PROLOG

27 7 5
                                    

"Katanya arti nama Blezinsky itu sebuah anugerah dari Tuhan, tetapi apakah benar aku adalah sebuah Anugerah?"

-Blezinsky Cadenza.

• • •

"Kak, kita mau kemana?" tanya seorang gadis kecil berusia delapan tahun, berambut hitam ikal sepunggung.

Kaki mungil yang terbungkus sendal jepit berwarna biru laut itu, terus berjalan mengikuti langkah kaki lebar sang Kakak. Beberapa kali kakinya tersandung batu, tetapi ia tidak mengeluh dan tetap melanjutkan jalannya.

"Kita akan ketempat yang indah Blez," balas sang Kakak antusias. Berbanding terbalik dengan tubuhnya yang bergetar menahan isak tangis, sedari mereka keluar rumah.

Blezinsky tersenyum cerah. "Benarkah?"

"Iya. Kamu pasti akan menyukainya," sahut Delio Athalla Kiandra. Kakak Blezinsky dan jarak usia mereka hanya terpaut dua tahun.

Jantungnya berdebar tak sabar sampai ke tempat yang dimaksud Delio. Sinar matahari yang menyengat permukaan kulit Blezinsky, tidak menyurutkan semangatnya untuk berhenti berjalan.

"Apa tempatnya masih jauh?" Baju dress hitam polos selutut yang dikenakan Blezinsky basah bermandikan keringat. Rambutnya lepek, wajahnya memerah, rasa haus menjalar di mulut mungilnya. Genggaman pada baju belakang Delio, tak pernah lepas. Malah semakin mengerat.

Tempo langkah kaki Delio melambat. Mereka telah sampai di sebuah danau luas yang memiliki air jernih. Bahkan, pantulan wajah merekapun terlihat di atas permukaan air.

Banyak pohon-pohon rindang yang mengitari sisi danau, begitu asri dan sejuk. Rumput-rumput yang menjulang tinggi sebatas lutut Blezinsky, terasa lembut. Tidak kasar dan tidak gatal di kulit

"Kita sudah sampai Blez!" Delio berbalik menghadap Blezinsky. Bola mata biru itu membulat bahagia, senyum manis seperti cokelat lumer, terbit di bibir mungil adiknya.

Blezinsky berjingkrak senang, tepuk tangan kagum terdengar nyaring di antara mereka berdua.

"Kau mendengarnya?" bisik Delio. Sorot matanya memperhatikan bunga-bunga teratai putih yang mengapung indah di tengah danau.

Blezinsky menajamkan indera pendengarnya. Suara air bergemuruh, aroma tanah bercampur serbuk bunga, terdengar berisik di sisi kanannya. "Air terjun?"

"Iya. Disini sangat indah Blez, banyak kupu-kupu berterbangan di sekitarmu," jelas Delio.

"Dimana kupu-kupu itu? Aku ingin sekali menyentuh mereka," tanya Blezinsky. Tangannya menggapai-gapai ke depan, berharap ada satu kupu-kupu yang hinggap di jari-jari mungilnya.

Delio menoleh kesana-kemari mencari kupu-kupu di dekatnya. Perlahan, Delio berjalan seperti pencuri. "Aku berhasil menangkapnya Blez. Kamu ingin memegangnya?"

"Wah! Aku ingin memegangnya!" seru Blezinsky. Tangannya terulur ke depan, meminta Delio untuk menaruh kupu-kupu itu di telapak tangannya.

"Seperti apa warna kupu-kupu ini Kak?" Blezinsky memiringkan kepalanya ke kanan. Mata bulatnya berkobar seperti api, rasa ingin tahunya memuncak.

"Biru. Sama seperti matamu, indah dan berkilau." Delio membelai lembut pipi gembul Blezinsky. Cairan bening melapisi bola matanya, sekuat tenaga Delio menahan cairan itu agar tidak jatuh membahasi pipinya.

"Duduklah dan lepas sendalmu," titah Delio seraya mendorong pelan bahu Blezinsky.

Blezinsky menurut. Ia terlebih dahulu melepas sendalnya, lalu duduk dengan lutut yang tertekuk. Kupu-kupu di tangannya sudah ia lepaskan, membiarkan kupu-kupu itu terbang bebas dan berkumpul bersama kawan-kawannya.

"Dingin!" Blezinsky yang hendak mengangkat kaki dari permukaan air, ditahan Delio.

"Tahanlah. Dinginnya tidak bertahan lama Blez dan ini akan terasa menyenangkan!" desak Delio disampingnya.

Blezinsky terdiam dan berusaha menyamakan diri dari dinginnya air danau. "Kak. Apa Ayah tidak marah kita keluar diam-diam dari rumah?"

Delio tersenyum pedih. Justru ini alasan Delio mengajak Blezinsky ke sini, bermain sepuasnya tanpa harus terkurung di ruangan besar yang menurutnya seperti neraka.

Adiknya selalu dipaksa untuk bermain piano oleh sang Ayah setiap hari. Tanpa makan dan minum, tubuh mungil Blezinsky akan mendapat siksaan ketika mendapat kesalahan saat menekan tuts Piano.

Delio mengerti, sang Ayah tidak menerima kekurangan di hidupnya. Keluarga Kiandra terlahir sebagai pengusaha dan pianis terkenal. Maka dari itu, Kiandra harus terlihat sempurna di depan banyak orang.

"Ayah tidak akan marah Blez. Percayalah." Delio menyakinkan Blezinsky dengan menggenggam erat kedua tangannya.

Raut khawatir masih tersirat jelas di wajah Blezinsky. "Tapi-"

"Syut!" Delio menempelkan jari telunjuk di bibir Blezinsky. "Kamu tidak usah khawatir Blez. Ayah sudah mengijinkan kita bermain. Jadi, kamu harus menikmati waktumu selama disini, oke! Berjanjilah padaku!"

"Janji. Aku berjanji akan menikmati waktuku disini," riang Blezinsky.

Delio berbohong, ia telah berbohong. Sebenarnya ia mengajak Blezinsky ke sini karena Ayah mereka tengah marah besar entah karena alasan apa. Sebelum sang Ayah melampiaskan amarahnya kepada Blezinsky, Delio lebih dulu mengajaknya keluar.

"Kamu tahu Blez? Kupu-kupu ibarat malaikat alam. Mereka mengingatkan kita betapa berharganya hidup," ungkap Delio.

Blezinsky tersenyum, kepalanya ia angkat menatap langit yang katanya cerah. Delio dengan sigap, menghalau terik matahari yang menyinari wajah cantik Blezinsky.

"Cantik dan anggun. Bervariasi dan mempesona, tetapi mudah didekati," Delio menatap dalam-dalam wajah sang adik. "Kupu-kupu membawamu ke sisi cerah kehidupan dan setiap orang berhak mendapatkan kebebasan Blez."





-Blue Cadenza-

13-02-2020

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Blue CadenzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang