Chapter 3

54K 5K 587
                                    

Selamat membaca😁

Keesokan harinya.

Selepas menghabiskan sarapan, Wibowo, Respati, serta Anggun bersiap untuk berangkat ke tempat kerja masing-masing. Meskipun memiliki rumah sakit sendiri, namun Wibowo justru lebih memilih membuka klinik di sebuah desa untuk membantu dan memudahkan para penduduk setempat yang ingin berobat karena jauh dari rumah sakit.  Ditambah lagi, untuk meringankan beban rakyat kecil dari tingginya biaya obat di rumah sakit yang saat ini semakin mencekik. 

Laki-laki paruh baya itu memang sudah terkenal sejak dulu dengan kebaikan hatinya. Jadi tidak heran jika orang-orang begitu menghormati Wibowo. Meskipun hidup berkecukupan, namun dia sangat peduli terhadap sesama. Terlebih kepada rakyat kecil, fakir miskin, dan anak-anak yatim piatu. Tak jarang dia juga sering membagi-bagikan makanan gratis dan sembako bagi mereka yang membutuhkan.

Karena kebesaran hatinya itulah Wibowo sampai mengadopsi dan mengangkat seorang anak jalanan menjadi putrinya, karena dia tidak tega melihat anak kecil itu hidup di lingkungan keras dengan berjualan koran di pinggir jalan. Sedangan Rike sebenarnya dari awal sudah keberatan dengan keputusan Wibowo yang ingin mengangkat Anggun menjadi anaknya. Karena Rike pikir, mereka tidak perlu sampai melakukan hal itu. Cukup membantunya dengan bersekolah dan memberinya uang, tidak perlu sampai mengadopsinya. Namun tetap saja penolakan Rike tak bisa mencegah tekad Wibowo untuk mengadopsi Anggun.

Tidak seperti ayahnya yang memilih mengabdi untuk rakyat kecil, Respati justru memilih bekerja di rumah sakit milik keluarganya sendiri bersama dengan Lidra. Sedangkan Anggun bekerja di sebuah sekolah dasar yang tempatnya tak jauh dari rumah sakit tempat Respati bekerja. Karena itu, setiap harinya Anggun berangkat satu mobil bersama dengan Respati dan juga Lidra. Sedangkan Wibowo berangkat mengunakan mobil sendiri.

"Aku nggak tau ini hanya perasaan aku aja atau bukan. Tapi setelah bangun dari koma, sikap mbak Lidra jadi aneh. Menurut kamu gimana, Mas?" tanya Anggun menoleh ke arah Respati yang sedang menyetir mobil.

Namun pria itu justru hanya diam saja dengan tatapan lurus ke depan seperti tengah memikirkan sesuatu.

"Mas?" panggil Anggun lembut sembari menyentuh lengan Respati yang tidak merespon ucapannya. Ia merasa heran dengan sikap Respati yang juga tampak aneh sejak tadi pagi. Tidak biasanya pria itu hanya diam melamun sepanjang perjalanan. Bahkan pria itu juga tidak mengajaknya mengobrol seperti hari-hari sebelumnya.

Respati terkesiap dan tersentak kaget. Kemudian pria itu menoleh ke arah Anggun. "Iya, kenapa?"

"Kelihatannya kamu lagi banyak pikiran ya, Mas? Aku perhatiin dari tadi kamu cuma diem aja sejak pergi dari rumah."

"Ah, enggak. Aku nggak kenapa-napa, cuma sedikit capek aja. Mungkin karena kurang istirahat," sahut Respati ringan.

"Tadi kamu bilang apa?" sambungnya.

"Kamu lagi mikirin mbak Lidra, ya?" tanya Anggun tiba-tiba dengan nada suara yang sulit dijelaskan.

Respati terdiam sejenak.

"Enggak," ujarnya singkat dan kembali fokus menyetir.

Kemudian ingatan Respati kembali ke kejadian pagi tadi di mana Lidra benar-benar tak bicara sepatah kata pun kepadanya. Wanita itu hanya diam dan bersikap biasa saja meski tidak menyiapkan pakaian serta keperluannya saat pagi hari. Karena itu, Respati menyiapkan segalanya sendiri karena egonya terlalu tinggi untuk meminta Lidra yang menyiapkannya meski sebenarnya itu adalah tugas wanita itu. Tak hanya itu saja, saat mengantar di depan pintu pun Lidra bahkan langsung masuk kembali ke dalam rumah tanpa mencium tangannya seperti biasanya.

Sikapnya benar-benar bertolak belakang dengan Lidra yang dulu. Dan itu terus menganggu pikiran Respati. Karena dia benar-benar tidak mengerti dengan perubahan sikap Lidra yang sekarang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 23, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hilang rasa ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang