25. Di Balik Pintu [END]

36K 2.9K 249
                                    

I do not own the story
Story by Esile the Raven

.
.

I'm sorry it almost took a fckn year just to publish the last chapter 🙏

.
.

"Terima kasih sudah mengundangku lagi, Mr. Lovro."
 
Pada saat penampilan Lotus Orchestra bulan Februari lalu, Jaemin tidak mengikuti jamuan dengan anggota orkestra lainnya; ia terburu-buru pulang karena urusan keluarga. Sang promotor adalah pria yang telah menemukan bakat Jaemin dan memberinya beasiswa ke Austria.
 
Mr. Lovro menggeleng. "Aku masih ingin bicara lebih banyak denganmu, Jaemin. Saat aku memberikanmu beasiswa, aku tahu kau punya potensi, tapi saat ini kau sangat melebihi harapanku. Selain itu, aku juga ingin membicarakan kasus yang mencelakakan ayahmu lebih detil."
 
"Tentu saja."
 
Berbeda dengan banyak orang lain, Mr. Lovro tidak sungkan menanyai pembakaran rumah lelang yang menewaskan ayah Jaemin. Pria itu adalah kakak dari pemilik rumah lelang, dan mungkin juga keputusannya memberi Jaemin beasiswa adalah karena merasa bersalah. Walaupun pelaku pembakar gedung lelang telah ditangkap, pria yang mendekati usia pensiun itu masih merasa bertanggung jawab atas Jaemin.
 
"Tapi, anda tidak perlu terus menerus merasa seperti itu, Mr. Lovro."
 
"Aku juga mengerti hal itu," ujar Mr. Lovro. Mereka berada di restoran rooftop Rapier Hall, aula pertunjukkan miliknya. "Tapi aku tidak hanya melakukan ini karena rasa bersalah, Jaemin. Aku bangga padamu. Kau seperti anakku sendiri."
 
Jaemin tertegun, sama sekali tidak memperhatikan pelayan yang menawarinya anggur. Telat beberapa detik, baru ia meminta si pelayan mengisi gelasnya dengan anggur putih. Ini pertama kalinya ada yang mengatakan hal seperti itu padanya. Jaemin punya ayah tiri, tapi biarpun hubungan mereka baik, mereka tidak dekat. Ia juga sempat berada di bawah asuhan keluarga Kwon, namun hanya untuk waktu yang singkat, dan pasangan itu sibuk dengan pekerjaan.
 
"Mungkin kalau kau bisa tinggal lebih lama, akan kuperkenalkan dengan keluargaku."
 
"Wah, saya mau sekali. Sayangnya mungkin tidak dalam waktu dekat." Melihat tatapan bertanya promotornya, Jaemin tersenyum sopan. "Saat ini saya sedang mencari apartemen lagi di Korea. Saya ingin mengajak adik angkat saya tinggal bersama."
 
"Adik angkat...? Bukankah kau sebenarnya diberi tanggung jawab oleh pasangan Kwon sebagai wali-nya?"
 
"Ah, bagaimana ya...saya sudah merawat Jeno saat saya sendiri masih anak-anak, jadi aneh sekali menyebutnya 'anak angkat'..." Sejenak, mereka menikmati anggur, dan membicarakan tahun dan merknya. Tidak lama kemudian, pelayan menyajikan hidangan makan malam mereka, dan percakapan berlanjut. "Tapi anda pasti senang sekali memiliki keluarga, Mr. Lovro?"
 
"Aku beruntung." Mr. Lovro tersenyum bijak. "Keluarga itu penting. Tapi apakah keluarga yang kita miliki adalah rumah, tidak semuanya seberuntung itu."
 
Jaemin terdiam lagi sejenak.
 
"How come?"
 
"Kita bisa bekerja keras untuk keluarga. Tapi kadang ada orang-orang yang lebih memilih bekerja daripada pulang, karena mereka tidak merasa berada di antara keluarganya seperti di 'rumah'. Anak-anak muda cenderung merasa seperti ini. House is a place to go home, to rest, and to belong. Ini lebih penting dari pada memiliki keluarga utuh dan rumah yang bagus."
 
Entah kenapa ia semakin mengingat nenek dan Jeno. Dan rumah kecil mereka di desa. Dan halaman belakang yang dipenuhi bunga. Lebih dari rumahnya sendiri, Jaemin merasa lebih berada di 'rumah' saat tinggal dengan Jeno dan nenek. Sebelum Jeno datang, rumah nenek hanya terasa seperti tempat singgah. Ia merasa tidak bisa nyaman dan menyesuaikan diri.
 
Baru setelah Jeno datang, ia memaksa diri dewasa, lebih percaya diri dan berbaur dengan orang-orang di desa, dan berteman dengan Somi dan lainnya.
 
Tapi Jaemin sudah tidak bisa kembali ke desa itu dan menganggapnya 'rumah' lagi. Berbagai hal di sana sudah banyak berubah, teman-temannya juga sudah berpencar ke tempat lain dengan kehidupan yang berbeda. Tapi hanya satu hal—satu orang yang sampai hari ini, hubungannya dengan Jaemin tidak berubah dan membuatnya merasa di rumah.
 
Setelah beberapa lama di Swiss, bermain ski, menjelajah pegunungan Alpine, memikirkan ini, akhirnya Jaemin mencapai sebuah keputusan yang sebenarnya paling tidak ingin ia pertimbangkan.
 
"Nyonya Kwon?"
 
"Jaemin-goon! Tumben sekali kam menghubungi kami! Ada masalah apa lagi? Jeno kena skors lagi?"
 
"Tidak." Jaemin sedikit merona, dan ia berdeham. "Sebenarnya aku sudah merencanakan ini selama beberapa waktu lalu...tapi apakah kalian keberatan kalau aku mengajak Jeno pindah denganku ke apartemen yang baru?"
 
Hening sejenak.
 
"Bagus sekali, Jaemin-goon! Melamar anak itu harus lewat orang tua!"
 
Jaemin bagai berski kecepatan tinggi dari puncak gunung salju dan terbakar oleh friksi saking malunya mendengar ini. Tapi dia tidak bisa mengelak. Ia memang sudah menyerah. Jaemin menerima juga perasaan hangat yang ia rasakan untuk Jeno, dan tiap memikirkan ini, wajahnya gampang merah dan kemampuan bicaranya menurun.
 
~.X.~
 
Cuaca mendingin cukup lambat tahun ini. Tapi seperti biasa, di awal November, pernak-pernik Natal sudah mulai gencar dan kadang orang-orang mengeluhkan departemen perbelanjaan yang memutar lagu Natal di awal November. Video Park Waltz Jeno dan Jaemin semakin populer dan tidak jarang orang yang berpapasan dengan Jeno akan menanyakan apakah dia yang ada di video itu.
 
Tiap ada wawancara, Jaemin juga kerap kali ditanyai soal video itu dan ia harus menjelaskan berkali-kali bahwa hal itu benar, berikut penjelasan hubungannya dengan Jeno. Tiap kali melihat Jaemin di televisi menjelaskan bahwa ia adalah wali Jeno dan menganggapnya sebagai adik, remaja itu ingin meninju Tembok Cina sampai hancur.
 
"Aku punya ide bagus!" seru Haechan, sepertinya bersimpati pada hubungan Jeno dan kakaknya. "Bagaimana kalau Jaemin sengaja tertangkap paparazzi dengan wanita lain? Dengan begitu rumor baru terjadi dan rumor kalian segera lenyap."
 
Melihat ekspresi Jeno, Minhyung menggeleng.
 
"Nanti malah muncul serial killer. Itu bukan ide bagus."
 
Menjelang liburan musim dingin, karena Minhyung, Haechan, dan Jeno satu universitas (beda jurusan), mereka mau tidak mau sering berpapasan di kantin paling belakang area universitas karena paling jauh dan paling sepi. Jeno karena ia malas kalau tiap makan malah diwawancarai orang-orang di kampus, Haechan karena makanan di kantin belakang paling murah, dan Minhyung memang pada umumnya tidak suka keramaian. Kadang Yukhei sering mampir ke sana, karena dekat kantin belakang itu adalah kampus lamanya juga, dan penjaga kantin di tempat itu teman lamanya.
 
"Kalian tutup mulut saja," geram Jeno, menusuk-nusuk sushi-nya tak keruan. Tiba-tiba ia memukul meja keras, membuat piring mereka lompat. "Tentu saja. Tentu saja." Ia beranjak dan berjalan pergi. "Kenapa aku tidak berpikir seperti itu?"
 
"Apalagi ini?" tanya Yukhei, yang mengambil tempat Jeno. Minhyung langsung melayangkan tatapan sengit padanya. "Dia kenapa lagi? Padahal rumornya juga tidak terlalu sering dibicarakan. Media melindungi Jaemin-Sonsaengnim kok."
 
"Hmm, Sunbae, kalau kau jadi korban rumor, sepertinya tidak akan berpikir sesantai itu," jawab Haechan tenang, kembali memakan nasi karenya. Beberapa butir nasi menempel di atas bibirnya. Sontak, Minhyung dan Yukhei berbarengan bereaksi;
 
"Ah, itu di bib—"
 
Haechan menjilat bibirnya dan melanjutkan makan. Ia menyadari kedua temannya tadi mau mengatakan sesuatu, dan menoleh pada mereka.
 
"Hm? Apa tadi? Kalian bilang apa?"
 
Minhyung menghela napas diam, sementara Yukhei sekarang melampiaskan kekesalannya pada sushi milik Jeno tadi.
 
Untuk tiga orang ini, ceritanya masih panjang...
 
~.X.~
 
Apartemen baru mereka hanya berjarak sepuluh menit dari kampus Jeno ditempuh dengan jalan kaki. Melihat mobil Impala di parkiran depan, pemuda itu bergegas naik. Jaemin sedang berada di kamar tidur, berganti pakaian.
 
Jeno mengunci pintu apartemen, lalu pintu kamar tidur mereka. Jaemin duduk di ranjang dengan wajah bingung.
 
"Aku punya ide," kata Jeno, tersenyum lebar. "Aku selesaikan kuliahku di Inggris saja."
 
"Eh...ah...? Hah...?" Jaemin menelengkan kepala, mengernyit makin bingung. "Kau mau apa?"
 
"Inggris. Kuliah."
 
"Untuk apa? Universitasmu sekarang sudah sangat bagus!"
 
"Mungkin rumor aneh soal video itu akan hilang—atau media bosan, kalau aku pergi beberapa tahun." Jeno menjelaskan, meskipun kedengarannya meyakinkan diri sendiri. "Setelah lulus, aku akan melamar ke kantor detektif, lalu—"
 
"Terserah kau lah." Jaemin berkata dengan dingin, melepas kemejanya dan menarik selimut, lalu berbaring. Wajahnya tampak kesal. Jeno menautkan alis, memanjat ke kasur.
 
"Hei, kenapa kau marah?" tanya Jeno bingung, "Aku melakukan ini untuk kita!"
 
"Hmph." Jaemin memunggungi kekasihnya, merengut. "Apalagi kalau itu."
 
"Apa masalahmu?"
 
Jaemin menghela napas, lalu bangkit, duduk untuk menatap Jeno lurus-lurus. "Lakukan sesuatu untuk dirimu sendiri, bisa tidak? Tidak usah selalu memikirkanku. Sewaktu Jeno bilang mau jadi detektif, aku kira kau tidak mungkin sebegitu seriusnya..."
 
"Kenapa tidak boleh?" Jeno tampak tersinggung. "Aku mau melakukan apa saja untukmu, kenapa Jaemin malah nggak senang?"
 
"Pertama..." Jaemin melipat tangannya. "Terlalu berlebihan harus pindah kuliah ke luar negeri hanya untuk menghapus rumor. Kedua, aku tidak mau kau melakukan hal seperti ini untukku. Aku juga tidak mau Jeno jadi detektif untukku."
 
"K-Ketiga..." Ia berdeham, "...Aku tidak mau kalau J-Jeno...terlalu jauh dariku..." Ia berpaling dengan wajah merah.
 
Jeno gemetar, dan tangannya sudah mencengkeram bahu ramping berkulit porselen itu. Jaemin buru-buru kabur dan turun dari kasur, tapi Jeno yang lebih tinggi dengan mudah menangkapnya dan menyeretnya naik ke tempat tidur.
 
"Aaah! Lepaskan aku! Jangan perlakukan aku seperti ini, aku kan lebih tua darimu!" protesnya, memberontak sia-sia. Ia bergidik ketika merasakan Jeno menjilati lehernya. "Nnh...? Hentikan!"
 
Jeno malah melingkarkan kedua tangannya rapat di sekeliling Jaemin. Hidungnya menghirup bahu kekasihnya, membuat sensasi yang sangat sensual.
 
"Salahmu sendiri," bisiknya jahil, lalu membasahi telinga Jaemin dengan lidahnya.
 
~.X.~
 
Jaemin bertelungkup sambil memeriksa agendanya. Hampir setengah tahun sejak ia mengajari Jeno berdansa di taman, dan ternyata beberapa penontonnya merekam video dan menyebarkannya ke internet. Awalnya tidak banyak yang menyadari bahwa mereka yang ada dalam video itu, tapi saat rumor-rumor semakin kuat, Jaemin mau tidak mau angkat suara. Ia sampai harus menghadiri interview untuk menjelaskan bahwa tidak ada hubungan romantis antara dirinya dan Jeno, kecuali hubungan adik kakak dan bahwa ia walinya.
 
Jeno juga sedikit direpotkan oleh pertanyaan-pertanyaan orang-orang di kampus, tapi ia paling tidak suka jika tiap ada interview Jaemin harus menerima pertanyaan itu berulang-ulang, menjelaskan berulang-ulang, dan kalau bukan karena sifat Jaemin yang suka memanjakannya, Jeno mungkin akan frustrasi.
 
"Hnn." Jeno berguling ke arahnya, minta dipeluk. Jaemin mengecup pipinya, namun matanya masih sibuk memandangi agenda. "Jadi menurutmu aku tidak perlu melakukan apa-apa soal rumor itu?"
 
"Tidak."
 
"Lalu kenapa kau menghindariku?"
 
"Tidak." Jaemin membalik halaman baru dan menandai beberapa tanggal di bulan Desember. Jeno memandangnya sinis, dan Jaemin bisa merasakan itu. "Aku tidak menghindarimu sama sekali, aku hanya sangat sibuk tahun ini."
 
Tetap saja tatapan itu.
 
"Mungkin karena kau masih muda dan pikiranmu hanya tentang seks melulu, makanya kau pikir aku jarang menghabiskan waktu denganmu. Padahal paling tidak sebulan sekali kita—"
 
"Sebulan sekali!" protes Jeno menautkan alis. "Tidak harus seks! Misalnya sebelum berangkat bangunkan aku atau cium aku. Atau saat pulang terlalu larut dan aku sudah tidur, lakukan itu..."
 
Jaemin terdiam, lalu menatap Jeno datar. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan tawa, tapi bahunya sudah gemetar. Jeno mendengus, wajahnya merah. Dia memang tipe kekasih yang sangat manja dan needy. Saat kecil juga seperti itu. Tapi ini membuat Jaemin sangat senang. Ia merangkak ke arah Jeno dan menjatuhkan dirinya ke dada bidang remaja itu, membuat dirinya sendiri nyaman.
 
"Dasar bayi." Ia tertawa kecil dan mencium tangan Jeno sebelum menggenggamnya dan menutup mata.
 
Jeno menggigit bibir bawahnya, wajahnya tampak keras kepala, meskipun merah padam. Ia separuh senang dimanja oleh Jaemin, tapi jika dikatai seperti itu mau tidak mau ia sedikit jengkel juga. Baiklah. Mungkin sedikiiiit senang. Sedikit saja sih. (Baca: sangat senang)
 
~.X.~
 
Jaemin menatapnya sendu. "Maafkan aku, Jeno. Tapi semua ini sudah berakhir."
 
Entah kenapa Jeno tidak bisa mengeluarkan suaranya.
 
"Aku telah menemukan cinta sejatiku saat mengikuti kencan buta." Di sisi Jaemin seorang pengantin, wajahnya tertutup kain putih tipis. "Kami memilih satu sama lain," ujarnya dan menyingkap kain putih itu.
 
Muncullah wajah Minhyung.
 
Jeno terbangun dengan jantung berdebar kencang. Tubuhnya banjir keringat dingin, jantungnya mencelos menyadari bahwa hanya dirinya yang berada di dalam selimut. Tunggu. Kenapa Jaemin tidak ada? Ia sudah mengambil cuti...
 
Ia mendengar suara dari ruang tengah. Ternyata Jaemin sedang menonton video di televisi. Video itu adalah kenang-kenangan dari rumah nenek. Ulang tahun pertama Jeno, penampilan impresi piano Jaemin yang pertama, dan lain-lainnya. Jeno beringsut ke sofa, lalu mencium puncak kepala kelinci manis itu.
 
"Hei." Jaemin balas mencium pipinya, dan menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. Jeno memanjat dari belakang sofa, lalu menggelinding jatuh, meletakkan kepalanya di pangkuan Jaemin. "Lihatlah bayi itu, sekarang sudah sebesar ini..." Jaemin pura-pura terisak dramatis, mengelus-elus kepala Jeno. "Anakku sudah besar. Aku sudah tua...Waktuku tak lama lagi..."
 
"Heh..." Jeno mencubit pahanya gemas, membuat Jaemin tertawa. Keduanya diam menonton video yang diputar.
 
Ia baru menyadari bahwa Jaemin juga tampak sangat berbeda. Bukan soal tinggi badan atau hal-hal sejelas itu. Ekspresinya. Jaemin yang memangkunya saat ini lebih sering tertawa dan bercanda. Jaemin yang pernah menjadi kakaknya tampak lebih pendiam. Saat itu ia pasti masih merasa tertekan soal keluarganya, nenek, dan banyak hal lainnya.
 
Jeno berusaha tidak memikirkan bahwa, ah, dirinya mungkin sedikit (cukup banyak) mengubah Jaemin. Bukannya dia berbangga atau apa, dia hanya senang (dan sangat bangga) bisa membuat Jaemin lebih bahagia.
 
"Hei, Jeno?" Jeno menoleh menatap kelinci manis yang menunduk ke arahnya.
 
"Hm?"
 
Ia hanya tersenyum lembut dan mencium pipinya lagi. "Hehe, tidak apa-apa."
 
Jeno membenamkan wajah merahnya ke pangkuan Jaemin, merasa jantungnya bisa meledak.
 
~.X.~
 
Jeno mungkin manja, tapi dia bukannya orang yang sentimental. Jaemin juga begitu. Dirinya sibuk, dan ulang tahunnya selalu saja dihebohkan dengan kejutan dari para penggemar atau murid-muridnya. Jeno sendiri hampir setiap tahun diselamati oleh gadis-gadis yang menyukainya dari kejauhan, kadang-kadang mereka cukup berani menjejalkan hadiah ke tangannya dan kabur. Mereka sudah lama tidak merayakan ulang tahun satu sama lain.
 
"Ne, Jaemin-Sonsaengnim, aku punya pertanyaan." Luna-Sonsaengnim, guru biola sekolah musik, tiba-tiba menghampirinya. "Pemain terompet kira-kira akan menyukai alat perawatan terompet atau malah bosan menerimanya?"
 
"Hmm...Menurutku pemain terompet biasanya orangnya periang, mereka pasti senang diberi apa saja. Ada apa?"
 
"Teman SMA ku dulu, hehe. Dia akan berulang tahun Desember ini."
 
"Hmm."
 
“Jaemin-Sonsaengnim sepertinya tidak terlalu tertarik merayakan ulang tahun, ya? Selalu saja melupakan ulang tahunnya sendiri." Wanita itu tertawa. "Suamiku juga seperti itu—yah, kau tahu karena kalian berdua kan maestro—aku juga terlalu sibuk...Tapi temanku pernah sampai putus dengan pacarnya karena tidak pernah merayakan atau menyelamatinya saat ulang tahun!"
 
Jaemin yang sedang bersiap memakai jasnya terdiam. "Putus?"
 
"Iya...Jadi aku paling tidak menyelamatinya. Kalau aku sempat aku pasti mengejutkannya dengan hadiah."
 
"Hm, hubungan yang dinamis itu bagus," komentar Soojung-Sonsaengnim. "Tapi kalau terlalu dinamis juga melelahkan." Sepertinya ia teringat kekasihnya yang masih di Perancis.
 
"Haha! Tapi kan dia pasti terbang ke tempat Soojung-Sonsaengnim kalau sampai lupa! Tahun lalu seperti itu, aku sampai kaget..."
 
"Tolong jangan ingatkan aku..." Soojung-Sonsaengnim menyadari Jaemin masih terdiam memegangi sarung tangan putihnya. "Jaemin-Sonsaengnim, berhentilah melamun. Kau harus konsentrasi."
 
"Ah...iya..." Jaemin menarik napas tajam dan menggeleng. Saat ini ia harus fokus dengan pertunjukan.
 
~.X.~
 
Lalu malamnya, dia membuat Jeno jengkel. Selesai mandi, Jaemin mendadak bertanya:
 
"Kau mau hadiah apa?"
 
Jeno yang sedang bermain PSVita tidak mengalihkan pandangan. "Hmm? Hadiah untuk apa?"
 
"Hadiah ulang tahun," kata Jaemin, sekarang tampak sangat serius. Jeno sedikit mengernyit; mata hitamnya terpaku pada layar PSVita. "Jeno? Hei? Kau mau apa?"
 
"Hardcore make out session."
 
"Itu kan sudah masuk paket Christmas Eve. Ini untuk ulang tahunmu."
 
"Paket? Memangnya ini apa? Paket pijat? Hmm...Ulang tahunku diberi paket itu juga saja."
 
"Eeh? Masa itu saja?" Jaemin menggembungkan pipinya, lalu mondar-mandir di depan sofa. Ini sedikit mengganggu konsentrasi Jeno, karena pria itu hanya memakai handuk menutupi pinggul ke bawah. "Mungkin ponsel baru? Tapi ponselmu masih bagus ya. Laptop? Sudah punya. Mustang-mu masih bagus. Ah!" Jaemin tiba-tiba menghadap Jeno dan memangku wajahnya di sofa. "Bagaimana kalau kita keliling Eropa?"
 
Jeno menjatuhkan PSVita-nya ke pangkuan, lalu mencengkeram kepala kelinci manis itu dengan satu tangan.
 
"Jaeminnn...ada apa ini? Bukankah terakhir kita merayakan ulang tahun itu tiga belas tahun lalu ya? Aku sudah bukan bayi lagi, aku tidak butuh yang seperti itu..."
 
"Lalu kau mau kado apa?" Jaemin sepertinya tidak paham perkataannya. "Selain diriku," katanya, merengut dengan wajah merah.
 
Jeno terdiam, pikirannya sedang homina akbar. Mungkin ia butuh pengusiran setan. Air Suci. Lingkaran Bintang David. Tiba-tiba lampu Thomas Alpha Edison menyala dalam otak kotornya.
 
"Bagaimana kalau waktu ulang tahunku kau telanjang lalu pakai celemek seharian dan memanggilku Master—" Jeno menutup mulutnya melihat wajah pucat pasi Jaemin yang jelas-jelas merasa jijik.
 
"H-Hei! Jangan menatapku seperti itu! Kau yang bertanya!"
 
"Memangnya aku menatapmu bagaimana? Aku...Aku biasa saja."
 
"Wajahmu itu jelas-jelas mengatakan di mana aku salah membesarkan anak ini, tahu...Tidak usah memaksakan diri memberiku hadiah, yang itu tadi aku hanya bercanda..."
 
Melihat ekspresi Jaemin yang bagai sedang menerima takdir, Jeno buru-buru menarik tangannya.
 
"Hei...lupakan, tidak perlu melakukan yang kukatakan tadi, oke?"
 
"Ah? Apa? Memangnya kau tadi bilang apa?"
 
"Jangan. Lakukan."
 
"S-Siapa bilang aku akan melakukan itu?"
 
"Wajahmu yang bilang."
 
"C-Cuaca cerah hari ini."
 
"Jangan Terapi Cuaca!"
 
~.X.~
 
Toko barang antik saat itu sedang ramai. Jeno menunjukkan undangannya pada penjaga pintu yang segera memeriksa daftar. Setelah itu ia harus menyerahkan uang jaminan dan beberapa surat yang sebagian besar identitas. Hanya ada satu barang yang ia inginkan, jadi ia membayar uang jaminan sesuai dengan harga barang yang ingin ia menangkan dalam lelang.
 
Jeno mengambil duduk di kursi peserta. Mata hitamnya menatap yakin pada etalase ramping yang terpajang di sisi kiri ruangan.
 
Jaemin sudah memberikan banyak untukku, pikirnya. Mulai sekarang, aku juga...
 
~.X.~
 
Agenda tanggal 24 Desember begitu penuh. Jaemin menghadiri berbagai pesta dari pagi hingga malam. Jeno menghadiri acara-acara kampusnya, serta bakti sosial hingga malam. Namun dalam pikiran mereka adalah tanggal 25 Desember, besok. Pria kelinci manis itu akhirnya bisa pulang cukup awal, paling tidak di bawah jam sembilan.
 
Jaemin membayar taksinya, ia turun di dekat rumah sakit yang dulu sering ia datangi untuk menjenguk nenek. Namun ia berjalan lurus dan memasuki toko kue. Ia membeli cake pudding strawberry, cheesecake blueberry dan pudding mangga.
 
Apartemennya sudah dinyalakan saat ia tiba. Jeno sedang di dalam kamar mandi. Jaemin menyimpan kue-kue itu di dalam lemari es. Ia membuka kancing jasnya, menyambar handuk, dan bergabung dengan Jeno di dalam shower.
 
"H-Hei," sapanya, berdiri dengan canggung di depan pintu kamar mandi. Jeno sedang membilas rambutnya, lalu melayangkan senyum nakal padanya. Jaemin mengalihkan pandangan ke cermin yang berembun.
 
Padahal sudah tak terhitung berapa kali ia melihat pemuda itu tak berbusana. Dari kecil hingga detik ini. Baru akhir-akhir ini ia melihat Jeno dengan perasaan yang berbeda.
 
"Mau kumandiin?"
 
Jaemin merengut dan menunduk, tapi masuk ke dalam shower box.
 
"Mau."
 
~.X.~
 
Keesokannya Jeno terbangun lebih dulu dengan Jaemin di dekapnya. Ia mencium hidung pria itu. Jika pertama kali melihat Jaemin, tidak akan ada yang percaya bahwa wajah mungil seperti porselen itu berusia hampir tiga puluh. Jeno memakai celananya, menyelimuti kekasihnya, lalu turun dari ranjang.
 
Ia membuka pintu kloset, matanya langsung tertuju pada jaket kulit yang ia gantung. Wajahnya sedikit memerah, tapi ia menghembuskan napas, menguatkan diri. Ia mendengar Jaemin terbangun, lebih dulu masuk ke kamar mandi. Jeno menyusul dan mencuci muka sementara Jaemin menyikat gigi dengan mata terpejam.
 
Jeno mengira mereka akan sarapan terlebih dahulu, tapi ternyata Jaemin memakai kaos berbahan wol dan jaket serta syal. Jeno pun memakai jaketnya.
 
Matanya melebar melihat Jaemin mengeluarkan kotak cake dari toko kue yang ia kenal. Tentu saja. Tradisi lama ini. Jaemin mengulurkan tangan dan nyengir lebar padanya.
 
"Terakhir kita melakukan ini, kau masih bisa kugendong," katanya riang, mengunci pintu apartemen mereka.
 
"Sekarang Jaemin kugendong saja, bagaimana?" Jeno tertawa ketika lututnya ditendang pelan. Mereka berpegangan tangan. Tidak menuju parkiran, mereka berjalan ke halte bis.
 
Lalu mereka menaiki kereta. Jeno menguap, meskipun sebenarnya ia pura-pura menguap karena ia butuh menarik napas dalam. Ia merasa sangat gugup. Tangan Jaemin menggenggamnya erat.
 
Dari stasiun, mereka berjalan ke toko bunga. Jaemin memilih dan merangkai sendiri bunga-bunganya. Kali itu ia merangkai poinsettia dengan baby's breath. Buket rangkaiannya selalu saja istimewa. Mungkin jika Jaemin tidak mengambil jalan musisi, ia sudah menjadi perangkai bunga. Tapi jalan apapun itu, Jeno akan tetap menyukainya.
 
Lalu mereka berjalan ke pemakaman. Di daerah itu salju lebih tebal menumpuk di sisi jalan daripada saat di kota. Pemakaman tidak tampak angker, hanya seperti taman batu bertabur serbuk putih.
 
Sesampainya di nisan nenek, mereka membersihkan tempat itu dari salju. Jeno menyalakan dupa, Jaemin meletakkan buketnya. Mereka diam, mungkin berdoa, mungkin bicara dengan nenek dalam hati. Setelah itu Jaemin mengeluarkan cake-nya. Cake pudding stroberi kesukaan Jeno saat kecil. Pudding mangga diletakkan di sebelah buket poinsettia.
 
"Ah...benar juga." Jaemin tiba-tiba berkata, memecah keheningan lagi. Jeno mengangkat wajahnya. Ia merasa pernah melihat senyuman itu. Senyuman yang bersemu dengan kebahagiaan. "Selamat ulang tahun, Jeno."
 
Jeno tersenyum lebar.
 
"Semoga umurmu panjang,"
 
"...Dan hidupmu bahagia."
 
Jaemin terdiam, memandangi nisan nenek dengan senyum yang tenang. Jeno merasa semakin gugup—ia tidak bisa memakan cake pudding di tangannya. Ia sudah mau meletakkan cake-nya, tapi Jaemin berkata lagi;
 
"Hei, Jeno?"
 
"Hmm?"
 
Jeno melihat senyuman itu lagi, dan ia ingin meledak saja rasanya. Jaemin tersenyum cerah. Begitu indah. Lebih murni dari salju.
 
"Terima kasih sudah lahir. Terima kasih juga untuk orang tuamu yang menitipkanmu padaku, dan sudah melahirkanmu. Terima kasih sudah menjadi adikku. Terima kasih sudah menjadi kekasihku. Terima kasih sudah...sudah ada di dunia ini."
 
Jeno menghela napas dan meletakkan cake pudding itu di sebelah pudding mangga nenek, lalu merogoh sakunya untuk mengeluarkan barang yang telah ia incar dalam lelang.
 
"Kalau begitu pakai ini," katanya, mengeluarkan kotak hitam kecil. Ia mengambil cincin putih perak di dalamnya, dan meletakkannya di telapak tangan Jaemin. Jaemin memandangi cincin itu dengan mata lebar dan wajah bersemu merah.
 
"Oh," katanya tolol.
 
Jeno mendengus, memicingkan mata, wajahnya sendiri merah. Ia ingin lari saja saat mencuri-curi pandang, melihat Jaemin melepas sarung tangannya, lalu memakai cincin itu dengan wajah polos. Cincin antik itu merupakan perak murni disepuh emas putih, dengan ukiran bunga forget-me-not. Yang membuatnya antik adalah ukiran detil dan realistis bunga tersebut. Tapi bukan itu yang penting bagi Jeno.
 
"Kau juga pakai punyamu?"
 
Jeno melepas sarung tangannya juga dan memamerkan cincin yang sama di jari manisnya, tidak berani menatap wajah Jaemin.
 
"Hoo." Jaemin manggut-manggut polos, lalu memandangi cincin di jari manisnya sendiri. "Boleh juga."
 
Mungkin untuk saat ini Jeno tidak bisa memamerkannya ke seluruh dunia. Mungkin hari ini pemakaman putih yang menjadi saksi, dan nisan nenek yang mengawasi mereka. Mungkin saat ini mereka hanya bisa menikmati kue-kue sederhana dari toko kue.
 
Tapi, hari ini, bagaimana pun juga, mereka menikah. Mungkin mereka belum menandatangani surat-surat. Mungkin mereka malah harus pindah lagi untuk membuat semuanya resmi. Tapi hari itu mereka sepakat bahwa ada hal-hal yang tidak bisa mereka hadapi dengan ikatan keluarga, atau persaudaraan. Mereka sepakat bahwa inilah cara bagi mereka untuk menanggung semuanya bersama, secara sama rata. Tidak ada yang harus merasa memimpin, tidak ada yang harus memaksakan diri menahan tangis, tidak ada yang merasa tidak mampu memahami yang lain.
 
Tiba-tiba pria kelinci manis itu tertawa kecil, membuat Jeno sedikit sakit hati.
 
"Apa? Corny? Klise?"
 
"Iya, iya." Jaemin sedikit berlutut di tanah bersalju agar bisa mengecup lembut bibir Jeno, dan nyengir seperti anak laki-laki polos, begitu lepas, begitu bebas, seakan tanpa beban.
 
Jeno belum pernah melihat senyuman seperti itu. Karena senyum Jaemin tidak pernah tampak seperti anak-anak meskipun posturnya begitu mungil. Senyumnya selalu berisi syukur dan menahan diri.
 
Tapi kali ini senyuman itu bisa jadi hadiah ulang tahunnya yang terbaik. Jaemin tersenyum karena ia bahagia. Bahagia saja. Tidak ada perasaan lainnya. Simply happy.
 
"Ternyata kamu memang sudah bukan bayi lagi ya, Jeno."
 
Mereka tidak peduli. Administrasi, persepsi dunia, bahkan cincin di jari mereka, tidak ada artinya. Bagi Jaemin, kisahnya berawal ketika ia menemukan bayi di depan pintu. Jeno baru bisa memulai kisahnya sendiri ketika Jaemin meninggalkannya.
 
"Hmph...Baru percaya..."
 
Jika pernikahan adalah awal dari sebuah perjalanan baru bersama, maka cincin itu melambangkan sebuah pintu. Kali ini, Jeno dan Jaemin, bersama-sama akan memulai kisah baru yang menanti di balik pintu tersebut.
 
Dan karena itulah, kisah kakak-beradik harus berakhir sampai di sini.
 
"Marriage is not a noun; it's a verb. It isn't something you get. It's something you do. It's the way you love your partner everyday." — Barbara De Angelis

.

.

END

.

.

Aku minta maaf karena satu dan lain hal aku baru update chapter terakhir fanfic ini 🙏

Terimakasih sudah membaca book ini ya 🥰

thank you,

dinodeer.
 

Baby Jeno ✈ nomin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang