Sebuah senyum yang lebar nan cantik tercetak pada wajah wanita berumur sekitar 40 tahunan bersama dengan seorang anak kecil yang senyumnya yang juga tak kalah lebar, terbingkai manis dalam sebuah foto yang digantung di dinding bercat krem.
Sudah hampir 10 menit jam dinding di ruangan ini berdetak. Aku masih duduk manis menunggu tuan rumah kembali dari tempat persembunyiannya. Tak sabar menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk berdiri melihat-lihat barang-barang yang terpajang rapi di rak gantung.
Di deretan rak gantung terdapat sebuah miniatur papan selancar yang terbuat dari kayu yang dipoles dengan cat berwarna biru langit. Lalu ada sebuah kotak yang berisi pernak-pernik yang terbuat dari kumpulan cangkang siput dan kerang laut. Ada beberapa bingkai foto yang berisikan tokoh yang sama dengan bingkai foto yang tergantung di dinding, namun dengan latar tempat dan pose yang berbeda.
Namun ada satu benda yang sangat menarik perhatianku dari seluruh benda yang berada di rak tersebut. Yakni sebuah kotak berwarna putih dengan ukiran bunga sakura di bagian pinggirnya dan ukiran nama dengan font latin di bagian atas kotak tersebut. Kupikir itu terlihat seperti sebuah kotak musik. Aku berniat membuka kotak tersebut untuk mengecek seperti apa bunyi musik yang dihasilkan dari kotak secantik itu, hingga suara lantang dari Ioka mengagetkanku.
“Jangan dibuka!”
Aku tersentak dan seketika menoleh. Fujioka berdiri tepat di belakangku dengan membawakan teko teh yang terlihat antik.
“Itu bukan suara yang boleh di dengar sembarang orang,” tambah Fujioka sembari ia meletakkan teko berisi ocha dingin dengan dua buah cawan kosong.
“Maaf, aku hanya penasaran,” ucapku sembari duduk berhadapan dengan Ioka. Meja persegi panjang putih menjadi sekat di antara kami, dengan masing-masing duduk di sofa krem, dalam ruangan persegi yang juga berwarna krem. Rumah ini benar-benar bernuansa kalem dan cerah.
“Yah, kau tertarik dengan tampilan kotaknya yang cantik, bukan? Wajar saja, semua orang akan langsung terpana melihat ukiran bunga sakura yang cantik pada benda yang juga memiliki suara yang cantik.”
“Apakah itu milikmu?”
“Bukan, itu milik mendiang ibuku.”
“Ah, maaf.” Aku terkejut mendengar bahwa Fujioka ternyata telah ditinggal oleh orang terkasihnya.
“Haha, tak apa. Sebenarnya aku hanya belum siap mendengar suara dari kotak musik itu lagi. Makanya aku menghentikanmu sebelum kau mencoba membukanya.”
“Tapi apakah suaranya memang benar-benar indah?” tanyaku sekali lagi karena penasaran.
“Sangat indah,” jawab Fujioka dengan mata sayu namun berbinar dan goresan senyum tipis di bibirnya. Ekspresi yang menyiratkan kepiluan di dalamnya.
Aku ingin bertanya lebih banyak lagi mengenai hal itu dan tentang ibu serta keluarganya. Namun kuurungkan niatku karena aku merasa ini bukan waktu yang tepat. Toh tidak sopan bertanya macam-macam yang dapat menyinggung perasaan orang lain. Lebih baik aku menunggu Ioka saja yang menceritakannya terlebih dahulu.
“Kenapa melamun? Apakah kau memikirkan sesuatu? Hendak bertanya sesuatu tentang ibuku?” Rentetan pertanyaan Fujioka memecah lamunanku.
“Ah, tidak. Aku hanya merasa tidak enak sudah tiba-tiba datang ke rumahmu. Apalagi tidak ada siapa pun di sini.”
“Ah, tenang saja. Aku malah akan lebih keberatan jika kau datang ke rumahku yang satunya.”
“Kau punya dua tempat tinggal?”
“Secara bangunan, iya. Secara tempat yang pantas aku tinggali, hanya tempat ini saja.”
“Dan rumahmu yang satunya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bangku Dekat Jendela
Romance"Aku menyukaimu." "Hah?" "Benar-benar suka, zhēnde xǐhuan nǐ." "..." "Suki da yo! Daisuki!" "Oke, oke, stop!" Tangannya menyila jari-jariku yang menutupi seluruh wajahku. Terlihat raut wajahnya kegirangan melihat ekspresi maluku yang tak tertahankan...