Bab 1

19 7 14
                                    

Pohon-pohon pinus tinggi menjulang. Langit suram dengan petir menggelegar. Bocah itu berusaha berlari, tak peduli jika dirinya terjatuh ataupun terluka.

Langkahnya terhenti saat dirinya tak menemukan apapun. Wajahnya menengadah, seolah mengadu pada langit yang kelam. Dipeluknya kotak kayu itu dengan erat. Kemudian, ia menjerit sekeras-kerasnya.

"Mama!"

Ellena terperanjat, matanya mengerjap beberapa kali. Jantungnya berdebar kencang hingga membuat dadanya sakit. Napasnya terengah-engah. Peluh membasahi keningnya. Cukup lama dia tercenung mencoba mencerna mimpinya sembari memegangi dada.

Setelah beberapa saat dia merasa lebih baik. Namun kini kerongkongannya kering kerontang. Dengan sangat terpaksa Ellena bangkit, berjalan menuju dapur.

Rumah keluarga Wijaya sudah sangat tua, engsel beberapa pintu dibiarkan macet, hingga suara derit terkadang mengganggu bagi si penakut, Rena. Dia akan terbangun hanya dengan mendengar suara derit pintu kamar yang Ellena buka setiap pukul satu malam untuk mengambil air minum.

Rena berdecak. "Berisik banget sih, Ell. Mulai besok aku nggak mau tidur satu kamar sama kamu. Aku bakalan minta mama agar kamu pindah tidur di gudang dekat dapur!"

Ellena menoleh dan menghela napas.

Sepasang kaki Ellena melangkah dengan pelan, melewati ruang keluarga. Semua ruangan dibuat gelap, hanya cahaya dari luar yang sedikit menerangi bagian dalam rumah. Samar-samar ujung mata Ellena menangkap sosok perempuan seusia Inggit duduk di sofa tersenyum menatapnya. Ellena terdiam cukup lama, menutup mata, hingga sekelebat angin membuatnya terkesiap.

"Kamu kenapa, Ell?"

Ellena membuka mata. Dia terkejut mendapati Aditya Wijaya sudah ada di depannya. "Papa ...."

"Kenapa? Mau ke mana?"

"Dapur." Ellena menunjukkan botolnya yang sudah kosong. Dia bahkan tidak ingin bertanya apakah Inggit barusan duduk di sofa? Ellena tidak yakin Ibunya bisa tersenyum semanis itu padanya, atau itu hanya perasaannya saja.

Ellena mendekatkan mulut botol pada kran dispenser. Air mengalir cukup deras beralih masuk ke dalam botol berukuran 500 ml. Setelah penuh dia menutup kran, lalu menarik kursi dan mendaratkan bokongnya dengan pelan.

Wajah Ellena terangkat, dia menenggak air itu hingga cukup membasahi tenggorokannya yang kering. Sesaat Ellena terdiam menelan air dengan perlahan, dia mencoba menajamkan telinga.

Kemudian menggelengkan kepala. Bahkan keluarga Wijaya membiarkan keran air bocor, hingga gemericik air terdengar begitu jelas di telinga Ellena. Dia menutup botolnya dan bangkit, berjalan ke kamar mandi. Mencari saklar dan menyalakan lampu kamar mandi.

Namun, Ellena malah mematung cukup lama menunggu tetesan air jatuh dari keran yang ia anggap bocor itu. Jelas-jelas tadi dia mendengar gemericik itu jatuh dengan cepat. Ellena tersenyum sinis. "Apa aku jadi penakut seperti Rena?"

Saat dia berbalik dan menekan kembali saklar lampu. Air mengalir deras dari keran, bahkan lebih deras dari biasanya. Ellena menoleh. Bahunya turun. "Kan, beneran rusak." Dia mencoba mematikan keran air itu. "Kayaknya besok papa harus panggil tukang deh," ucapnya pada diri sendiri.

"Iya."

Ellena tersentak dan menoleh. Dia tidak menyadari sejak kapan Aditya duduk di kursi yang tadi dia duduki. "Kamu ngapain malam-malam di situ, Ell?"

"Papa." Ellena berjalan ragu ke arah Aditya. "Permisi, Pa. Ellena mau tidur lagi, besok sekolah." Dia mengambil botol miliknya dengan sedikit gugup.

Ellena kembali ke kamarnya. Dia berdiri di depan pintu kamar. Merasa aneh karena tumben sekali Rena mematikan lampu kamar dan menutup pintunya. Apa Rena tidak mengizinkannya masuk?

Suara ayam berkokok di pukul satu malam sudah biasa Ellena dengar. Terkadang lolongan anjing pun sudah sangat akrab di telinga Ellena. Apalagi hanya semilir angin yang melewati tengkuk lehernya.

Ellena mengetuk pintu kamarnya. "Kak, aku masuk ya." Dia takut mengejutkan Rena, oleh karena itu dia meminta izin terlebih dahulu. Sudah sejak kecil Rena berbagi kamar dengannya.

Derit pintu kembali terdengar. Kamarnya benar-benar gelap. Dia berjalan pelan, tangannya meraba tembok mencari saklar lampu. Saat dia mendapatkannya, dia menekan tombol on.

Lampu menyala. "Surprise," ucap Aditya.

Ellena tercenung. Bahkan dia merasa sesuatu telah terjadi padanya. Siapa orang yang dia temui di dapur sementara Aditya ada di sini?

Jantung Ellena terus berdebar. Tubuhnya mematung, terpaku pada Aditya yang sedang berdiri memegang kue ulang tahunnya, sementara Inggit dan Rena duduk di atas kasur.

Aditya mendekat. "Kenapa cuma berdiri, ayo kita rayakan ulang tahun kamu yang ke 17 ini." Aditya merangkul bahu Ellena dan mengajaknya untuk berkumpul di dekat kasur.

"Sejak kapan Papa dan Mama di sini?" tanya Ellena pelan.

"Papa, 'kan tadi lihat kamu keluar kamar. Ya udah Papa bangunin mama, terus kita sembunyi di sini."

Ellena masih belum mengerti. Siapa orang yang duduk di dapur itu?

"Ell. Kok melamun lagi?" tanya Aditya sembari menyalakan lilin.

"Buruan ih, mama ngantuk nih," keluh Inggit.

"Iya, Nih. Rena juga," ucap Rena yang terus saja menguap. Kakinya dilipat. tangannya tak jauh dari lengan Inggit.

"Happy birthday to you." Aditya mulai bernyanyi sembari bertepuk tangan.

"Ellena." Diiringi oleh Inggit dan Rena dengan malas-malasan.

Ellena tersenyum tipis. Meski Rena dan Inggit selalu bersikap acuh tak acuh padanya, tapi dia sangat bahagia karena malam ini mereka mau merayakan ulang tahunnya, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang dia rayakan hanya dengan Aditya saja.

"Happy birthday to you."

"Ellena."

"Happy birthday-Happy birthday-Happy birthday to you."

"Ellena," ucap Inggit dan Rena semakin malas.

Aditya semakin mengeraskan tepuk tangannya. Saat dia hendak melanjutkan lagunya. Inggit segera memotongnya. "Langsung aja tiup lilinnya, lama."

Aditya menatap istrinya yang sudah cemberut. "Ya udah oke. Make a wish dulu, Ell."

Ellena melipat kedua tangan di dada. Memejamkan mata di depan lilin itu. Terima kasih Tuhan sudah beri aku kesempatan untuk tetap ada di dunia ini, hingga saat ini. Semoga suatu saat Mama bisa sayang aku seperti dia sayang sama Kak Rena. Amin.

Setelah selesai dengan permohonannya. Ellena membuka mata. TIba-tiba dia melihat seorang perempuan dengan rambut di sanggul kecil, memakai gaun putih selutut berlari dari kamarnya dengan cepat, bahkan terlalu cepat seperti dibawa angin.

Ellena membuka mulutnya tanpa bersuara.

Inggit mulai lagi dengan keluhannya. "Kamu ngumpulin angin dari mana buat niup lilin dua biji aja lama sekali," cibirnya.

"Eh iya, maaf Ma." Ellena menarik napas dan fokus pada lilin itu. "Huuuhhh." Angin keluar dengan pelan dari mulutnya.

"Yeee ...." Aditya bersorak dan bertepuk tangan kembali.

"Mama males makan kuenya. Nanti harus gosok gigi lagi."

"Rena juga."

"Ya udah, kita makan kuenya besok. Nggak apa-apa, 'kan sayang?" tanya Aditya pada Ellena.

"Iya nggak apa-apa, Pa."

"Papa simpan di sini." Aditya meletakkan kue tersebut di atas meja. 

Misteri Jati Diri EllenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang