04. Orangtua Nayfa

248 27 9
                                    

Nayfa terus memikirkan ucapan Bu Nyainya. Bukan ia tak mau menerima, tapi lihatlah ia hanya gadis biasa yang tengah menuntut ilmu, di minta untuk menjadi menantu Bu Nyainya.

Jika di tanya perasaan untuk Gus Aksa, maka jawabannya, ia mengaguminya, hanya sekedar itu, mana berani ia menyukai apalagi mencintai gusnya sendiri. Enggak sopan lah.

"Mbak Nay di timbali Bu Nyai, kondisi Bu Nyai ngedrop lagi." Suara itu membuyarkan lamunannya. Dengan segera ia membenarkan jilbabnya dan segera menuju ke ndalem.

Ada dua santri putri yang berada di kamar Bu Nyai Biyah, yang tengah mengompres dan juga mengoleskan minyak kayu putih di kaki. Badan Bu Nyai menggigil hebat. Nayfa semakin merasa bersalah untuk itu. Ia mendekatinya, menggantikan santriwati yang tengah mengompres.

Gus Aksa yang tengah berdiri di samping pintu kamar. Hanya bisa menatap perempuan pilihan Ummahnya itu. Ia bahkan sudah menghubungi dokter, tapi entah kenapa dokter itu tak kunjung datang.

Tangan Nayfa mengusap kepala Bu Nyai Biyah pelan, berucap lirih, "U-ummah." Kini berganti menyelupkan handuk kecil itu dengan air kompresan, lalu meletakkannya di atas kening Bu Nyai Biyah.

Perlahan mata Bu Nyai Biyah terbuka, seakan ia hanya mengharapkan kedatangan Nayfa seorang. "N-nay."

"Inggih, ini Nay, Mah. Ummah mau apa?" Tangan Nayfa memegang tangan Bu Nyai Ainah.

"Nay suka liat Ummah begini?" tanya Bu Nyai Biyah sangat lirih. Nayfa langsung menggeleng kuat.

"Mboten, Mah. Ummah bicara apa sih, kok gitu. Nay selalu do'ain Ummah supaya cepat sembuh."

"Terus kenapa Nay menolak permintaan Ummah?"

Nayfa memejamkan matanya erat. "Nayfa mboten nolak. Nayfa mau jika Gus Aksa juga bersedia, Mi." Nayfa hanya berharap keputusan kali ini benar.

"A-aksa?" panggil Bu Nyai. Gus Aksa mendekat, lalu mengangguk.

"Aksa mau," ucap Gus Aksa tersenyum tipis.  Bu Nyai juga tersenyum tipis.

"Kita menunggu Abi pulang, untuk kelanjutannya." Gus Aksa dan Nayfa hanya mengangguk menanggapi ucapan Bu Nyai. Kedua santriwati itu hanya bisa menjadi saksi, seorang santri yang pertama kali tahu apa yang terjadi nantinya.

"Aksa kamu hubungi keluarga Nay, kasih tau kabar bahagia ini."

"Mbak," panggil Gus Aksa ketika melihat Nayfa baru saja keluar dari kamar Bu Nyai Ainah. Ia mendekat. Nayfa menunduk, tak berani melihat ke arah Gus Aksa. "Mbak enggak bercanda 'kan?" tanyanya kemudian.

Nayfa menggeleng. "Kesehatan Bu Nyai mana berani saya buat candaan, Gus."

"Terima kasih, Mbak." Nayfa mengangguk.

"Saya harap, keputusan Mbak tidak akan menjadi hal yang membuat mbak menyesal nantinya."

"Begitu pun njenengan, Gus." Nayfa melihat Gus Aksa, lalu menunduk lagi. "Kalau gitu saya permisi, Gus. Assalamualaikum."

"Orang tua sampean akan sampai sini sore nanti," ujar Gus Aksa belum menjawab salam Nayfa. "Saya harap kamu di sini setelah selesai salat ashar. Waalaikumsalam."

Nayfa hanya mengangguki ucapan Gus Aksa. Secepat ini? Ia akan menyandang sebagai istri seorang Gus yang tak lain adalah orang yang di kaguminya. Meskipun sama sekali tak pernah terlintas di bayangnya menjadi seorang istri Gus. Kalo halu pernah sih.

.
.
.

Kini Kiai Affan telah kembali ke ndalem. Beliau duduk di samping istrinya yang tengah berbaring itu. Gus Aksa telah menceritakan semuanya. Kiai Affan tak merasa terbebani, lagian pilihan istrinya menurutnya baik. Apalagi Nayfa termasuk perempuan yang menjadi kriteria menantu idaman.

"Ummah ingin segera Aksa menikah?" tanya Kiai pada sang istri.

"Enggih, Bi. Bisakah merahasiakan pernikahan keduanya sampai Nayfa lulus sekolah? Hanya tinggal beberapa bulan saja kan, Bi?"

"Bisa saja, tapi kenapa tidak sekalian nunggu Nayfa lulus dulu?"

"Ummah ingin Abi, zaman sekarang anak perempuan lulus sekolah diincar sama orang. Jadi harus cepet-cepet, Bi. Apalagi modelan seperti Nayfa."

"Iya, nanti kita bahas sama orangtua Nayfa."

Sedangkan di sisi lain, kedua orang tua Nayfa sedang dalam perjalanan ke pesantren. Tentu dengan hati yang tak tenang, apalagi sampai di panggil kedua orangtuanya. Entah membuat kesalahan apa anak perempuannya itu.

"Duh, Yah. Bunda kok enggak tenang ya. Nayfa buat kesalahan apa ya, sampai- sampai dipanggil berdua," ujar  Bu Yanti gelisah.

"Udah, Bun. Berdoa yang baik-baik, semoga putri kita tidak membuat kesalahan fatal," ujar Ayah Dami menenangkan istrinya.

Keduanya menaiki kendaraan pribadinya dengan Ayah Dami yang menyetirnya sendiri. Sampai akhirnya mereka telah sampai di gang masuk pesantren.

Keduanya keluar dari mobil, tentunya dengan perasaan yang takut-takut. Kenapa mereka dihubungi untuk segera ke pesantren, apalagi sampai berdua. Tak biasanya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Salah satu seorang abdi ndalem keluar, lalu mempersilahkan keduanya duduk. "Silahkan duduk, Pak, Buk." Lalu abdi ndalem itu berlalu dari
sana.

Beberapa saat kemudian, Gus Aksa datang dengan Kiai Affan. Menyambut kedatangan orangtua Nayfa. Berbincang sedikit sebelum ayah dari Nayfa bertanya kenapa ia dipanggil kesini.

"Sebelumnya minta maaf Kiai, Gus. Ini ada apa ya, kok tumben kita dipanggil kesini, apa putri kita membuat kesalahan fatal?" tanya Ayah Dami dengan tak enak hati.

Kiai Affan terkekeh bentar. "Iya, putrimu buat kesalahan."

Seketika Ayah Dami langsung menatap Kiai Affan tak enak, lalu menunduk lagi. Sedangkan Bu Yanti terus menunduk. "Membuat kesalahan apa Pak Kiai, kalau boleh tau?"

"Putrimu membuat kesalahan mengambil hati istri saya." Ayah Dami menatap Kiai Affan dengan pandangan bingung. Tak paham. Mau bertanya, sungkan. "Iya, mengambil hati istri saya, sampai mau menjadikan putrimu menantunya," jelas Pak Kiai.

Entah kalimat apa yang di ucapkan sepasang suami istri itu. Antara senang, lega, takut, dan heran menjadi satu. Bagaimana bisa putrinya itu bisa mengambi hati Bu Nyai di sini, sampai menginginkan putrinya jadi menantu.

"Bagaimana Pak Dami? Apa njenengan merestui putri bapak, Nayfa untuk menjadi istri putra saya, Aksa  sekaligus menjadi menantu saya?"

"Duh Pak Kiai, kita enggak berani menolak lamaran Pak Kiai. Tapi terlepas dari itu, semua keputusan ada di Nayfa, karenan dia yang menjalani."

Abdi ndalem yang bernama  Ratih itu membawa nampan berisikan  minuman lalu menyuguhkan di atas meja.

"Mbak, tolong panggilkan Mbak Nayfa ya, suruh ke sini," ucap Pak Kiai. Ratih mengangguk, dan pamit ke belakang.

Gus Aksa tertunduk, entah apa yang ia rasakan. Jujur, ia sama sekali belum ada rasa dengan Nayfa, tapi semoga yang terjadi ke depannya semoga yang terbaik."Melupakannya? Apa bisa, hatiku sudah terpaut padanya selama lima tahun lebih. Tapi aku akan berusaha melupakannya, demi istri nanti yang berhak ku cintai."

Tak lama kemudian Nayfa datang, lalu mencium tangan kedua orangtuanya. "Duduk, Nay," titah Pak Kiai.

Nayfa duduk lesehan di lantai. "Di atas aja Nduk Nay, enggak papa," ucap Pak Kiai.

Nayfa tersenyum dan menggeleng. "Teng mriki mawon, Yai." 

(Disini aja aja, Yai)

Pak Kiai mengangguk. "Apa jawabanmu mengenai permintaan Bu Nyaimu, Nduk?" tanya Pak Kiai.

Nayfa menunduk, pertanyaa ini lagi yang membuatnya takut untuk menjawab.

"Orangtuamu menyerahkan keputusan kepadamu," lanjut Pak Kiai. Bu Yanti mengusap kepala Nayfa, karena ia tahu putrinya itu gelisah dan takut.






.
.
.

see u  next part

130822

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kalam Cinta Gus AksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang