Padmi : Thunder in the Clouds

65.3K 5.3K 353
                                    

Author's Note :D

Sumpede, bingung banget nyelesaiin cerita ini. Hahahaha... Makanya cuma bisa upload dikiiit. Nggak apa-apa yaaa... Semoga kalian semua tetap berkenan membacanya. Enjoy! :D

_________________________________________

Aku memarkir mobilku sembarangan di depan garasi, lalu buru-buru turun. Telepon dari Papa sangat mengejutkan. Silvia dan Bayu membatalkan pernikahan mereka! It’s like hearing a thunder in the clouds. Mengagetkan! Apa maksudnya??? Karena tadi aku banyak pasien di klinik, aku tidak bisa langsung pulang saat Papa menelepon. Beliau terdengar terpukul sekali. Aku masuk ke dalam rumah, sepi. Sudah hampir jam 10 malam.

Aku berhenti di depan kamar Papa. Mengetuknya pelan.

“Papa?” panggilku. Tidak ada sahutan. Aku menghela nafas. Mungkin Papa sudah tidur.

Aku berjalan ke tangga, menuju ke kamarku. Namun saat melewati kamar Silvia, aku melihat pintunya terbuka. Silvia sedang berjongkok di depan lemari raksasanya. Koper yang sangat besar terbuka lebar di lantai. Sedang apa dia?

“Sil?” aku berdiri di depan pintu kamarnya. Silvia menoleh.

“Hei, Mbak! Tumben udah pulang. Biasanya kalau praktek pulangnya lebih malam…” Silvia tersenyum dan berdiri.

“Pasiennya dikit. Hujan. Kamu lagi apa?” tanyaku, mengamati seisi kamarnya yang berantakan. Silvia nyengir.

“Masuk, masuk, Mbak. Duduk sini. Sori berantakan. Aku lagi packing. Aku mau ke Perancis. Mumpung visaku belum expired…” Silvia menyingkirkan baju-baju di atas kasurnya.

“Hah?” aku melongo. Perancis? Ngapain? Aku tahu, Silvia dan Pierre mengurus visa Silvia ke Perancis sebelum Pierre pergi ke Singapore dan tak pernah kembali. Tadinya mereka berdua berencana bulan madu di sana. Orang tua Pierre juga berencana mengadakan acara resepsi di sana.

“Iyaaa. Aku mau ke sana, mengunjungi makam Pierre. Mengunjungi orang tuanya…” Silvia tersenyum. Aku makin melongo. Silvia sudah bisa menyebut nama Pierre tanpa menangis? Waw. Sejak kapan?

“Mmm…” aku pelan-pelan duduk di kasur empuknya. Menatap Silvia yang masih sibuk mondar-mandir, memasukkan pernik-pernik ke kopernya.

Jujur, aku masih tidak tahu harus bagaimana. Tanya enggak ya, soal dia sama Bayu? Jangan-jangan… Dia memutuskan itu karena marah melihat kejadian aku dan Bayu di kolam renang. Tapi kalau marah, sikap Silvia kok biasa saja?

“Mmm… Sil…”

“Ya? Eh, bentar. Menurut Mbak, enaknya bawa tas yang ini atau yang ini?” Silvia menunjukkan dua tas Prada yang tampak identik, baik model maupun warnanya. Sama-sama hitam. Aku mengerutkan kening.

“Hah? Perasaan itu sama aja…” ujarku bingung. Silvia berdecak.

“Bedaaa. Yang ini lebih gede dikit…” Silvia menyodorkan salah satu tas. Astaga. Bedanya palingan dua centi! Aku meringis.

“Yang gedean aja deh…” ujarku pasrah. Tidak paham dengan segala macam tetek-bengek tas itu.

“Oke!” Silvia memasukkan tas mahal itu ke dalam kotak khusus, dan meletakkannya di dalam koper. Pantesan, kopernya dia segede gaban. Aku melihat, di dalam koper itu sudah ada 3 kotak sepatu bening.

Done! Oke, kenapa Mbak?” Silvia menatapku. Aku balas menatapnya. Silvia tampak begitu berbeda. Padahal kemarin dia masih terlihat lesu. Sekarang, pipinya sudah merona merah. Rambutnya tidak lagi kusut. Tergerai indah di punggungnya. Drastis sekali perubahannya.

“Itu… Aku…” aku bingung harus mulai dari mana. Silvia tersenyum, lalu menghampiriku. Dan duduk di depanku.

“Mbak Padmi, sudah tahu belum? Aku membatalkan pernikahanku dengan Mas Bayu. Jadi, lebih baik Mbak putusin aja itu pacar Mbak yang sudah punya istri. Mas Bayu sekarang bebas. Sudah bukan suami orang lagi,” ujar Silvia to the point. Daaarrr! Aku terpaku mendengar ucapannya.

“Sil… Aku… Di kolam renang itu…” ujarku gelisah. Merasa bersalah. Damn, Bayu! Ini semua gara-gara kamu!

“Mbak Padmi… Selama ini, aku sangat egois. Aku sudah mengambil semuanya dari Mbak Padmi. Papa, rumah ini, kamar ini. Aku nggak mau, aku juga jadi orang yang mengambil orang yang paling berharga buat Mbak Padmi…” ujar Silvia pelan. Aku membuka mulut, bersiap membantah.

“Ssst, dengerin aku dulu. Aku tahu kok, Mbak Padmi cinta sama Mas Bayu. Mas Bayu juga. Aku nggak bisa kalau aku tahu, aku yang membuat kalian berdua nggak bisa sama-sama. That’s why, I’m doing this. Aku ingin Mbak Padmi bahagia. Mas Bayu bahagia…” Silvia menatapku. Matanya berkaca-kaca. Aku terharu sekali. Ya ampun, kemana perginya ratu egois itu?

“Sil…” aku menggenggam tangannya.  Silvia meremas tanganku pelan, lalu tersenyum.

“Oke, tugas aku selesai! Pokoknya cepetan putusin suami orang itu! Mbak Padmi sama Mas Bayu aja, oke!” Silvia berdiri. Aku menatapnya sambil meringis.

“Nggak segampang itu, Sil…”

“Lho? Kenapa?” Silvia mengerutkan kening.

“Yaah… Nggak segampang itu…” aku menghela nafas.

“Haduuuh! Mbak Padmi ribet deeh ah! Kalau cinta, ya sudah balik! Gitu aja kok repot!” Silvia berkacak pinggang. Hahaha, ini Silvia yang asli.

“Mbak Padmi, dengerin ya. Sekarang ini, skor kita satu sama. Mbak Padmi pernah ngalah buat aku, dan sekarang aku ngalah buat Mbak Padmi. Tapiii… It won’t happen again. Kalau saat aku kembali, Mbak Padmi nggak ambil kesempatan ini, berarti hangus deh. Aku nggak akan mengalah lagi. Kita bersaing secara adil…” Silvia tersenyum menatapku. Aku terpaku.

“Kamu… Cinta sama Bayu?” tanyaku pelan.

“Nggak susah kan buat cinta sama Mas Bayu? Wal/aupuuun, kalau aku sih akan cari orang yang perutnya lebih rata ya… Tapi nggak apa-apa lah. Perut bisa dipermak…” Silvia memutar-mutar rambutnya.

So? Berjuanglah sekarang, Mbak Padmi. Karena kalau sampai kita bersaing, aku nggak yakin Mbak Padmi bakalan menang…” ujar Silvia angkuh.

“Eeeng…” aku kehilangan kata-kata. Aku tidak bisa mencerna ucapan Silvia yang campur aduk naik turun kaya’ Halilintar di Dufan.

“Udaah, sana. Pikirkan kata-kataku tadi ya! But believe me, I’m doing this for you. Untuk kebaikan Mbak Padmi…” Silvia menepuk pundakku. Aku berdiri dengan enggan, lalu keluar dari kamarnya. Silvia nyengir menatapku. Aku menghela nafas.

“Nanti aku bawain banyak oleh-oleh dari Paris…” ujarnya ceria.

Aku hanya mengangguk pasrah. Lalu berjalan pergi. Menaiki tangga dengan langkah gamang karena bingung, nggak tahu harus bagaimana. Sampai di kamar, baru aku sadar tasku ketinggalan di kamar Silvia. Padahal di situ ada HPku. Aku mengerang, tapi mau tidak mau, aku kembali turun ke bawah. I need that phone untuk membangunkanku besok pagi.

Di depan kamar Silvia, aku terpaku. Silvia sedang duduk menunduk di samping kopernya. Rambutnya tergerai menutupi wajahnya. Bahunya bergetar pelan. Sayup terdengar suara isakan lirih.

Silvia menangis.

Aku terpaku di depan pintu.  Silvia bahkan tidak mendengar kedatanganku. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ya Tuhan, pengorbanan seperti apa yang sudah dia lakukan? Apakah dia juga mencintai Bayu? Lalu kenapa dia merelakan Bayu untukku?

Aku tergugu. Air mataku mengalir perlahan. Diam-diam aku beranjak pergi. Aku yakin Silvia tidak mau aku melihatnya begini.  

Dia ingin aku bahagia? Di atas air matanya?

Dan di balik pintu kamarku, aku pun ikut menangis. Menangisi kami berdua, yang harus jatuh cinta pada orang yang sama.

***

BAYU - PADMI : BUKAN CINTA BIASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang