Satu - Surat gila

21 2 0
                                    

"Anindyaaaa!!"

Teriakan emak sudah seperti ia memanggil seseorang dari pulau seberang. Padahal jarak dari dapur di mana ia berdiri ke kamar tempat aku rehat tidaklah jauh, rumah kita ini hanya setapak mak! tidak perlu pakai teriakan!

Aku mendengar suara emak memanggil namaku, tapi badan ini masih sulit untuk dibawa bangun. Aku masih malas lebih tepatnya.

Pikir ku sedang melayang, aku melambungkan banyak mimpi bagaimana nantinya aku akan menjadi pemudi kaya yang punya usaha pertambangan batu bara atau semacamnya. Tapi aku disadarkan lagi-lagi oleh teriakan emakku,

"Hei anak pemalas, mo jadi apa kau kalau hanya tiduran begini?! Mari bangun bantu mamak menyiapkan sarapan! Atau kau mau tidak makan seharian?"

"Mak...Ini masih terlalu pagi untuk aku bangun mak.."

"Yasudah tidur saja lagi! Sana mimpi lagi! Tidak usah bangun sekalian! Katanya mau jadi orang kaya tapi emak suruh bangun kamu masih bilang kepagian!"

Kejam sekali emak ini, tapi kata-katanya ada betulnya juga sih, mau jadi apa aku kalau hanya tiduran saja?

Mau jadi pemimpi yang tidak pernah bangun dari mimpinya sendiri?

Berapa bayaran yang bisa kuterima kalau aku hanya bermimpi tapi badan hanya kubawa tidur-makan-mandi?

"Iya emakkkk, Anin bangun. Berhenti marah-marah." Balas ku dengan lemas. Aku segera bangun tanpa merapikan tempat tidurku yang sudah seperti kandang sapi, bahkan kandang sapi tidak seberantakan itu jika peternak nya merawat dengan benar.

Masak apa ya emak hari ini? Ah, paling ya itu-itu saja. Kalau bukan mie sagu, lakse kuah, atau bermacam dunia per mie an yang lain. Pokoknya mie adalah satu hal yang dapat dipastikan ada di tudung saji keluarga kami.
Lihat! Rambut ku sampai keriting seperti hutan belantara. Ini salah emak karena selalu masak makanan yang berhubungan dengan mie!!

"Anin, ambilkan mamak garam di lemari persediaan! Mamak minta tolong." Emak tergopoh-gopoh memotong bawang merah dan putih,  merebus air, memasukkan rempah-rempah secara bergantian, dan banyak hal yang aku lihat emak lakukan sendirian. Saat itu aku sedikit merasa bersalah sih.

Aku memutar arahku menuju lemari persediaan tempat kami menyimpan banyak barang bulanan. Segera kubuka lemari itu dan kurogoh barang yang dibutuhkan oleh emak: Garam.

"Ini dia."

Segera kuambil garam itu dan kembali menyusul emakku di dapur.
Aku melewati ruang tengah untuk bisa sampai ke dapur, "Apa itu?"
Ada seorang bocah laki-laki yang kupikir ia sedang mengintip ke dalam rumahku melalui jendela kecil yang ada di ruang tengah. Tanpa pikir panjang, aku membatalkan langkahku untuk ke dapur dan pergi keluar rumah untuk melihat siapa dia.

"Hei, sedang apa kau disini?!" Tegasku kepada bocah laki-laki yang benar saja ia sedang mengintip ke dalam rumahku.

"Maaf maaf kak, aku hanya ingin mengantarkan ini." Sambil menunduk, ia menyerahkan sepucuk surat.

"Dari siapa itu?"

"Saya tidak tahu namanya kak, dia hanya bilang kalau ini untuk Anindya dari rumah ini."

Siapa coba orang kurang kerjaan yang kirim surat pagi-pagi buta begini?

"Yasudahlah dik, Terimakasih ya."

Ia mengangguk, lalu pergi ke teman-temanya yang ternyata sedang menunggu di dekat sawah.

Aku membaca tulisan yang ada di amplop surat.
"Hai manis, baca ya... kamu tidak buta huruf kan? Ini dari manusia yang baru pertama kamu temui di pantai dan dengan lancang langsung mengajakmu kenalan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AnindyaswaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang