegang kedua pundakku.

“Kamu tahu kenapa ayah jarang pulang atau selalu pulang malam dan pagi-pagi sekali sudah berangkat lagi akhir-akhir ini?” aku menggeleng lemah sebagai jawaban.

“Itu karena Ayah selama ini nginep di rumah sekertarisnya, Lun. Dan mereka ....” Kak Rian memejamkan mata. “Mereka khilaf. Ayah selingkuh sama wanita itu. Ibu tahu dari temannya yang kebetulan satu kantor sama Ayah. Teman Ibu bilang, Ayah sering mesra-mesraan di kantor. Dan ... aah.” Jelas Kak Rian lalu mengacak rambutnya frustasi.

Dadaku seperti dihujani batu kerikil. Airmataku masih terus mengalir tanpa henti. Punggungku bergetar hebat. Aku menatap Kak Rian dengan tatapan terluka. “you lied to me,” ucapku dengan tegas. It was a lie, right? Katakan kalau itu semua adalah kebohongan, Kak!” ucapku setengah berteriak dan kemudian kembali terisak.

Kak Rian memelukku, ia menenggelamkan kepalanya di pundak lalu mengelus punggungku dengan lembut. Tangisan ini semakin tidak bisa tertahan. “Kakak nggak bohong, Lun. Kakak tahu kamu bakal terpukul. Sama, Kakak juga ngerasain hal itu. Tapi ini kenyataan yang harus kamu terima,” ucapnya dengan pelan. Laki-laki itu menepuk pundakku dan beranjak pergi. Dengan cepat, aku menahan lengannya yang kekar, “They divorced?” tanyaku dengan nada lirih. Ia hanya tersenyum tipis, lalu pergi tanpa meninggalkan jawaban.

Luka AlunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang