I do not own the story.
Original story by Esile the Raven..
.
Waktu berlalu. Jaemin, sekarang ia kelas tiga SMP, sementara Jeno baru masuk taman kanak-kanak (TK). Semenjak permainan pianonya di orkestra pada pembukaan Festival Kebudayaan yang lalu, Jaemin ditunjuk jadi ketua orkestra yang baru. Jeno sepertinya semakin lancar berbicara, tapi dia jadi pendiam dan lebih suka bermain sendiri.
Si kecil itu baru-baru ini belajar mengenali anggota keluarga. Ayah, yang bekerja, membawa tas dari pagi pergi ke tempat kerja dan pulang sore-sore. Ibu, yang merawat anak, membersihkan rumah dan menyapu. Saudara perempuan, dan saudara laki-laki, yang berbagi dan bermain bersama, kadang juga bertengkar. Kakek dan nenek, orang tua ayah dan ibu.
Ada alasan kenapa si kecil itu menjadi lebih pendiam.
Pertama, di mata Jaemin, mungkin Jeno adalah anak termanja di dunia, tapi itu hanya Jaemin. Jeno tidak suka disentuh orang lain, bahkan nenek tidak bisa menggendongnya lebih dari tiga menit. Ia tidak suka bicara dan bertanya, karena ia selalu ingin melakukan apapun sendiri.
Kedua, susah baginya untuk menjelaskan pikirannya yang berlompatan dengan sangat cepat. Jeno sangat cerdas; ia cepat memahami sesuatu, menirukan dan mempraktikkan bagaimana cara memakai sepatu, memecahkan puzzle gambar, berhitung sampai sepuluh, dan menghapal nama bulan dan hari. Tapi ia tidak sabar kalau harus bicara pada orang lain, ia takut orang lain tidak mengerti. Jeno hanya bisa cerewet pada nenek dan Jaemin, karena mereka sangat sabar dan ia merasa nyaman berceloteh apapun.
Lalu, alasan ketiga membuat Jeno lebih pendiam di sekitar Jaemin. Semuanya dimulai dari sebuah kegiatan kecil yang dibuat guru TK-nya.
"Coba gambar dan ceritakan keluarga kalian, ya?"
Jeno tidak suka bertanya. Jadi ia mencoba memahaminya sendiri. Dan susah. Anak seumurannya memang masih butuh bimbingan, tentu saja. Ia tidak mengerti kenapa ia hanya punya kakak laki-laki dan nenek. Kalau ia perhatikan, teman-temannya punya ayah dan ibu yang menjemput mereka atau mengantar mereka ke TK.
Si kecil itu menunggu-nunggu Jaemin pulang sambil menggambar di kertas gambar. Nenek sedang memasak makan malam ketika telepon berdering. Wanita tua itu menyuruh si telepon menunggu sebentar, mengecilkan api, lalu segera ke koridor untuk mengangkatnya. Jeno juga sering mendengar nenek menyuruh teko air yang bersiul-siul untuk bersabar. Jeno pernah mencoba bicara pada batang kayu gigitnya, tapi sepertinya mereka tidak menjawab.
"...Jaemin? Jaemin masih di sekolah..." suara nenek terdengar cemas. "...Astaga...Astaga...Oh, ya Tuhan..."
Waktu itu masih siang, tapi Jaemin sudah pulang. Nenek menelepon ke sekolahnya, menyuruhnya pulang. Jeno sudah setengah mengantuk saat Jaemin menyuruhnya naik ke kamar. Tapi belum sempat ia naik ke puncak tangga, Jaemin sudah berjalan keluar ruang tengah. Suaranya keras.
"Di mana tempatnya!?" seru Jaemin, suaranya bergetar. Nenek mengikuti di belakang, memakai kardigan. "Jeno, sini dulu," panggil Jaemin dengan suara mendesak. Seketika kantuk Jeno hilang, dan sampai di bawah ia langsung digendong oleh Jaemin. Nenek mengunci pintu rumah, dan ketiganya pergi.
Mereka naik kereta. Sudah lama Jeno tidak naik kereta, ia lupa seperti apa rasanya. Ia heran melihat pepohonan bergerak di luar, padahal ia sedang duduk diam di dalam kereta. Jeno menatap Jaemin penasaran, tapi wajah kakaknya begitu muram ia sampai tidak berani bertanya.
Jeno saat itu tidak mengerti apa yang terjadi. Ayah Jaemin meninggal dunia karena kebakaran di tempat kerja beliau.
~.X.~
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Jeno ✈ nomin
FanficSuatu hari, Jaemin menemukan seorang bayi di depan teras rumahnya. Kisah kedua anak laki-laki ini tak bisa terlepas dari satu sama lain sejak hari bersejarah itu. Seiring pertumbuhannya apakah Jeno tetap ingin menjadi adik bayi Jaemin? Warn! Age ga...