4

241 41 17
                                    

Mean

Akhirnya tiba pada saat yang sangat kunantikan. Berdiri di altar dengan perasaan yang tak terlukiskan. Sebagai seorang mempelai laki-laki yang menunggu kekasihnya untuk berjanji di hadapan Tuhan.

Malam mengirimkan sejuta aroma musim yang nyaris berganti. Bulan sabit menghiasi langit. Angin menggelenyar merayapi bukit-bukit.

Gedung ini terang benderang, lusinan cahaya dari kristal di langit-langit berpendar menyilaukan.

Semua undangan telah hadir.

Aku melihat wajah-wajah asing para wartawan media massa yang siaga dengan kamera dan blitz yang menyala-nyala. Kurasa mereka semua penasaran denganku yang selama ini memang sengaja menjauh dari media.
Semua tamu duduk di kursinya. Mantan-mantan kekasihku datang sendirian atau bersama suami-suami mereka, teman-teman dari masa lalu, keluarga yang masih mengingatku, mantan kekasih mempelaiku, teman-temannya dan seseorang yang sangat mencintainya dulu, kini duduk di bangku paling depan menyaksikan ia menikah denganku malam ini. Entah apa yang mereka rasakan sekarang. Tidak ada yang peduli.

"Semua hadirin, mohon berdiri..." Sebuah suara menggelegar di ruangan.

Seluruh tamu undangan berdiri. Mata mereka tertuju pada pintu gedung yang menjulang. Tak lama, pintunya terbuka.

Seseorang berjalan mendorong kursi roda. Di atas kursi roda itu, Plan duduk dengan anggun. Ia terlihat bercahaya. Tuxedo putih yang mewah membalut tubuh mungilnya, sarung tangan sutera membungkus jari-jarinya yang lentik, rambutnya ditata ke atas, membuatnya semakin tampan.

Aku sadar semua undangan terpukau pada pesona Plan Rathavit melebihi apapun. Ia benar-benar menyihir kami.

Kami berdua semakin dekat dan kini benar-benar bersanding bersama. Aku tersenyum padanya.

Doa-doa dipanjatkan bagai gumaman mantra.

"...Berjanji sepenuh hati untuk bersama dalam suka, duka, kaya, miskin, sakit maupun sehat dan untuk bersama sampai ajal memisahkan. "

"Ya... aku berjanji." Aku mengucapkan janji dan melirik mempelaiku sekilas. Ia tidak bergeming.

Setelah itu kami dipersilahkan saling menghadap untuk menciumnya. Aku berdebar-debar. Ini mengingatkanku pada malam di mana aku melamarnya satu tahun lalu. Malam di mana aku tidak sanggup membedakan mana detak jarum jam dan mana detak jantungku sendiri.

Aku berlutut dengan satu kaki, menggenggam kedua tangannya. Aku menatapnya lembut. Sesosok wajah pucat dengan mata terpejam. Lingkar hitam matanya tidak dapat disamarkan, bibir yang berkilau merah oleh riasan terkatup rapat menyembunyikan senyumnya yang dingin. Ia bagai patung marmer yang duduk di atas singgasana.

Aku sangat mencintainya.

Perlahan aku menciumnya. Dingin. Tidak ada hawa hidup yang melingkupi napasnya.

Aku melihat wajah-wajah para undangan menjadi lebih tawar dari wajah pengantinku. Aku menghargainya sebagai ungkapan kebahagiaan yang tak terkira. 

.

.

.

TBC




If there any typos please let me know...
Thanks for reading.

YK

NIGHTINGALE • ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang