2

274 42 27
                                    

Plan

Akhirnya tiba pada malam yang ditentukan. Aku berdiri di depan pintu rumahnya yang luas.

Dari luar, bangunan kuno itu terlihat seperti mansion bergaya gothic. Empat pilar besar menjadi penopang kanopi depan, dinding rumah ini telah terkelupas dan kusam, lampu redup yang menyala di sisi pintu membuatnya semakin suram.

Halamannya ditumbuhi rumput liar yang tidak pernah dipangkas. Beberapa pohon besar tampak liar menghalangi sinar rembulan.

Bukit ini begitu tinggi sehingga aku dapat melihat lampu-lampu di kota yang berkelap-kelip. Seperti milyaran kunang-kunang bercahaya perak.

Aku memeriksa penampilanku. Setelan berwarna hitam, kemeja merah, dilapisi mantel gelap selutut. Aku menata rambut ke atas, beberapa helai jatuh di dahi. Siapa peduli.

Tiba-tiba pintu terbuka. Aku masuk, tapi tidak ada siapapun di sana. Sebuah lampu gantung bercahaya kuning redup menyambutku. Beberapa bagian telah patah dan sarang laba-laba menghiasi kristal-kristalnya yang bergelantungan.

Di ruang tengah, lampu-lampu dinyalakan, sinarnya merah dan temaram. Sebuah meja makan dilengkapi lilin dan dua buah kursi cantik berpita hitam berada di tengah-tengah ruangan. Kipas angin berputar di langit-langit tepat di atas meja menimbulkan bunyi derit panjang karena geriginya telah aus dimakan waktu.

"Selamat datang di rumahku... Plan."

Aku terkejut, Mean sudah berdiri di tangga. Ia mengenakan setelan tuxedo gelap dan rambutnya yang mulai panjang disisir acak menutupi dahi. Ia melangkah maju, mencium tanganku.

"Kau cantik sekali" katanya. Aku tersenyum gugup. "Terimakasih sudah memenuhi undanganku."

Ia membimbingku ke meja makan dan mempersilahkan duduk. Aku masih terpukau dengan situasi yang tak pernah kuduga sebelumnya.

"Rumahmu membuatku merasa aneh." kataku jujur. Mean hanya tersenyum. "Sepertinya kau tidak pernah benar-benar berusaha membuatnya nyaman."

"Hhm.... Memang." Gumamnya. "Pertama-tama, mari kita bersulang," Mean tidak menanggapi ucapanku lebih jauh.

Ia menyodorkan segelas anggur. Cairan merah pekat ini rasanya seperti telah tercampur sesuatu, aromanya menusuk dan tajam. Aku merasa pusing.

Kami makan tanpa bicara. Lalu ia mengajakku berdansa setelah menikmati hidangan pencuci mulut.

Piringan hitam berputar dan mengalunlah musik klasik yang lembut. Tuxedonya berkibar-kibar, hentakan kakinya mantap seirama dengan musik.

Aku memandangi wajahnya. Laki-laki ini sungguh tampan. Tiba-tiba jantungku berdegup di luar kendali. Ia tidak pernah berhenti menatapku selama kami berdansa. Gerakanku kaku. Dengan jengah berusaha mengalihkan perhatian tapi matanya yang sendu meluluhkan pertahananku.

Kami berputar-putar di ruangan luas itu mengikuti alunan musik yang menghantam perasaan seolah membawa larut ke dalamnya. Malam menjadi semakin tua. Di luar, kabut tebal menyelimuti bukit itu.

Selesai berdansa, Mean mengajakku melihat-lihat rumahnya. Dimana kamar tidur, dapur dan studio tempatnya menghabiskan banyak waktu untuk menulis.

Ia membawaku ke taman belakang dimana bunga-bunga meranggas kering. Lalu ke loteng tempatnya menyimpan semua koleksi karya seni.

Di rumah itu ada sebuah ruang terlarang yang tidak ia sebutkan fungsinya dan ia juga tidak ingin mengajakku masuk ke sana.

Kami sampai di balkon lantai dua.

"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu..." Mean berkata tiba-tiba.

Aku menatapnya curiga. Matanya sebeku es. Meski telah mengenalnya bertahun lalu, tapi aku tidak bisa mengembalikan perasaanku seperti dulu lagi.

"Katakan,"

"Aku mencintaimu Plan." Aku sudah menduganya. "Menikahlah denganku."

Satu yang tidak berubah. Mean tetaplah seorang pemuda yang tidak suka basa basi. Ia sangat impulsif. Ia akan spontan melakukan apa yang menurutnya tepat. Tapi aku tetap terkejut mendengarnya memintaku menikah dengannya.

Selama ini kami seperti sahabat yang tak pernah menyimpan rasa apapun melebihi persahabatan itu sendiri.

"Mean, aku..." Aku bimbang mengatakannya, tapi ia malah menggenggam tanganku. Bisa kurasakan jantungnya berdegup dengan gila.

"Aku tidak bisa." Kataku, berusaha selembut mungkin agar tidak membuatnya marah. Tapi aku sudah melukai hatinya.

Perlahan-lahan genggamannya lepas. Mean tampak kesakitan. Ia berdiri seperti patung lilin, menatap tajam kisi-kisi lantai perkamen.

Aku minta maaf berkali-kali sambil menyatakan alasan bahwa aku tidak bisa menghilangkan perasaanku padanya sebagai teman.

Perlahan kulihat seulas senyum menghiasi bibirnya yang merah. Ia mengangkat wajah. Lingkar hitam menghiasi bawah kedua matanya. Di bawah pantulan cahaya bulan di balkon remang-remang itu, kulit pucatnya semakin nyata.

Aku lega ia tidak tersinggung dengan penolakanku. Tapi rasa lega itu hanya sesaat karena samar kulihat kibasan benda mengkilat dari balik tuxedo hitamnya.

Detik berikutnya, aku terpekik. Ulu hatiku terasa nyeri. Senyum di bibirnya makin mengembang. Aku masih sempat melihat mulutnya mengatakan sesuatu, tapi telingaku seperti tuli. Napasku sesak tidak sanggup bersuara dan napasku sesak sekali. Aku mati rasa.

Mean bersimpuh. Ia memelukku yang jatuh terbaring di lantai perkamen. Cairan kental membasahi kemeja dan tanganku. Aku menelan ludah berkali-kali. Berharap ini hanya mimpi.

Pelan sekali Mean mencium pipiku yang mulai kehilangan rona merahnya. Lalu ruangan luas yang remang-remang itu berubah gelap sekali. Aku kehilangan Mean. Ia lenyap.

.
.
.

TBC

NIGHTINGALE • ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang