Jimin menghentikan langkah kakinya, napasnya terengah-engah, ia mencoba sebaik mungkin untuk meraup udara guna memenuhi kerumpangan rongga paru-paru sebab ia berlari tanpa henti. Tangisnya tak lagi ditahan, semilir angin lembut menyapa surai karamel miliknya—menerbangkannya kesana kemari dan membuatnya berantakan.
Kedua obsidian miliknya menatap lautan yang kini terlihat sendu, dan Jimin menjadi bertanya-tanya, benarkah laut selalu mengikuti suasana hati? Sebab ketika hatinya terasa pilu, dilihatnya lautan memiliki rupa yang sama.
Kaki telanjangnya menapak dipasir putih yang lembut, meninggalkan jejak-jejak yang tidak begitu dalam disana, kendati jejak-jejaknya pun akan terhapus oleh ombak yang menerpa.
Jimin jadi teringat dirinya sendiri kala melihat lautan, begitu biru.
"Jimin" suara yang familiar, suara yang masih terdengar sama kendati kini nadanya menjadi lebih berat seiring bertambahnya usia menjadi lebih dewasa. Jimin menyukai bagaimana pria itu bertumbuh secara mandiri, kini ia begitu tampan dan gagah. Pun Jimpin menyukai tiap-tiap perubahan pada sang pujaan hati, kendati hatinya pun ikut berubah.
Jimin masih bergeming bahkan ketika derap langkah kaki makin terdengar begitu jelas, dipandangnya laut biru dengan ombak tenangnya yang bergerak kesana dan kemari. Dan satu tetes air mata berhasil lolos dengan begitu mudahnya ketika dirasakannya sang lelaki memeluknya dari belakang.
Pelukkan Jungkook masih terasa hangat bagi Jimin, masih terasa begitu menenangkan hati. Namun, tak di kecapnya lagi rasa cinta didalamnya, semuanya terasa hambar.
Hambar.
Jimin selalu berharap hari ini hanyalah mimpi buruknya.
Jemari kecilnya perlahan melepaskan pelukan yang melingkar dipinggang kecilnya. Jimin berbalik dan memandangi kedua netra Jungkook yang menyiratkan kehancuran yang sama dengan dirinya, kendati ia jauh lebih hancur didalam, lebih dari apapun.
Penantiannya selama bertahun-tahun nyatanya hanyalah membuahkan sia-sia dan sakit hati semata.
Tetapi bagi Jimin, rasa sakitnya hanyalah rasa egoisnya semata. Jimin tidak boleh merasa sakit hanya karena Jungkook menemukan kebahagiaannya—dan fakta bahwa itu bukan dirinya.
"Aku baik-baik saja" dari ribuan ungkapan kesakitannya, pada akhirnya hanya kalimat pendek tersebut yang dapat diucapnya, suaranya lembut kendati terdengar sedikit parau. Sedangkan Jungkook berdiri membatu— tengah mati-matian menahan air matanya.
Jungkook ingat lautan ini. Ia ingat tiap-tiap kenangan yang dibuatnya bersama sang cinta pertama, dan itu membuatnya semakin merasa bersalah.
Ia menggeleng perlahan, kedua telapak tangannya menangkup wajah Jimin yang tampak kurus. Namun bagi Jimin,perlakuan Jungkook saat ini membuatnya merasa seaakn seluruh rongga dadanya dikeruk—nyeri sekali. Mengapa Jungkook harus melakukan ini padanya?
"Maafkan aku, Jimin-ah." Suaranya bergetar, Jimin lantas menjauhkan diri, kini ombak-ombak nakal itu semakin meninggi dan berhasil menjamah kaki telanjangnya. Rasa dinginnya perlahan mencuat, mulai memeluk kakinya yang polos. Jimin kemudian menekuk kedua lututnya untuk berjongkok.
"Tidak ada yang salah dengan perasaanmu atau perasaanku, Jungkook. Hanya saja keadaan dan waktunya sudah berbeda" ucapnya sembari menggambar sesuatu dipasir dengan menggunakan jari telunjuknya, Jimin lantas tesenyum kecut saat ia melihat hasil gambarannya diatas pasir, kemudian ia berdiri dan kembali menatap Jungkook yang bergeming.
"Lihat" Jimin menunjuk ke arah gambarnya diatas pasir, dan ketika ombak datang menerpa—gambarnya lenyap bagai ditelan bumi. "Seperti itu" Jimin tersenyum, "Bahagialah bersamanya, Kook" lantas ia beralih pandang dan mulai berjalan menjauh sampai akhirnya langkahnya harus terhenti kala Jungkook meraih dan mencengkram lengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Six Feet Under || KM [End]
FanfictionI can't help but wonder, If our grave was watered by the rain Would roses bloom? Could roses bloom, again? [END] ‼️ hurt/comfort, bxb, slight vmin,mcd.