Bab 10. Penyesalan Mbak Yuli

3.6K 169 6
                                    

Pukul 04.00 subuh ponselku berdering nyaring. Kabar duka itu datang dari ibunya Mas Burhan yang mengabarkan bahwa putranya telah berpulang pada jam dua dini hari.

Meski Mbak Yuli sudah tidak mempunyai hubungan lagi dengan Mas Burhan, tetapi aku sebagai sepupu mantan istrinya Mas Burhan, masih dekat dengan keluarganya. Itu sebabnya ibunya almarhum tak segan memberitahuku di jam segini.

Aku segera mengirimkan pesan ke Siti, memberitahukan padanya bahwa aku bakal izin setengah hari tidak bekerja. Aku ingin takziah dulu sebab merasa tak enak jika tidak sampai hadir di hari duka ini. Setidaknya ucapan bela sungkawaku bisa sedikit menghibur keluarga yang ditinggalkan.

Lagi-lagi aku menitipkan Nurul pada Bu Rahmi sebab hanya dia satu-satunya orang yang kupercayai menjaga putriku itu.

Setelah mengantar Nurul, motor yang membawa aku dan Lita menuju rumah duka yang tak begitu jauh dari kediaman Bu Rahmi.

Memasuki gang, tampak tenda tergelar menaungi puluhan kursi plastik. Sekumpulan bapak-bapak berpeci juga sudah hadir di sana. Lita memarkirkan motor di tempat yang disediakan, kemudian berjalan di belakangku menuju rumah minimalis bercat hijau muda dan kuning.

Mendekati rumah, semakin kuat isak tangis yang terdengar. Di ruang tengah, jenazah Mas Burhan sudah terbujur kaku berselimut kain batik cokelat dari kepala hingga ujung kaki. Ibunya berkerudung putih, menyambut kedatangan dan memintaku mendekat padanya.

"Saya turut berduka cita, ya, Bu. Mas Burhan orang baik," ucapku tulus sembari memeluknya.

"Makasih, Li." Wanita bermata sipit itu mengangguk, membersit hidungnya memakai ujung kerudung.

"Kapan Mas Burhan meninggalnya, Bu?" Seseorang yang tidak kukenal yang duduk di sebelah melemparkan tanya pada wanita itu.

"Tadi jam dua. Dia minta minum. Pas ibu balik dari dapur, dia udah gak bernapas lagi." Ibunya Mas Burhan kembali terisak.

"Yang tabah, ya, Bu. InsyaAllah Mas Burhan udah tenang. Gak ngerasain sakit lagi." Aku menepuk pelan sebelah tangannya, mencoba menenangkan.

Dari arah luar terdengar suara ribut-ribut. Hal itu memancing rasa penasaran kami yang berada di dalam rumah. Aku menyusul ibunya Mas Burhan berjalan dan melongok di ambang pintu.

"Ngapain lagi kamu ke sini, hah? Kehadiran kamu itu gak diperlukan kami sekeluarga!" Gadis berambut pendek berkulit putih yang kukenal sebagai Dian—adiknya Mas Burhan—berteriak marah sembari menghadang Mbak Yuli yang baru saja menginjak pekarangan rumah bersama Mas Arman.

"Aku cuma mau lihat Mas Burhan untuk yang terakhir kalinya, Dian." Mbak Yuli berbicara lirih. Hidungnya merah, airmatanya turun membasahi pipi. Aku tak menyangka berita kematian Mas Burhan bisa membuat responsnya seperti itu. Aku pikir dia sudah tidak punya hati.

"Gak perlu! Cepat pergi dari sini. Saya muak lihat muka kamu!" Dian menghardik. Dari gerak tubuhnya, dia seolah ingin menerkam Mbak Yuli. Matanya mendelik, napasnya memburu.

"Cukup, Dian! Sudah. Biarin aja dia." Ibunya Mas Burhan berbicara di sebelahku. Sejenak ragu, akhirnya Mbak Yuli melangkah memasuki rumah. Mas Arman hanya memerhatikan. Dia tak ikut masuk. Seperti salah tingkah di atas kakinya yang berdiri. Tatapan orang-orang di sekeliling seperti ingin menelanjangi pria itu.

"Mas! Maafin aku, Mas!" Mbak Yuli bersimpuh di sisi tubuh jenazah Mas Burhan. Entahlah. Aku bingung antara ingin kasihan atau jijik. Apakah saat ini dia benar-benar menyesali perbuatannya atau hanya sekadar akting belaka.

Kami yang mengenalinya, cuma berdiri memerhatikan. Tak ada satu pun dari kami yang berusaha menenangkannya.

Cukup lama Mbak Yuli menangis, hingga akhirnya ibunya Mas Burhan buka suara. "Sudah, kan, Yul? Ibu rasa cukup kamu melihat Mas Burhan. Sekarang ibu mohon segera tinggalkan tempat ini. Terlalu banyak orang-orang yang geram atas perilakumu terhadap almarhum."

Perlahan namun pasti, Mbak Yuli beranjak pergi sambil menunduk. Orang-orang di sekeliling memandang dengan wajah tidak suka. Terlebih lagi Dian. Adik Mas Burhan itu terlihat seperti ingin mencabik-cabik wajah Mbak Yuli.

Mas Arman mendekati Mbak Yuli. Namun, uluran tangannya segera ditepis wanita yang sekarang menjadi istrinya itu. "Ini semua gara-gara kamu, Arman!" Mbak Yuli berteriak histeris.

"Kamu kenapa, Yul? Eling." Mas Arman menatap terkejut. Rautnya jengah terhadap wajah-wajah yang menonton mereka di pekarangan itu. Apalagi setelah berteriak, Mbak Yuli menangis meraung-raung duduk bersimpuh di atas tanah.

"Ini semua gara-gara kamu," ulang Mbak Yuli lagi. "Andai kamu gak merayuku, Man. Andai kamu gak mengambil kesempatan di atas kekuranganku!"

"Kamu kenapa, sih?" Mas Arman menaikkan nada suaranya. "Kenapa sekarang kamu nyalahin aku? Bukannya kita sama-sama mau? Kamu selalu curhat tentang kekurangan suamimu itu. Kamu bilang kamu haus kasih sayang lahir dan batin!" Suara Mas Arman tak kalah meninggi.

"Itulah kebodohanku. Gak seharusnya aku meninggalkan suamiku. Pria yang lebih baik dari kamu, Man. Dia yang selalu bekerja keras. Bukan lelaki pemalas sepertimu. Lelaki yang hanya mengandalkan istrinya untuk bekerja. Dasar benalu kamu, Man. Pecundang!" Mbak Yuli berteriak mengeluarkan semua unek-uneknya.

"Apa kamu bilang?" Mas Arman sudah melayangkan tangannya di udara. Aku tak bisa membiarkan dia memukul Mbak Yuli. Walau dia pernah berbuat jahat padaku, tetap saja wanita itu masih sepupuku.

"Berhenti, Mas!" Aku berjalan mendekati mereka. "Lebih baik selesaikan masalah ini di rumah. Lagian kasihan almarhum. Jenazahnya masih di sini tapi kalian ribut-ribut begini. Di mana nurani kalian?"

Mas Arman menurunkan tangannya. Mendengkus kesal kemudian dia membalik badan dan pergi, meninggalkan Mbak Yuli yang masih saja terus terisak.

"Udah, Mbak. Buat apa meratapi yang sudah terjadi. Memang penyesalan itu datangnya selalu belakangan." Aku mengembuskan napas. "Lebih baik Mbak pulang aja. Air mata Mbak gak akan bisa membuat keadaan balik seperti semula."

Aku berdiri, kembali masuk ke rumah. Orang-orang yang semula menjadi penonton juga tak memedulikan Mbak Yuli. Hingga jenazah Mas Burhan hendak diantarkan ke pemakaman, kulihat sepupuku itu telah pergi. Biarkan saja. Semoga hal ini menjadi pelajaran hidup berharga untuknya ke depan nanti.

Pastilah dia sangat menyesali perbuatannya. Aku yakin Mas Arman waktu itu hanya tempat pelampiasannya saja. Siapa pun yang mengenal, tahu bahwa Mas Burhan jauh lebih baik dibandingkan Mas Arman. Baik wajah, sikap, dan perilakunya.

Hanya saja dia tidak beruntung. Penyakit yang dia derita membatasi gerak-geriknya dan membuat dia kurang di mata Mbak Yuli, istrinya saat itu.

Sembari menatap iring-iringan jenazah yang menjauh, aku pamit pada ibunya Mas Burhan. Sekali lagi kusampaikan ucapan bela sungkawaku.

Di atas motor Lita yang melaju, aku teringat lagi pada Mbak Yuli. Kenikmatan sekejap yang dia rasakan, saat ini berubah menjadi rasa bersalah seumur hidup. Itu tidak bisa ditawar-tawar. Apalagi permintaan maaf yang dia ucapkan, tak berbalas. Sebab hal itu sudah terlambat dan sia-sia.

~AA~

Hai, mulai dari bab 11 sampai bab 16 (tamat), cerita ini hanya ku-post di KBM app, ya. 🤗

Ketik namaku di pencarian Anna Asa'ari dengan judul cerita "Kulepas Suami Benalu Untuk Pelakor".

Terima kasih. 🤗🙏💙

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 14, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kulepaskan Suami Benalu Untuk PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang