6# Back to Time

1.7K 253 19
                                    

Heinz mundur beberapa langkah guna kembali ke persimpangan koridor. Kepalanya menoleh ke kiri dan yang bisa ia lihat hanya lah kosong, tidak ada satu orang pun disana.

Padahal indra pendengarannya sudah jelas-jelas menangkap suara seseorang tengah memanggil dirinya tadi.

Pemuda itu mengangkat sebelah alisnya, berpikir mungkin saja ia salah dengar. Memilih mengedikan bahunya, Heinz melanjutkan kembali kegiatannya menyusuri koridor yang sudah terlihat sepi.

Namun, baru dua kali ia melangkah pikirannya menelisik kembali suara itu. Sepertinya ia mengenali siapa pemilik suara tersebut.

"Yildha?" Gumamnya pelan.

Heinz menepis jauh tebakannya yang mengira bahwa suara itu adalah suara milik adik tirinya. Lagian, kalau memang Yildha pelakunya, pasti gadis itu akan langsung menghampirinya jika ia tidak dengar bila dipanggil.

Memiliki sedikit gangguan pada indra pendengaran tidak membuat kehidupan sehari-hari Heinz terganggu semestinya. Hanya saja, akan terasa sulit baginya berkomonikasi dengan orang-orang di sekitarnya atau pun orang lain.

Seseorang harus perlu menggunakan intonasi yang bisa dibilang sedikit cukup keras bila memanggil nama Heinz.

Sesampainya di parkiran, Heinz segera berlari masuk ke dalam mobilnya. Entah mengapa dirinya tiba-tiba merasa ada sesuatu hal yang sangat mengganjal muncul di sekitarnya.

Menyentuh dadanya yang tengah bergerak naik turun, Heinz menyandarkan punggungnya pada kursi pengemudi. Sehabis berlari membuat nafas pemuda itu tersengal-sengal.

"Kamu siapa?" Heinz tersentak dan kemudian menoleh ke belakang, disana ia mendapati seorang wanita tengah duduk di kursi belakang penumpang mobilnya.

"Loh, seharusnya saya yang tanya. Ibu ini siapa?" Tanya Heinz balik membuat wanita itu mengerutkan keningnya bingung.

"Kamu salah masuk mobil, nak. Mobil kamu yang disebelah sana, bukan?" Jawabnya sembari menunjuk sebuah mobil berwarna hitam, tidak jauh dari tempat mereka berada.

Pupil mata Heinz seketika melebar, ia segera kembali menoleh ke arah samping dan yang benar saja di luar kaca mobil ia menemukan sebuah mobil hitam. Tentunya mobil tersebut adalah milik dirinya sendiri.

"Itu pacar kamu, udah nungguin dari tadi ibu lihat." Lanjut wanita itu membuat Heinz menoleh kembali ke arah nya.

"Saya minta maaf, bu." Heinz membungkukan tubuhnya beberapa kali sebelum akhirnya beranjak keluar dari dalam mobil wanita itu.

Bertepatan saat Heinz keluar, seorang laki-laki berumur terlihat mengahampirinya dengan raut wajah curiga.

"Kamu siapa? Kenapa bisa ada di dalam mobil nyonya??" Tanya laki-laki itu penuh selidik. Jika di lihat-lihat sepertinya laki-laki itu adalah sopir pribadi wanita tadi.

"Maaf saya salah masuk mobil. Sekali lagi maaf." Membungkukan tubuhnya lagi dan lagi, dalam benaknya Heinz merutuki dirinya sendiri. Karena terlalu gelisah dan terburu-buru membuat pikirannya gagal fokus.

Heinz segera berlari meninggalkan sang sopir yang sesekali memanggil dirinya. Heinz tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang di katakan laki-laki itu selepas ia pergi menjauhinya.

Memegang kenop pada pintu mobil, Heinz meringis karena ternyata pintu mobilnya masih dalam keadaan terkunci.

Arah pikirannya berkecamuk pada kejadian tadi. Dimana ia baru menyadari sewaktu masuk ke dalam mobil tersebut ia bisa membuka pintunya tanpa menggunakan kunci.

Benar-benar memalukan, pikir Heinz.

Heinz sama sekali tidak mengerti kenapa ia bisa seceroboh itu. Tapi yang pasti, ada sesuatu hal yang harus ia lakukan sekarang.

Pemuda itu mengambil kunci mobil di saku celananya. Setelah berhasil mendapatkan benda tersebut ia lekas membuka pintu mobilnya.

Namun, untuk yang kedua kalinya pikirannya kembali berkecamuk tentang perkataan wanita tersebut, yang menyinggung soal pacar.

Sejak kapan dirinya punya pacar?

Heinz mencari sosok perempuan yang dikatan. Namun, bukannya menemukan yang ia cari, netra Heinz malah tertarik kepada kedua sosok yang tengah melempari dirinya dengan tatapan aneh dari dalam mobil sana.

Berusaha untuk tidak peduli, Heinz memilih masuk ke dalam mobil. Menghidupkan mesin pada mobil dan kemudian perlahan menghilang dari pandangan kedua orang tersebut.

"Gak mungkin." Gumam Heinz sembari mengambil sesuatu di dashboard mobil.

Sebuah earphone ia pegang, meletakkan benda itu di telinganya dan kemudian mengambil sebuah handphone yang tergeletak bebas di kursi penumpang.

"Gisca sama Jay lagi dalam bahaya. Temuin mereka di jalan pintas dekat bukit."

"Maksud?"

"Gue gak bisa jelasin sekarang, Saga. Jangan sendirian, ajak Jake dan Adysa buat bantu lo. Jwan, suruh dia temuin gue di belakang rumah sakit J Jssòpa."

"Dari mana lo tau—"

"Gue udah bilang, gue gak bisa jelasin sekarang."

***

03 : 19 a.m

Neva mendongak guna melihat langit-langit dapur nya. Suara benda jatuh yang ia dengar beberapa menit yang lalu bukan berasal dari dalam apartmen nya, melainkan berasal dari lantai atas.

"Kucing kali, ya?" Gadis itu meneguk kembali air di dalam gelas yang tengah ia pegang.

Sambil melakukan kegiatan tersebut, ia mengira-ngira benda apa yang terjatuh sehingga menimbulkan suara yang bisa terdengar sampai ke lantai bawah.

Tidak berselang lama kemudian, Neva akhirnya menyudahi acara minum-minumnya. Ia memutuskan untuk kembali ke kamar, mengganti pakaiannya terlebih dahulu sebelum melanjutkan tidur nya yang sempat terganggu tadi.

Namun, pada saat langkahnya memijak lantai di ruang tengah, suara itu kembali muncul. Tapi, kali ini suara yang di hasilkan lebih keras dari pada yang sebelumnya.

Neva mengerutkan keningnya, sebenarnya orang-orang yang tinggal di lantai atas itu sedang melakukan hal apa? Pikir Neva.

DUK ! DUK !

Neva terkejut tak kala suara itu muncul dengan frekuensi yang lebih keras lagi. Lampu yang tergantung di ruang tamu nya sampai mengalami sedikit pergerakan akibat ulah suara tersebut.

"Bukan kucing, tapi manusia. Subuh-subuh gini pada ngapain sih, mereka?" Monolog Neva masih heran, sebelum suara lainnya menyapu gendang telinganya.

"Harava..., Harava...,"

Gadis itu memegang kedua telinganya, memberi titik pusat pada indra pendengarannya agar suara yang masuk barusan tidak salah ia dengar.

Neva menelisik bisikan demi bisikan tersebut dengan seksama. Hingga pada saat bahunya disentuh tiba-tiba oleh seseorang, ia tersentak kaget dan kemudian menoleh. Sedangkan sang pelaku yang tidak lain dan tidak bukan adalah Nevan, kembarannya.

Neva mengusap pelan dadanya, "Astaga, ngagetin aja lo." Kesalnya membuat Nevan menoleh ke arahnya.

"Suara apa tadi?" Tanya Nevan dengan muka bantalnya.

Ikut melirik kembarannya, Neva diam untuk beberapa saat. Seperti yang dirinya duga, pasti tidur Nevan terganggu akibat suara-suara itu.

Saat Neva hendak membalas pertanyaan pemuda tersebut, ia mengatup rapat-rapat bibirnya saat sesuatu yang berbeda pada diri Nevan berhasil menarik atensinya.

Tinggi badan mereka berdua hanya di bedakan beberapa centi. Jadi tidak sulit bagi Neva untuk menyentuh leher bagian belakang Nevan.

"Tengkuk lo, Van?"

Tbc.

[✓] MenthanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang