Chapter: Empat

195 35 36
                                    

"Kamu kenapa? Dari tadi ngelamun terus."

Zico mendongakkan kepalanya lalu berkata, "Nggak. Aku nggak mikirin apa-apa, Sayang. Ziya udah tidur?"

Stevi meletakkan cangkir putih yang berisi kopi susu di meja kecil samping Zico. Meskipun sang suami mengatakan nggak mikirin apa-apa, tapi Stevi masih menunjukkan wajah khawatirnya. Sejak pulang dari Pantai Watu, sikap Zico sedikit berbeda. Cowok itu lebih banyak diam dari pada biasanya. Stevi yakin pasti ada sesuatu yang sesuatu yang dipikirkan oleh suaminya itu.

"Iya, dia udah tidur. Tuh, ditemenin sama Mama," ujar Stevi setelah duduk di kursi kayu sebelah Zico.

"Stev," panggil Zico lirih.

"Hm? Ada apa?"

"Nggak. Nggak jadi." Zico menggelengkan kepalanya pelan dan itu membuat Stevi semakin resah.

"Kalo ada apa-apa cerita aja, Yang. Kita udah suami-istri, loh. Kalo ada masalah jangan dipendam sendiri," ujar Stevi.

Zico mengambil cangkir kopi susunya lalu menyeruput sedikit. Ia menatap lurus ke depan, tepat di halaman depan rumahnya yang dipenuhi tanaman hias milik mamanya. Suasana sore di desa begitu tenang dan damai. Nggak banyak kendaraan yang lewat meskipun rumah Zico berada di pinggir jalan beraspal. Namun, kedamaian ini malah membuat perasaan Zico semakin gelisah.

"Kamu beneran nggak mau cerita?" tanya Stevi.

"Stev, kira-kira ... mmm, apa mungkin dia udah maafin aku?"

Stevi melebarkan kedua matanya. Nggak perlu bertanya siapa dia yang dimaksud oleh Zico. Setelah beberapa tahun hidup bersama Zico, baru kali ini suaminya membahas soal cewek itu lagi. Stevi pikir, Zico sudah benar-benar melupakan masa lalunya. Mengingat apa yang dulu pernah Zico katakan ketika mabuk di depan Stevi dan teman-temannya kalo dia nggak benar-benar suka dengan cewek itu. Ya, itulah kenapa Stevi nggak menyerah untuk merebut Zico dari cewek itu. Daripada semakin menyakiti orang lain, lebih baik segera diambil untuk diri sendiri.

"Yang, aku nggak mau bahas dia lagi meskipun aku pernah punya salah ke dia. Entah dia udah maafin kita atau nggak, aku akan tetap di jalanku. Aku cuma peduli sama kamu dan Ziya. Aku cuma mau kita bahagia," jawab Stevi dengan tegas.

"Hmmm...." Zico tersenyum miring sebelum melanjutkan kalimatnya. "Apa benar kita bahagia? Bukankah kita berusaha bahagia demi Ziya?"

Stevi terperangah. "Oh, ayolah! Mama juga pernah bilang sama kita kalo awal dalam pernikahan nggak akan mulus. Toh, sekarangan kita juga udah bisa saling mengerti dan mengimbangi. Lagipula, dia pasti udah lupain kita. Nggak usah inget-inget dia lagi. Kamu udah milih aku," racau Stevi.

"Stev, apa kamu lupa? Aku milih kamu pun juga terpaksa. Kalo bukan karena Ziya, mungkin aku udah ninggalin kamu."

Stevi mengembuskan napas dengan kasar. "Kamu kenapa tiba-tiba kayak gini sih sama aku? Kenapa kamu bahas masa lalu lagi?"

"Stev, aku bahas masa lalu karena aku liat Rose di Pantai Watu," ungkap Zico. "Dia nangis waktu liat kita main sama Ziya. Kalo kayak gitu, apa mungkin dia udah lupain semuanya?"

***

Ting.... Tong.... Ting.... Tong....

Suara bel pagi ini membuat Mino sedikit jengkel. Ups! Bukan pagi, sih. Jam 13.00 kan sudah tergolong siang. Mino saja yang menganggapnya pagi karena baru bangun. Ya, terima kasih untuk tamu kita yang sudah menyadarkan Mino dari alam mimpinya.

"Eh? Zico?" ujar Mino setelah membuka pintu rumahnya. Dahinya berkerut dengan sempurna. Solah-olah manusia yang berdiri di depannya ini bukanlah manusia yang sesungguhnya.

GONE - Rose x Zico ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang