03. Permintaan Ummi

461 72 9
                                    

Sekitar pukul tiga lebih, Nayfa terbangun dari tidurnya. Jika kalian berpikir bahwa Nayfa tidur di samping Bu Nyai Biyah, maka jawabannya tidak. Mana berani dia tidur satu ranjang dengan Bu Nyai pondoknya. Ia tidur dengan duduk lesehan.

Perlahan ia melepas genggaman tangan Bu Nyai Biyah yang menggenggam tangannya. Setelah terlepas, dengan segera ia keluar dari kamar dengan hati-hati takut mengganggu. Ia memasuki kamar mandi samping dapur.

Tak lama setelah itu, Nayfa keluar dengan wajah yang basah karena air wudhu. Ia tak memakai jilbabnya dengan benar, hanya ia lilitkan dileher tanpa jarum.

"Aduh aku salatnya gimana? Orang enggak bawa mukena," ucapnya sembari menepuk kening pelan. Ia berbalik, dan di kejutkan dengan Gus Aksa yang berada di belakangnya.

"Allahuakbar," lanjutnya, dan memegang dadanya. Bukan hanya ia yang kaget tapi Gus Aksa juga, bahkan sampai mundur beberapa langkah.

"Ngapain, Mbak?" tanya Gus Aksa selanjutnya.

"A-anu Gus, itu-" jawab Nayfa gagap, bingung mau jawab apa.

"Anu?" sahut Gus Aksa bingung.

"S-saya mau salat, tapi saya lupa membawa mukena dari pondok," ucap Nayfa menjelaskan, ya meskipun takut-takut. Gus Aksa mengangguk. Lalu berbalik dari hadapan Nayfa.

Sedangkan Nayfa hanya mampu menatap punggung Gus Aksa yang semakin menjauh. Ia menghela napas. Ya, mungkin kali ini ia melewatkan salat tahajudnya.

"Ini, Mbak," ujar Gus Aksa sembari menyerahkan mukena beserta sajadah. Entah sejak kepan gus itu sydah berada di hadapan Nayfa lagi. Nayfa mengernyitkan keningnya bingung, gusnya memberinya mukena dan sajadah, untuknya? Tidak salah 'kan?

"Untuk saya, Gus?" tanya Nayfa memastikan. Gus Aksa terkekeh sembari menggelengkan kepalanya pelan.

"Bukan," jawabnya dengan senyuman tipis. "Tapi buat Mbak ya berada di belakangmu itu," lanjutnya sembari mengangkat dagunya sedikit. Seketika Nayfa mendelik takut. Percaya saja jika putra dari abahnya bisa melihat hal seperti itu. Dan sangat memungkinkan jika itu menurun pada anaknya 'kan.

"G-gus serius? Gus Aksa jangan bercanda," ujar Nayfa takut. Ia tak berani menoleh ke belakang, jangankan belakang, ke samping aja ia tak berani.

Gus Aksa terkekeh pelan. Masih adakah orang yang takut dengan hal yang begituan? Ayolah, makhluk paling mulia di muka bumi itu manusia, bukan makhluk itu. "Mbak-mbak masih aja takut dengan hal begituan."

"Y-ya, takut lah, Gus."

"Dasar. Umur berapa sih njenengan?" Tanpa mendengar balasan dari Nayfa, Gus Aksa langsung berbalik meninggalkan Nayfa sendiri. "Buruan salatnya, Mbak. Keburu subuh nanti," lanjutnya setelah berjalan beberapa langkah.

Dengan tekad, Nayfa menuju tempat yang menurutnya pas untuk tempat salat.

.
.
.

Pagi harinya Nayfa, sudah membantu masak di ndalem, ya meskipun hari ini bukan piketnya. "Mbak Nayfa, tadi malam nginep di sini tho?" tanya seseorang santri yang piket.

Nayfa tersenyum tipis. "Iya. Nemenin Bu Nyai."

"Mbak Nay Deket banget ya sama Bu Nyai. Atau mungkin Mbak Nay itu santri kesayangan Bu Nyai," timpal yang satunya.

"Apaan sih kalian. Engga juga, semua santri itu kesayangan Bu Nyai, enggak cuma aku doang."

"Beruntungnya Mbak Nayfa."

Nayfa malas menanggapinya, ia langsung menuangkan bubur yang baru ia masak, ke mangkok. Ia memasakkannya untuku Bu Nyai Biyah. "Aku duluan ya." Setelah itu ia menuangkan satu gelas air putih dan di bawanya ke kamar Bu Nyai Biyah.

Nayfa memasuki kamar Bu Nyai Biyah dengan pelan, tentunya sudah mengucapkan salam. Di dalam sudah ada Gus Aksa yang menemaninya, duduk di sebelah Umminya.

"Bu Nyai sarapan dulu ya, Nay suapin," ujar Nayfa duduk di kursi atom sebelah ranjang.

"Nduk Nay, masih ingat kan kata Ummah semalam," balas Bu Nyai Biyah. Nayfa tersenyum tipis. Ia ingat, tapi ia merasa tak enak saja ketika memanggil Ummah apalagi di depan Gus Aksa.

"Iya udah, Nay ulang. Ummah sarapan dulu, ya. Nay suapin," ujar Nayfa, setelah itu ia menunduk.

Gus Aksa mengernyitkan keningnya. Perasaanya tak enak ketika mendengar umminya meminta salah satu santriwati memanggilnya ummah. Semoga saja dugaannya salah.

"Aksa ke depan dulu ya, Mah," pamitnya sembari merangkak untuk ke pinggir ranjang.

"Jangan, di sini aja. Ummah mau bicara sama kamu nanti setelah sarapan." Gus Aksa hanya menyaksikan umminya di suapi oleh santriwati. Bukan masalah itunya, yang dipikirkannya sekarang. Sedekat itu kah umminya dengan perempuan yang tak jauh dengannya itu.

Setelah selesai dan meminum obat, Nayfa merapikan mangkok yang kotor untuk di bawanya ke dapur. "Nay duluan ya, Mah."

"Di sini sebentar ya, Ummah mau bicara. Mangkoknya taruh aja di atas meja dulu." Nayfa langsung menuruti perkataan Bu Nyainya, tanpa berani bertanya apalagi membantah. Meskipun ada banyak pertanyaan yang bersarang di kepalanya.

"Aksa, ummah udah berumur, Ummah ingin melihat putra bungsu ummah menikah, mumpung Ummah masih sehat-sehat. Jadi bisa menyiapkan dan membatu pernikahan putra Ummah," ujar Bu Nyai Ainah sembari memegang tangan kanan Gus Aksa.

Gus Aksa menunduk, ini pembicaraan serius. "Ummah, beri Aksa waktu ya. Aksa mau cari menantu buat ummah, nanti kalau Aksa sudah ketemu sama perempuan yang pas, Aksa aja bawa ke sini ketemu Ummah sama Abi."

Sedangkan Nayfa bingung, ini pembicaraan keluarga, tapi kenapa ia berada di sini. Dan anehnya ia tak di perbolehkan untuk keluar. Jadi, untuk apa ia di sini. Dan juga pernikahan Gus Aksa? Entah kenapa hatinya merasa tak terima, sedikit.

"Bagaimana dengan perempuan di samping Ummah, Sa? Ummi ingin memiliki menantu seperti Nayfa," ujar Bu Nyai Biyah.

Deg.

Keduanya langsung menatap satu sama lain. Seketika Nayfa langsung menunduk. Ia tak salah mendengar 'kan.

"Aksa menikahlah dengan Nayfa, dan Nayfa menikahlah dengan putra Ummah."

"Ummah," panggil Gus Aksa dengan nada bertanya. Benar dugaannya tadi. "Mbak Nayfa masih sekolah, Mi. Mana bisa."

"Bisa, Ummah bisa suruh Abi untuk merahasiakannya. Jika kalian setuju." Pandangan Bu Nyai pindah ke arah Nayfa yang menunduk. "Nduk Nay?"

Nayfa mendongak. "Ummah ... ucapan Gus Aksa benar, Nay masih sekolah, mana bisa," ucap Nayfa takut-takut.

"Enggak papa, kalian bisa akad terlebih dahulu, baru nanti kalau Nay sudah lulus, kita adakan resepsi," balas Bu Nyai Biyah tetap kekeh.

Pandangan Gus Aksa terlihat putus apa. Mana bisa ia menolak permintaan Ummahnya. Tapi kalau untuk hal ini, ia tak bisa.

"Ummah ...." Gus Aksa menggelengkan kepalanya. Seketika pandangan Bu Nyai Biyah datar.

"Kamu juga menolaknya, Nay?" tanya Bu Nyai Ainah. Perlahan, Nayfa mengangguk ragu, ya meskipun hati kecilnya, menyutujuinya. Tapi ia tahu diri, siapa dirinya dan siapa lelaki di depannya.

Nayfa hanya anak orang biasa, ya. Sedangkan orang yang di kaguminya seorang Gus. Ia sadar, jadi mana mungkin.

.
.
.

Berkomentar lah kalian. Keluarin unek-unek kalian. Buat aku semangat untuk menulis lagi. Akhir-akhir ini sangat malas untuk menulis. Berikan aku kata-kata semangat dari kalian.

180921

Kalam Cinta Gus AksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang