1

458 49 5
                                    

Plan

Ini adalah minggu ke tiga. Dua hari sebelum ulang tahunku. Kadang kenangan sama sekali berbeda.

Aku mengembara melintasi sudut-sudut hidup, melewati portal yang membuat dunia terpisah ruang dan waktu. Di sini, tempat keramat yang aku inginkan sebagai pusaran angin dimana dulu kami bertemu.

Musim dingin selalu menjadikannya lebih kelam dan beku. Sore yang muram, bangku-bangku kosong, pohon-pohon kurus menjulang, geliat angin yang tak lagi dingin.

Aku tengah menunggu seseorang. Dulu ia temanku. Dia memang sedikit berbeda. Sekarang ia menjadi seorang penulis yang telah menghasilkan banyak buku. Aku selalu tertarik dengan dunia sastra dan literature, karena itu, sebagian besar karyanya berhasil memenuhi rak buku di kamarku.

Bertahun lalu kami dipertemukan dalam kegiatan yang dijalankan oleh sebuah komunitas. Kami selalu memberontak, menjalani sesuatu tanpa berpikir, melakukan hal-hal yang sering membahayakan diri sendiri.

Dulu, ia adalah anak laki-laki yang tidak mau menyerah dan mengalah. Sedangkan aku juga tidak ingin dianggap lemah. Begitu naif, begitu penasaran, begitu ragu-ragu. Kami masih muda, dikendalikan rasa ingin tahu, tidak menyadari betapa berbahayanya rasa bosan. Ya, bosan itu sangat berbahaya.

Kini kehidupannya yang misterius tidak banyak diketahui publik karena sifat tertutupnya yang rumit. Semua orang mengatakan ia jenius yang eksentrik. Entah seperti apa ia sekarang, bertahun-tahun kami jalani tanpa mengetahui kondisi satu sama lain.

Aku suka membaca karyanya. Tulisan yang dulu selalu menjadi perdebatan panjang di antara kami. Menemani malam-malam menjelang pagi yang dulu sering kami lewati bersama.

Sekarang kami akan bertemu lagi.

Detik-detik berlalu. Sore makin menggila dengan aroma musim gugur yang redup. Lampu-lampu mulai menyala, orang-orang berlalu lalang dengan tergesa.

Dari ujung pertigaan kulihat seorang laki-laki berjalan ke arahku. Suhu yang dingin memaksanya menghembuskan butiran embun halus dari balik masker.

Itu dia. Mean Phiravich. Tidak banyak berubah.

Ia tetap anak laki-laki yang kukenal lima tahun lalu.

Matanya sehitam jelaga. Rambutnya kecoklatan, sedikit panjang membingkai wajah pucat dengan rahang keras dan dagu yang lancip. Aku seolah terseret kembali ke masa lampau yang aus termakan jaman. Dengan gerakan kaku, ia menghampiri.

Aku hanya berdiri, menatapnya.

"Sekarang sudah hampir gelap, lama sekali kita tidak bersama sejak upacara kelulusan." Mean mengulurkan tangan.

Penampilannya jauh sekali dengan yang dikatakan orang. Dia semakin tampan. Dia terlihat sama sekaligus berbeda.

"Kau terlihat baik-baik saja" ujarku.

Kami berjabat tangan. Jari-jarinya membeku seperti bongkahan es.

Kami masih berdiri dalam kegamangan yang absurd. Matanya kelam melihat sekeliling, lalu menatap tajam padaku.

Aku menggigil karena takjub. Syal hijau tuaku berkibar, dingin menusuk-nusuk melalui celah mantel yang kukenakan.

Perbincangan kami lalu mengalir begitu saja.

Ia telah membeli sebuah rumah kosong yang agak jauh di atas bukit. Di sana ia menghabiskan waktu untuk menulis. Dari situ lahirlah karya-karya fenomenal yang menyihir banyak pecinta karya sastra bergenre surealis.

Mean mengundangku makan malam di rumahnya. Sebuah kebetulan karena aku tiba-tiba merasa tidak mengenali sahabatku ini. Aku ingin sekali mengetahui kehidupannya yang misterius.

.

.

.

TBC

Halooo... Hahahahah. Ini ff Mean Plan ke 3 aku. Little bit angsty karena mood aku jelek banget 2 minggu ini. Maaf kalo bikin kalian nggak nyaman.
Happy reading...

YK

NIGHTINGALE • ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang