6| fight the past

334 59 13
                                    

[TW: Slight Panic attack]


Saat matahari berubah jingga kemerahan dan langit perlahan gelap, Estel dan Arsan memutuskan untuk kembali ke dalam mobil dan pulang. Pertemuan kedua cowok itu bisa dibilang berjalan cukup baik. Mereka memang sama-sama ngeselin awalnya, Arsan bahkan sampai ingin loncat keluar dari mobil, tapi setelah itu baik-baik aja kok. Mereka juga sudah dapat apa yang mereka mau, khususnya Arsan. Dia masih kaget ketika melihat uang di tabungannya bertambah.

Arsan nggak percaya melihat nominal di rekeningnya sekarang. "Lo engga salah transfer, El?" tanyanya sambil menunjuk layar handphone. "I mean.. gua bahkan belum ngelakuin apapun buat lo."

"Emang lo maunya ngapain dulu?" tanya Estel balik. "Kalau lo mau sih kita bisa~"

Arsan melotot ke arah Estel. Cowok berkacamata itu nggak ada habisnya membuat Arsan malu setengah mati, apalagi ucapannya yang tiap kali bikin Arsan jadi berpikir yang nggak-nggak.

Estel sendiri sih malah terhibur. "Gua bercanda. Anggap aja ucapan makasih buat nemenin gua makan siang."

"Oh..."

"Hum, oh." Estel membeo

"Terus?"

"Terus apa?"

"I-iya, terus next time berarti gua harus apa?"

Please jangan yang aneh-aneh, please-

"Gua gak akan minta atau maksa lo buat ngelakuin hal-hal yang gak lo mau, tapi inget kalau perjanjian kita harus sama-sama menguntungkan," kata Estel melihat Arsan tepat di matanya. "Jadi kalau gua ngerasa bosan atau gak puas, well, no more present for you, right baby?"

Arsan teguk ludahnya. Dia tentu nggak bodoh, begitu juga dengan Estel. Dari awal mereka tahu siapa yang paling membutuhkan. Estel dengan senang hati memberikan uang atau barang pada Arsan, baginya perjanjian mereka hanyalah hiburan yang ia bayar demi kesenangannya. Bagi Arsan, perjanjian ini bisa jadi hidupnya.

Arsan akhirnya kembali ke kost-kostannya setelah seharian bersama Estel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arsan akhirnya kembali ke kost-kostannya setelah seharian bersama Estel. Dia lelah, fisik dan emosinya sudah terkuras habis. Arsan masih nggak percaya dirinya jadi seorang sugar baby dari Estel- cowok yang masih menjadi misteri buat Arsan.

Hanya ada tiga hal yang Arsan tahu tentang Estel. Pertama, Estel memang punya ekspresi menyeramkan, apalagi saat dia nggak tersenyum dan mata kecokelatannya menatap tajam. Pantas orang-orang takut padanya. Kedua, Estel adalah tipe cowok controling yang nggak menerima jawaban tidak dari siapapun. Ketiga, Arsan tahu kalau Estel belum pernah punya pacar. Arsan masih ragu dengan hal yang terakhir, tapi seperti Estel nggak berbohong saat mengatakan itu.

"Mikirin apa, Dek? Jangan bengong gitu di tangga, nanti jatuh."

Tante Mae tiba-tiba menegur dari belakang Arsan. Wanita dengan daster motif bunga-bunga dan rambut dikonde itu tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Arsan, menyadarkan dia sebelum terjatuh.

"Iya, Tante... Makasih."

"Darimana kamu?"

"Main, Tan."

"Jarang Tante lihat kamu tanpa si Kevin. Biasanya berdua mulu kalian kayak anak kembar."

Arsan tertawa, nggak lucu sih tapi biar sopan aja. "Iya, Tan. Kevinnya lagi pergi," ucapnya asal. Dia hanya ingin buru-buru balik ke kamarnya.

"Enggak kok, Dek. Barusan aja Tante lihat dia di atas, nanyain kamu malah."

Mati ajalah Arsan

Cowok itu panik dan cepat-cepat salim ke tante Mae. "Maaf, Tante. Arsan permisi dulu!"

Arsan lari secepat mungkin, meninggalkan tante Mae kebingungan di tangga. Di depan pintu kamarnya, Arsan mengeluarkan kunci dari kantong celana, namun sebelum dirinya bisa memasukan kuncinya, pintu tersebut terbuka dan ada seseorang yang berdiri tepat di depannya.

Kevin dengan tangan terlipat di depan dada bertanya, "Darimana?"

"Habis keluar sama Ino- eh..." Arsan ingin bohong, tapi dia lihat Arino yang sudah berdiri di belakang Kevin. "Sorry?"

Tanpa bicara, Kevin menghampiri Arsan dengan langkah kasar, Arino bahkan nggak sempat menghalangi gerak sahabatnya itu.

"Lo ketemu kak Estel kan?"

"Iya. Kenapa?"

"Udah, woy, udah."

Arino memperingati sahabatnya. Dia berdiri di antara Kevin dan Arsan, tubuhnya yang tinggi besar memisahkan kedua cowok itu sebelum pertengkarannya berubah serius.

"Gua udah bilang jangan nemuin dia, San. Jangan berurusan lagi sama orang kayak Estel,"

"Estel gak seburuk yang lo ceritain, Vin. Buktinya dia-"

Kevin yang malah tertawa mengagetkan Arsan dan Arino. "Wah, lo udah lupa ya?"

"Stop it, Vin."

"Lo lupa sama Mahesa?"

Arsan baru terdiam saat itu juga. Dia nggak akan lupa dengan Mahesa, laki-laki yang menjadi mimpi buruknya selama dua tahun terakhir. Ia ingat Mahesa seperti hari kemarin.


Oh, gua habis makan siang sama kak Esa di kantin

Kak Mahesa tuh baik, Vin. Lo aja yang pikirannya jelek mulu


Arsan pernah mengenal Mahesa. Ia pernah suka padanya, pernah membelanya di depan kedua sahabatnya seperti dia membela Estel sekarang. Ada banyak hal yang Arsan pernah lakukan untuk cowok itu.

"Menurut lo gua bisa lupa? Menurut lo, Vin, gua lupa pernah dibully sampai hampir dikeluarin dari Langit, semua cuma karena gua ketahuan suka sama dia?!"

Arsan tiba-tiba sesak, padahal dirinya sudah menarik nafas bekali-kali. Dia merasa  ruangan kostannya mengecil, penglihatannya mulai berbayang dan gelap. Telapak tangannya juga berkeringat dan berubah putih pucat.

Arsan takut

Arsan merasa bersalah

Arsan tahu dirinya panik

"Arsan, hey, can you hear my voice? Fokus ke suara gua, okay?"

Arsan tidak kuat menjawab. Ia hanya bisa mengangguk-angguk kepalanya pelan. Dia dibantu Kevin dan Arino duduk di lantai dan bersender ke dinding. Kevin berusaha membantu Arsan untuk keluar dari serangan paniknya.

"Tarik nafas.. satu, dua, tiga.. buang."

Arsan mengikuti arahan Kevin sampai dirinya bisa kembali bernafas. Ia benar-benar lelah sekarang, rambutnya sampai basah dan menempel ke kening karena keringat. Dia ingin tidur.

Best of MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang