Terluka-2

733 61 5
                                    

Hampir saja Gyeoul mengacaukan operasi hari ini. Ia tak banyak membantu. Rasa nyeri di lengannya merasuki sekujur tubuh. Konsentrasinya terganggu. Untung saja dokter Kwon-kepala bedah umum, menyadari kondisi Gyeoul, dan hanya meminta dokter residen itu melakukan hal-hal sederhana. Dengan wewenangnya dokter Kwon memerintah Gyeoul agar beristirahat beberapa hari ke depan.

Benar kata Jeongwon, sebaiknya ia tak menangani operasi untuk sementara waktu.

Di ruang bedah umum, Gyeoul baru mentas dari operasi, menyalakan layar komputer, memperbarui matriks rekam medis pasien di data base rumah sakit.

Perutnya berdengung mengingatkan bahwa ia melewatkan makan siang . Gyeoul beranjak ke rak di salah satu sisi ruangan. Meraih dua bungkus mi instan dari dalamnya. Sambil berjalan ia membuka penutup mi itu, menuangkan bumbu, lalu menyeduh keduanya secara bersamaan dengan air panas dari dispenser.

Dokter residen tahun keempat itu kembali ke tempat dengan menyandang mi instan di kedua tangan. Menunggu beberapa menit sebelum makan sore -merangkap makan siang- itu melunak.

Gyeoul meraih ponselnya. Mencoba mengirimkan pesan pada Jeongwon. Masih sekitar satu jam lagi sebelum jam kerja berakhir. Barang kali pria itu berkehendak mengenyangkan perut bersamanya. Gerak jemari Gyeoul terhenti sebelum pesan itu selesai. Ia ingat, Jeongwon sedang marah. Kemungkinan untuk sementara pria itu tak mau menemuinya.

Gyeoul meletakkan kembali ponselnya dengan lesu. Tubuh kurusnya dilemparkan pasrah pada sandaran kursi. Mudah saja jika Gyeoul harus mengutarakan maaf. Tapi percuma saja jika akhirnya Jeongwon masih terbakar emosi dan berakhir dengan perselisihan paham lagi.

Dua bungkus mi instan di hadapannya sudah mengembang. Memanggil-manggil seolah akan menghibur perut dan hatinya. Gyeoul menghela nafas panjang. Sebaiknya ia menyelesaikan perkara yang sudah ada di depan mata -dua mi instan yang suka rela melesat ke dalam lambungnya. Dengan lihai ia menjepit makanan panjang itu dengan sumpit. Lalu mengantarnya ke liang mulut. Geraknya terhenti saat menatap luka di tangannya. Gyeoul teringat, seharusnya perban luka itu diganti. Harus segera setelah ia menandaskan dua bungkus mi.

*****

"Anda baik-baik saja, Profesor?"

"Saya?"

"Profesor terlihat kurang semangat," sebut seorang perawat yang mendampingi Jeongwon selama kunjungan hari ini.

Jeongwon hanya diam mengulum senyum. Sejak pagi ia memang gusar. Tubuhnya pun sepaham tak bergairah seperti biasa. Sepanjang hari ia terganggu dengan kekasihnya. Bukan hanya tentang kondisinya, tapi juga bagaimana wanita keras kepala itu bisa menyelesaikan operasi dengan tangan terluka.

Sejak perdebatan mereka pagi tadi ia belum menghubungi Gyeoul. Pun belum ada pesan atau telepon dari juniornya itu. Ia memang menahan diri. Takut yang ia sampaikan hanya emosi yang tak menyenangkan hati. Lagi pula ia dengar operasinya belum selesai siang tadi.

Jeongwon memeriksa ponselnya. benar-benar belum ada kabar dari wanita berhati dingin itu. Satu jam lagi sebelum jam kerja selesai. Pulang dengan situasi seperti ini tak akan tenang. Jeongwon beradu mata dengan ponselnya. Nomor kontak Gyeoul sudah terpampang di layar  persegi panjang itu. Haruskah ia menelepon? Bagaimana jika malah memperburuk keadaan?
*****

Gyeoul menunduk dalam. Berusaha keras meletakkan sudut pandang mata hingga luka di dekat sikunya. Dengan hati-hati ia melepas perban di luka itu. Ia tersenyum melihat tiga jahitan hasil karya Jeongwon yang rapi. Gyeoul membersihkan luka itu dengan kapas yang telah ia basahi cairan saline. Sesekali meringis menahan perih.

Kemudian ia menggunting kasa dan plester. Menatanya sedemikian rupa agar sesuai ukuran lukanya. Susah payah Gyeoul berusaha memasangkan perban itu hanya menggunakan sebelah tangan saja. Tak serapi yang ia harapkan. Setidaknya sudah menutup daerah luka itu.

Winter GardenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang