Bab 6

2 1 0
                                    

Rena menatap layar ponsel yang menampilkan deretan chat dari Dimas. Air mukanya berseri-seri. Tangan kanan menciduk satu sendok nasi goreng kecap, dia hendak memasukkannya ke dalam mulut yang sudah terbuka.

Namun, Inggit datang melempar sepiring nasi itu dan memukul tangan Rena agar segera membuang sendok itu jauh-jauh dari mulutnya. "Astaga." Mama kenapa?" Rena terperanjat dan bangkit dengan cepat.

"Sejak kapan kamu makan belatung," ucapnya sembari bergidik ketakutan.

Rena mengernyit, bukannya Inggit sendiri yang memasak nasi goreng itu untuknya? Dia menatap nasi yang tercecer di lantai beserta pecahan piring yang berhamburan. "Mama kenapa?"

Inggit menjerit histeris. Nasi goreng yang dia buat berubah jadi gerombolan belatung yang kini berhamburan seolah mencari jalan. Dia mengentak-entakkan kaki karena beberapa butir nasi menempel tepat di kakinya.

"Aargh ... arghh ...."

"Mama ...," teriak Rena panik melihat ibunya diselimuti rasa takut bercampur jijik. "Pa ... Papa ...," Rena memanggil Aditya yang entah ke mana, pasalnya Aditya meninggalkan rumah sejak hari masih gelap. Hanya Ellena yang keluar dari kamar mandi dengan panik.

"Kenapa? Mama kenapa, Kak?"

Inggit terus menjerit sembari menjinjit.

"Ell, kamu beresin ini." Rena menunjuk lantai yang berantakan. "Aku mau bawa mama," ucap Rena sembari memegangi lengan ibunya dan membawanya pergi menjauh dari tempat itu.

Ellena menghela napas. Dia memunguti pecahan piring itu dengan hati-hati. Kekacauan apa yang baru saja dia lewatkan?

Saat pecahan piring itu sudah berkumpul dalam satu wadah. Dia mengambil sapu dan pengki untuk mengumpulkan nasi goreng yang tercecer itu. Namun, tiba-tiba dia terperanjat mendengar Rena dan Inggit kembali menjerit histeris.

Ellena bangkit mencari keberadaan mereka. Dia berdiri di ambang pintu dapur, tercengang menatap Aditya yang berjalan gontai sementara darah mengucur dari ibu jari tangannya.

"Papa?" Ellena mendekat.

Tatapan mata Aditya kosong. Dia seperti berjalan di sebuah pemakaman dengan banyak lubang. Berkali-kali dia jatuh dengan satu kaki yang terlipat ke belakang sementara kaki yang lain terlipat ke depan, seolah dia terperosok ke dalamnya. Hingga Aditya merasa seperti orang pincang.

Ellena meraih tangan Aditya, membantunya untuk berdiri. "Papa."

"Alina?" Aditya bangkit dan memeluk Ellena. "Kamu masih hidup?" tanyanya dalam hening.

Ellena merasa heran. Kenapa Aditya seperti tidak mengenalnya? Darah segar dari ibu jari Aditya mengucur deras mengenai punggung Ellena.

"Aku minta maaf untuk semua yang telah aku lakukan," ucap Aditya semakin merekatkan pelukannya. "Aku menyesal."

Darah mendesir naik ke ubun-ubun Inggit. "Siapa Alina?" pekiknya. Namun, Aditya seolah tak mendengar Inggit, bahkan Inggit sempat membuat koyak tubuh kokoh Aditya dalam pelukan Ellena.

Aditya meraih kedua tangan Ellena dan berkata, "Aku janji aku akan menikahimu, Alina."

Inggit semakin murka. "Ini tidak bisa dibiarkan." Giginya bergemeretak. Dia meminta Rena untuk mengambil seember air. Tapi Rena tak mengindahkan titahnya, sehingga dia terpaksa mengambilnya sendiri.

Rena memegangi kepalanya yang sakit, bahkan dia merasa mual, rasa takut berlebih terhadap darah membuatnya merasakan hal seperti itu, bahkan tubuhnya begitu lemas.

Inggit tergopoh membawa seember air dan menyiramkannya pada Aditya dan Ellena dengan jarak lima puluh senti meter dari tempat mereka berada. Napasnya terengah, lelah bercampur marah.

Misteri Jati Diri EllenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang