9

72 28 19
                                    

***

"Hidup itu harus di jalani dengan santai, jangan terlalu serius dan kaku, tertawa saja seakan dunia akan tertawa bersamamu."

***

Muhammad Akbar Rayyan

___

Mulut Akbar terus saja mengomel selama perjalanan ke tempat proyek. Ia masih tidak terima dengan perkataan Iqbal yang mengiranya suka sama mbak kunti rambut panjang daster putih kotor lagi.

"Gue akui kalo gue itu tampan, tapi masa di suka mbak kunti sih? Emang nggak bisa gitu di sukanya sama mbak penjual batagor aja, kan bisa makan batagor gratis." Ucapnya kesal.

Iqbal hanya diam mendengar celotehan yang sudah hampir dua jam di dengarnya itu, ia menyandarkan kepalanya pada jendela mobil dan memperhatikan air hujan melalui kaca jendela.

Karena tidak mendengar tanda-tanda kehidupan di sampingnya, Akbar menoleh dan melihat Iqbal yang sedang melamun, "Wahai bawahan Akbar yang buruk rupa, apakiranya yang membuatmu diam membisu seperti orang galau padahal faktanya kau jomblo." Ujarnya dramatis.

"Nggak apa-apa pak Bos Akbar." Iqbal menjawab dengan lemas, kepalanya sudah terasa sangat pening.

"Bal, lo nggak sakitkan?"

"Nggak."

"Terus?"

"Nggak apa-apa bos."

"Lo kayak cewek aja aku nggak apa-apa kok. Eeh, nyatanya ada apa-apa."

Iqbal hanya menatap malas pada Akbar dan sedikit gelay melihat mulut Akbar yang sedang di manyun-manyunkan persis kalau cewek lagi ngambek. "Nggak apa-apa pak Bos." Jawab Iqbal lagi.

"Ini sudah yang ketiga kalinya lo bilang nggak apa-apa, kalo butuh sesuatu tuh bilang! Wajah dekil bin hitam bin kumel binti jelek lo itu kelihatan pucat." Omelnya mengalahkan omelan emak-emak yang dilakor, canda lakor.

"Hmm."

"Atau lo mau di bawa ke rumah sakit? Wajah lo udah pucet banget."

"Nggak perlu pak Bos, gue cuma sedikit pening."

"Serius?" Tanyanya tak yakin.

"Hmm, tumben pak Bos perhatian." Ucapnya sudah kagum melihat sisi lain dari Akbar.

"Siapa bilang gue perhatian? Gue cuma takut lo mati di mobil kesayangan gue. Biaya tanah kuburan mahal, sayang uangnya lah. Kalo lo matinya di rumah sakit, siapa tahu dapat pemakaman gratis." Ucap Akbar tanpa dosa.

Iqbal hanya bisa melongo, membeo, tercengang, terjungkil, terjatuh dan tak bisa bangkit lagi mendengar pernyataan panjang kali lebar yang keluar dari mulut berdosa Akbar. "Ternyata aku cuma di prank." Katanya dengan kesal.

Akbar tertawa lepas setelah berhasil membuat Iqbal kesal. "Ayo keluar, pekerjaan udah nunggu." Kata akbar seraya melepas seatbelt yang membalut tubuh tegapnya.

Iqbal hanya mengikuti apa saja yang di perintahkan Akbar padanya. Kalau ditanya, apakah ia sakit hati dengan semua tingkah Akbar yang selalu membuat kepalanya berdenyut-denyut? Jawabannya tidak, karena ia sudah kenal betul dengan Akbar begitu pula dengan Zani. Kesal? Iyya, Iqbal tidak akan munafik membantah satu kata itu, tapi kalau benci, rasanya dia terlalu bodoh untuk membenci orang yang pernah menariknya dari lembah hitam yang pernah menjerat hidupnya.

Akbar, lelaki dengan sejuta guyonan dan tingkah aneh yang sudah menjadi ciri khas dirinya. Iqbal juga terkadang heran dengan Bosnya ini, mengapa ia selalu tertawa seakan kesedihan tak pernah hinggap dalam hatinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Afanin ZanithaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang