Terluka: Jeongwon

921 62 14
                                    

Di lorong itu, ruangan paling ujung. Tempat duka mengadu. Jeongwon membungkuk dalam dihadapan sepasang suami istri yang saling menguatkan. Hanya kata maaf yang dapat dokter itu ucapkan. Kedua tangannya mengepal erat disisi tubuh. Menahan perih sayatan duka baru di hatinya. Menemani sayatan lain yang masih membekas terasa.

Pasangan di depannya berpegangan tangan. Keduanya hanya bisa tertunduk dalam tangis. Sibuk menguatkan hati.  Berusaha menopang satu sama lain. Menerima bahwa putri terkasihnya sudah tiada. Mencoba fakta bahwa dunia mereka sedang porak poranda.

Bukan bermaksud mengabaikan Jeongwon. Atau menyalahkan dokter baik itu atas kepergian putrinya. Namun hati mereka sedang rapuh. Tak cukup lapang untuk memeluk ketulusan Jeongwon.

Di lorong panjang itu. Sisi terkelam bangunan rumah sakit. Dunia terasa sunyi. Waktu seakan berhenti. Menjebak mereka dalam sedihnya hati.
*****

Bergegas Gyeoul menuju ruang duka. Ruangan itu ada ada di sisi terluar lantai tiga bangunan. Seluruh dindingnya terbuat dari kaca. Sunyi. Tak banyak lalu lalang yang melintas. Maklum, selain tiga ruang duka hanya ada kantor pengurus rumah sakit yang jarang didatangi pengunjung.

Dari ujung lorong terlihat Jeongwon yang mencengkeram dinding kaca. Menopang tubuh yang kehilangan daya. Pundaknya naik turun. Samar terdengar sengau tangisnya. Ia tak menyadari kehadiran Gyeoul yang bergerak cepat mendekatinya.

"Profesor!"

Jeongwon menengadah. Gyeoul menyambutnya dengan raut cemas. Wajah tampan itu pilu. Matanya sembab. Seluruh otot wajahnya turun.

Sesungguhnya Jeongwon tak ingin menunjukkan dirinya yang seperti ini pada Gyeoul. Dirinya yang sedih terluka. Jeongwon yang tidak mempunyai kuasa untuk mengatasi keadaan yang terjadi di hadapannya. Seperti terjebak dalam labirin yang memaksanya untuk putus asa.

Tanpa aba-aba Jeongwon menepis jarak mereka yang tinggal sejangkah. Menyandarkan kepalanya yang berat pada pundak kurus yang tak lebih besar dari tubuhnya itu. Membiarkan air matanya mengalir. Sesekali nafas panjang dibuang kasar.

Gyeoul sedih melihat prianya terluka. Tapi tidak tau bagaimana cara menyembuhkannya. Ia meruntuki dirinya yang tak mahir mengucap kata simpati.

Gyeoul tau pasti. Jeongwon sering menceritakan bocah kecil itu.
Usianya baru dua tahun bulan depan. Sejak lahir memang ada kelainan di beberapa organ tubuhnya. Semenjak awal harapan hidupnya memang tipis. Suatu keajaiban ia bisa bertahan lebih dari setahun. Kunjungan ke rumah sakit sudah menjadi rutinitas. Maka tak heran jika hubungan bayinitu dengan Jeongwon begitu dekat. Apalagi kondisinya pasca operasi usus tempo hari sempat membaik. Menggoda Jeongwon untuk berharap lagi.

Entah bagaimana keadaan tubuh mungil itu memburuk dalam masa pengawasan pasca operasi. Gagal jantung yang tim dokter khawatirkan terjadi. Segala upaya dilakukan hingga denyut terakhir tak bisa ditemukan lagi.

Gyeoul meraih punggung Jeongwon yang tengah lesu. Menenggelamkan dalam pelukan kecilnya. Menepuknya perlahan. Tanpa tau cara menghiburnya. Tapi apapun yang Jeongwon inginkan untuk mendamaikan hati, Gyeoul menegaskan ia ada untuknya.

Lorong itu masih sunyi. Hanya ada duka Jeongwon yang ditinggal pergi. Senja dari dinding kaca tegas menyapa. Memeluk dua tubuh dalam sebuah bayangan hitam yang memanjang dalam diam. Seakan turut menangis bersama.
*****

Gyeoul panik. Jeongwon tak mengangkat panggilan teleponnya. Pesan yang Gyeoul kirim diabaikan. Padahal mereka sudah berjanji pulang bersama malam ini. Gyeoul mengerti jika pria itu ingin sendiri. Tapi tak dalam kondisi yang Gyeoul belum ketahui.

Gyeoul mengetuk pintu ruang kerja Jeongwon.

"Siapa?" bukan suara Jeongwon. Itu Junwan sahabat seruangannya.

"Saya Gyeoul."

Mendadak pintu kayu itu terbuka. Gyeoul terjingkat. Junwan muncul dengan muka tegang dan wajah serius.

"Jeongwon baru saja pergi. Cepat susul sebelum dia menjadi gila,"  Gyeoul membeku karena terkejut dengan peringatan Junwan yang tiba-tiba.

"Cepat!"tegas Junwan.

Gyeoul tak yakin dengan perkataan Junwan. Kalau benar, tak ada waktu untuk berdebat atau ia kehilangan jejak Jeongwon. Gyeoul setengah berlari menuju pintu utama rumah sakit. Berharap masih bisa menyusul langkah lebar pria itu. Sambil menengok kiri kanan, barangkali Jeongwon belum jauh pergi.

Gyeoul menemukan punggung lebar itu di depan lift. Ia berlari secepat yang ia bisa. "Profesor!" teriaknya.

Pria itu menoleh. Melontarkan senyum sebagaimana yang dilakukan setiap berjumpa Gyeoul. Tapi kali ini senyumnya pias. Tak secerah bisanya.

"Gyeoul, maaf hari ini aku tak bisa mengantarmu pulang."aku Jeongwon.

Nafas Gyeoul masih tersengal,"Saya ikut Profesor."

"Apa?"

"Sampai stasiun saja. Hanya sampai stasiun saja," pinta Gyeoul. Ia ingin memastikan prianya baik-baik saja.

Jeongwon mengangguk. Dia tak kuasa menolak. Malam ini sebenarnya dia  sedang ingin sendiri. Tapi melihat Gyeoul yang begitu meminta ia tak tega. Gyeoul hampir tak pernah meminta sesuatu darinya.  Hanya sampai stasiun. Artinya Gyeoul tau ia sedang butuh ruang sendiri. Wanita itu hanya ingin menghilangkan cemas yang datang menghampiri.

"Profesor tolong tunggu sebentar," Gyeoul bergegas menuju ruang jaga. Mengganti baju operasi dengan pakaian pribadinya. Menyambar jaket dan ransel di loker kemudian kembali menemui Jeongwon yang sedang menunggu di dekat lift.

Tak lama besi balok itu berhenti. Pintu metaliknya terbuka. Kedua dokter itu memasuki ruangan dua kali dua meter di dalamnya. Lalu menekan tombol yang mengaturnya agar sampai ke lantai dasar.

Alat itu bergerak turun perlahan. Mengantar sejoli yang hanya menumpanginya berdua.

Sembari menunggu lift berhenti Gyeoul berusaha mengenakan jaket. Susah payah sambil menggamit ranselnya. Jeongwon yang menyadari kesulitan Gyeoul mengambil alih ransel wanita itu. Membiarkannya leluasa menjulurkan tangan.

"Terimakasih," Gyeoul yang sudah terbungkus jaket, mengambil ransel dari tangan Jeongwon.

Suasana dalam lift itu begitu senyap. Jeongwon yang biasanya banyak bicara, diam membisu. Tak ada selera untuk bertukar kata. Sedang Gyeoul berkelumat dengan pikirannya. Sibuk mencari cara mencairkan suasana. Sembari terus menyalakkan pandangan cemas ke arah Jeongwon.

Sampai meninggalkan selasar rumah sakit suasana mereka tetap sama. Mereka sekedar berjalan beriringan, sesekali bertegur sapa singkat dengan rekan yang bersimpangan.

Keduanya menunggu taxi lewat.di halte dekat rumah sakit. Gyeoul masih tak henti menatap Jeongwon khawatir.

"Aku tidak apa-apa,"kata Jeongwon yang cukup terganggu dengan pandangan cemas Gyeoul yang sekian lama.

"Saya tau, Profe- ah.. Oppa."

Jeongwon berdecak,"Jadi jangan menatapku seperti itu."

"Seperti itu? Bagaimana?"

Jeongwon meririk wanita polos itu. Ekspresinya jelas terbaca. Seakan ada tulisan 'aku khawatir' tercetak tebal di sana. Dan dia masih berlagak menyembunyikan perasaannya.

"Jang Gyeoul, kamu tidak pandai berakting."

Tertangkap basah. Gyeoul hanya bisa mengulum bibir. Lalu merengut, menatap aspal jalanan yang hitam. Tanpa ia tahu seulas senyum tipis terbit di bibir pria paruh baya itu. Sekali lagi tingkah lugunya menjadi penghiburan bagi Jeongwon.

Gyeoul meraih tangan kasar dokter bedah itu. Menautkan dengan tangan pucatnya. Jeongwon menoleh. "Tapi saya tetap boleh bersama Oppa sampai stasiun, kan?"

Jeongwon manatap Gyeoul lama. Tak menyana kehadiran wanita itu sanggup membolak-balik kehidupannya. Membuat keberadaannya menjadi bagian dari kebahagiaan pria itu. Jeongwon mengaitkan jari-jari mereka. Merapatkan genggaman. Seolah tak ingin terpisah.

"Gyeoul, bisakah malam ini kau menemaniku?"

*****

-Cinta adalah saat saling menguatkan di dalam luka-

Winter GardenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang