Ibu Memang Swag

784 69 0
                                    

Jeongwon berlari cepat menelusuri lorong rumah sakit dengan raut cemas. Sapaan ramah dari pasien dan perawat ia abaikan. Bahkan ajakan makan siang bersama dari Junwan tidak ia hiraukan. Peluh di rambutnya pasca menyelesaikan operasi belum menguap. Percikan darah di ujung pakaian belum juga kering. Seluruh tubuhnya sedang terpusat pada rute menuju ruang dokter bedah umum, sebuah ruang besar yang biasa digunakan pertemuan para dokter bedah umum sekaligus tempat residen dan intern bersantai sejenak.

Dalam satu hentakan Jeongwon berhasil membuat celah besar pintu ruang itu.  Tampak meja pertemuaan di pusat ruangan. Di meja panjang itu terhidang bekal makanan berbagai menu di hadapan Gyeoul. Ia sedang berbincang bersama seorang wanita yang sudah tak muda. Rambut yang sebagian sudah berwarna tembaga disanggul rapi, menyisakan poni samping yang meliuk rapi dikeningnya. Setelan hitam mahal membalut tubuhnya yang tak langsing lagi.

"Ibu!!" Jeongwon menghampiri dengan langkah cepat.

Dua orang wanita itu menoleh ke arah datangnya Jeongwon.

"Oh, anakku!" seru wanita yang sudah lanjut usia diantara keduanya.

"Kau sedang senggang? Ku dengar kau sedang ada operasi," tanya wanita itu begitu Jeongwon dekat dengan mereka. Di sebelahnya Gyeoul mencuri pandang ke arah Jeongwon dengan sorot yang tak nyaman sambil mengunyah makanan dari ibu Jeongwon lambat-lambat. Entah mengapa makanan itu tak jua mau meluncur ke tenggorokannya.

"Mengapa Ibu ke sini? Kalau ada perlu telepon saja, aku akan ke rumah," rayu Jeongwon dengan lembut.

"Aku ke sini bukan mencarimu. Aku mau berterimakasih pada dokter Jang. Berkat dia anak bungsuku yang keras kepala tak jadi meninggalkan ibunya," ibu Jeongwon memandang ramah pada Gyeoul. Tangannya yang sudah mulai keriput menggenggam lembut tangan kurus Gyeoul.

Ibu Jeongwon jauh dari karakter istri konglomerat yang glamor, feminim dan hangat kepada anaknya. Pembawaannya easy going dan sulit diterka. Dia lebih tegas dari pada Napoleon Bonaparte dan lebih teguh pendirian dari tembok besar Cina. Tak aneh jika Jeongwon panik begitu mendengar dari Ikjun  kalau ibunya datang ke rumah sakit menemui Gyeoul.

Jeongwon menghembuskan nafas besar. Kekhawatirannya bukan takut ibunya mengganggu pekerjaannya. Namun, karena ibunya penuh muslihat dan ide tak terduga. Mau tak mau secara naluriah Jeongwon merasa ibunya sedang merencanakan sesuatu lebih dari sekedar makan siang.

Jeongwon duduk di samping ibunya, kemudian memeluk pundaknya, lebih tepatnya memaksa tubuh ibunya beranjak dari kursi beroda itu."Ibu sudah selesai kan berterimakasihnya. Dokter Jang sangat sibuk, jadi lebih baik sekarang ibu pulang, aku panggilkan taxi."

"Kau ini kenapa? Ibu masih ingin makan siang sambil mengobrol dengan dokter Jang."

Mulut Jeongwon terkatub. Ia kehabisan ide untuk membujuk ibunya. Apalagi jika ibunya mulai marah. Jeongwon tak ada keberanian untuk membalasnya.

"Kau tidak mengajaknya menemui Ibu. Jadi Ibu sendiri yang menemuinya,"protes ibu dari lima anak itu.

"Ibu, kami masih sangat sibuk."

Gyeoul hanya diam menyimak perdebatan ibu dan anak itu.

"Ck! kau ini banyak alasan," Ibu Jeongwon berbalik menatap Gyeoul.
"Dokter Jang, apa kau keberatan makan siang denganku?"

"Tidak apa-apa," jawab Gyeoul dengan senyum canggung.

Ucapannya bukan sekedar basa-basi. Gyeoul senang bisa makan bersama dengan Ibu Jeongwon. Kebetulan ia sedikit senggang. Lagipula Ibu Jeongwon ramah dan menyenangkan. Di sisi lain, ia suka melihat Jeongwon yang tampak frustasi menghadapi ibunya. Gyeoul tersenyum kecil. Ini pertama kalinya melihat sisi Jeongwon seperti itu. Tak bisa dipungkiri ia masih canggung. Terlebih lagi, ia tak tau bagaimana menanggapi perkataan Ibu kekasihnya dengan baik selain mengiyakan dan tersenyum.

"Jeongwon itu terlalu sensitif dan keras kepala. Walau tak menampakkanya ia sangat perhatian terhadap orang-orang disekitarnya."

"Iya, saya tau."

"Ah, benar juga! Kalian sudah cukup lama saling mengenal," ucap ibu Jeongwon pada dirinya sendiri.

Jeongwon duduk pasrah. Setengah jiwanya sudah menyerah membujuk ibunya pulang, setengahnya lagi waspada pada gelagat wanita yang melahirkannya itu. Jeongwon mengambil sumpit. Hendak menyuapkan potongan besar kimchi jeon ke mulutnya. Ia ingin meluapkan rasa kesal dengan mengoyak ngoyak makanan itu dalam mulutnya.

"Apa yang kau lakukan? Berhenti! Ini untuk dokter Jang, bukan untukmu!,"

Joengwon mendesah sebal. Semakin kesal karena tak bisa melakukan apapun. Untuk pertama kali selama karir dokternya, Jeongwon berharap ponselnya segera menderingkan panggilan darurat untuknya atau Gyeoul.

Ibu Jeongwon terus meletakkan lauk di atas nasi Gyeoul. Ia menolak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Rasa senang karena Jeongwon akhirnya memiliki kekasih telah mengenyangkan perutnya. Setidaknya bungsunya itu urung menjadi pendeta dan meninggalkannya. Meskipun ia belum benar-benar bisa bernafas lega sebelum keduanya terikat pernikahan.

Selama ini ia berharap wanita dengan karakter kuat dan tegas untuk Jeongwon yang lembut dan perasa. Dimatanya Gyeoul terkesan pendiam dan tak pandai bergaul. Sepertinya bukan tipe yang pandai bersandiwara. Baginya itu lucu saat Gyeoul secara lugas menimpali perkatannya. Beberapa kali ia sempat tergelak karena keterusterangan wanita itu. Ia tau Gyeoul bukannya tak sopan. Hanya saja memang ia tak pandai bermain kata. Ia rasa wanita lugu dan sederhana, layaknya anak-anak, seperti Gyeoul juga cocok untuk Jeongwon yang penyayang.

"Jadi kapan kalian menikah?"

"Uhuk!"

"Ibu..!!!"

Winter GardenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang