Aku terbangun. Bel sekolah berdenging di telingaku. Dadaku terasa sesak. Seolah makhluk bertopeng hitam itu baru saja mencekikku di kelas ini.
Aku memperbaiki posisi duduk yang sedang bersembunyi di balik buku paket. Aku melongokkan kepala dari persembunyian dan mendapati Bu Henny, guru Bahasa Indonesia sudah meninggalkan kelas.
Aku mengusap wajahku yang keringatan. Mimpi kejadian malam-malam itu kembali membayangi tidurku. Aku meraih botol minum dan meneguk isinya.
"Bagaimana tidurmu, Yu?" Tutut menepuk bahuku, bertanya sembari nyengir lebar.
"Mengerikan. Aku mendapat mimpi buruk." Jawabku jujur.
"Aih, mimpi itu lagi?" Tutut menatapku kasihan. Aku memang sudah menceritakan perihal mimpi itu padanya. Tentu saja tanpa mencamtumkan kecurigaanku padanya atau Kak Zifran.
Aku mengangguk. "Itu sangat menggangguku. Sudah tiga hari ini aku tak tidur nyenyak."
Tutut menaikkan satu alisnya, "kamu tampak menikmati tidurmu seperti biasa. Apanya yang tidak nyenyak?"
Aku cemberut. "Kamu ini tidak bisa bersimpati, ya?"
Tutut tertawa, "baik baiklah. Aku minta maaf."
Aku mulai membereskan peralatan belajar. Sudah jam pulang. Kami akan ikut ekstra panahan tiga puluh menit lagi.
"Mungkin saja itu benar." Kataku tiba-tiba, lebih seperti ditujukan pada diri sendiri.
"Apanya yang benar?" Tutut menolehkan kepalanya.
Aku menatapnya menyelidik, "mungkin saja mimpi itu pernah benar-benar terjadi. Karena itulah mimpiku sangat detail, mengusik ku setiap saat."
Aku diam sejenak, lalu melanjutkan, "kamera ku juga menghilang tiga hari ini."
Wajah Tutut tampak pias. Tapi dia segera menutupinya dengan tawa, "kamu ini bercanda saja kerjaannya. Mungkin kamera mu hanya terselip di suatu tempat. Lagipula, mana mungkin hal seperti itu terjadi di sekolah kita? Bukankah kamu sudah melihat rekaman CCTV sekolah? Tidak ada hal seperti itu, kan?"
"Eh? Hei, darimana kamu tahu aku melakukannya?" Tanyaku gelagapan. Membayangkan betapa galak nya aku ketika memaksa satpam sekolah satu hari lalu.
Kali ini Tutut tertawa sungguhan. "Tentu saja aku tahu."
Aku masih ingin protes tapi dia lebih dulu berucap, "sebaiknya kita bersiap sekarang. Bu Sayza akan heran kalau melihat murid kesayangannya datang terlambat." Dia mengedipkan satu matanya.
Aku yang terlanjur membuka mulut pun menutupnya kembali, lalu mengangguk cepat. Kami segera menuju kamar ganti di dekat lapangan.
Ketika sudah hampir sampai, tiba-tiba Tutut menghentikan langkahnya. Dia tampak menoleh ke suatu tempat.
"Ada apa, Tut?" Tanyaku.
Dia menatapku terkejut, "ahh, tidak apa-apa. Hanya saja, kupikir aku butuh ke toilet sekarang. Kamu duluan saja. Nanti aku menyusul." Ujarnya sembari berlari.
Aku jadi penasaran ketika dia tidak berlari ke arah toilet, tapi tangga menuju perpustakaan. Aku cepat-cepat berteriak, "kamar mandi bukan ke arah sana!!"
Tutut tidak menjawab. Aku ingin mengejarnya, tapi urung karena kulihat Bu Sayza sudah bersiap di pinggir lapangan. Aku segera berlari ke ruang ganti, dan mengganti bajuku dengan cepat. Sudah bukan rahasia jika aku selalu datang lima belas menit lebih cepat dari jadwal.
Langit sore terlihat cerah. Beberapa awan menguning terkena cahaya sang surya. Bayangan pohon hampir mencapai titik terpanjanganya.
Kami mendapat giliran maju perkelompok. Suara anak panah yang menancap di papan gabus menggema di lapangan. Peserta ekstra panahan terbilang sedikit jika dibandingkan ekstra lain. Jumlah kami tak lebih dari dua puluh lima orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayarangers
FantasySiapa yang tidak mengenal Pandawa? Lima bersaudara, putra Pandu Dewanata yang berhak memimpin Negri Astinapura. Kisah mereka yang melegenda menjadi inspirasi salah satu jenius masa ini. Dia menciptakan Megamasa, sebuah teknologi modern yang mampu me...