1. Prolog

34 2 0
                                    

"Tutut!!" Teriakanku membuat gadis berambut hitam kemerahan itu berjengit kaget. Dia berbalik dan menatapku yang berlari menghampiri.

"Sore, yu. Ada apa?"

"Sore juga! Tim mading sudah nempel berita tadi siang, loh!" Aku langsung nyerocos, menarik tangan Tutut agar mempercepat langkah.

"Berita apa?" Intonasi Tutut menyuratkan kalau dia kesal dengan perlakuanku.

"Wayarangers! Mereka muncul lagi tadi siang! Masa kamu tidak tahu?" Jawabku tanpa menoleh.

"Benarkah?" Aku yakin Tutut menarik satu alisnya.

Aku bergumam mengiyakan, lalu menghentikan langkah didepan mading sekolah yang dikerubungi murid lain. Tepat seperti dugaaaku, tim mading yang selalu up to date telah menempelkan berita terpanas dalam satu bulan ini.

Wayarangers.

Tutut segera menenggelamkan diri di keramaian murid yang juga ingin melihat berita itu. Namanya juga penasaran. Pinginnya yang jelas di depan mata. Sepertinya benar-benar tak ada yang memikirkan kegunaan ponsel pintar mereka sekarang. Tapi kuakui, Tim Mading sekolah selalu punya cara sendiri untuk menampilkan berita yang tidak terkesan biasa.

Berita kemunculan Wayarangers terpampang paling lebar di mading. Huruf besar-besar memungkinkanku membaca dari jarak 3 meter.

Ini kemunculan ke limabelas dalam satu bulan. Kasus kali ini adalah penangkapan para pencuri penemuan sains terbaru. Dikatakan para pencuri itu sedang mengincar cairan keras yang mampu melelehkan apapun. Jika dalam suhu panas tertentu, cairan itu akan meledak.

Para Wayarangers berhasil melumpuhkan mereka sebelum melarikan diri keluar kota. Cairan itu diamankan oleh pihak kepolisian, dan para Wayarangers menghilang begitu kasus telah resmi diambil alih.

"Aku jadi ingin bertemu dengan mereka." Aku menyambut Tutut dengan pernyataan.

"Aku juga." Timpal Tutut.

Aku membelalakkan mata. "Hwuaa, sungguhkah? Aku tak percaya kamu tertarik akan sesuatu."

"Ayolah, siapa yang tak akan tertarik dengan mereka?"

Aku tertawa, mengangguk paham. "Kamu benar. Mereka keren sekali."

Kami kembali berjalan. Koridor mulai ramai dengan ocehan berita tadi siang. Beberapa dengan nada sombong bercerita kalau mereka melihat Wayarangers dengan mata kepala sendiri.

Memang, para Wayarangers sempat melintasi gerbang sekolah tadi siang. Jalur ke luar kota melewati sekolah kami, jadi kalau pencuri itu ingin keluar kota, mereka pasti melewati jalanan depan sekolah. Aku masih ingat ramainya komplek sekolah saat terjadi penampakan kilat tiga Wayarangers. Pekak telingaku mendengar teriakan mereka.

Tapi aku yakin, mereka lebih pekak mendengar teriakanku. Aku sadar dan sengaja berteriak paling keras. Mencari perhatian tentunya. Aku ingin para wayarangers itu mengingat teriakanku.

"Perpus?" Tutut menatapku heran.

"Aku belum berminat ke lapangan. Temani sebentar ya."

"Kenapa? Biasanya kamu yang paling bersemangat ekskul panahan?"

Aku nyengir lebar, "mereka pasti saling sombong dan membuat hipotesis macam-macam. Aku tidak mau merusak otakku dengan pikiran tidak tentu seperti itu."

Tutut ikutan nyengir, mengangguk. Dia melanjutkan kegiatannya mengamati sekitar. Entah apa yang dia lakukan. Tutut tampak sangat waspada.

Setelah mencuri dengar berbagai versi pertemuan teman-temanku, aku dan Tutut memasuki perpustakaan. Rak-rak buku memenuhi ruangan. Bau kertas menyapa indra penciumanku. Karpet biru terasa empuk saat diinjak. Hawa dingin dari AC membuat yang tidak memiliki kemauan membaca diserang kantuk.

WayarangersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang