Arsan dan Estel sekarang duduk di meja sebuah restoran bernama Euphoria, sebuah restoran mewah yang berada di tengah kota. Setau Arsan hanya orang-orang tertentu yang bisa datang melihat seberapa berkelasnya tempat ini. Orang bahkan harus membuat pemesanan meja dan masuk ke dalam waiting list terlebih dahulu untuk makan disini.
Arsan bingung harus bersikap seperti apa. Dia duduk di kursi yang berseberangan dengan Estel, kedua tangannya nggak berhenti memainkan alat makan yang ada di atas meja karena gugup. Dari pertama Estel membukakan pintu untuk Arsan, menarikan kursi untuknya duduk, hingga cara kedua mata kecokelatan itu melihat dirinya- semua yang dilakukan Estel membuat Arsan terbakar warna merah padam.
"Mau pesan apa?"
"Umm..." Arsan membaca menu yang ada di tangannya sambil sibuk mengatur detak jantungnya sendiri. ".. gua engga tau mau makan apa."
"Hum, kalau gitu samain kayak pesanan gua aja ya?"
"Yaa."
Estel kembali membaca menunya sebelum memilih beberapa makanan dan minuman dari sana. "Pasta, medium steak, and iced latte sound good?"
"S-sure."
Arsan hanya diam saat Estel memanggil seorang pelayan untuk datang dan mencatat pesanan mereka. Pelayan itu sempat melihat ke arah Arsan dengan ekspresi menjudge, matanya ke atas dan bawah seakan berkata, "Kampungan," lalu pergi.
Arsan memang nggak bisa mendengar isi pikiran pelayan tadi, namun dirinya melihat sorotan mata yang merendahkan itu, memberitahunya kalau tempat ini bukanlah untuk orang sepertinya. Arsan menyesal sudah datang kesini. Dia memang nggak cocok berada di restoran mewah seperti ini- dia harusnya pergi- dia bahkan nggak pantas berkuliah di universitasnya sendiri- dia bukan siapa-siapa- dia...
"Lo kenapa?" tanya Estel, suaranya agak panik ketika melihat Arsan yang tiba-tiba gelisah di kursinya. "Gara-gara pelayan tadi?"
Arsan nggak menyangka Estel sadar dengan hal itu. Dia kira Estel nggak memperhatikan dirinya sama sekali. Arsan baru ingin menjawab pertanyaan Estel, tapi cowok itu tiba-tiba berdiri dari kursinya dan ingin menghampiri si pelayan. Arsan dengan cepat menarik lengan kanan Estel, menahannya dari pergi. Dia nggak ingin Estel buat keributan, apalagi hanya karena hal sepele seperti dirinya.
"Engga-engga! Santai aja, gua engga apa-apa."
"Gua gak suka cara dia ngelihat lo."
"I-iya, tapi yaudahlah," kata Arsan, tangannya masih berada di lengan Estel. "Mas-masnya engga bermaksud jahat kali, cuma perasaan gua doang."
Estel menghembuskan nafas kesal, matanya masih mencari-cari sosok pelayan tadi. Orang itu beruntung Estel tidak bisa menemukannya karena kalau iya, Estel akan pastikan dia dipecat saat itu juga.
Arsan melepas genggamannya saat Estel sudah duduk kembali. Mereka melihat satu sama lain dengan canggung, apalagi Arsan yang harus menahan malu karena menarik-narik lengan Estel. Dia nggak habis pikir Estel akan bereaksi seperti itu.
Hari ini memang benar-benar wah untuk Arsan Raketa. Dimulai dari ajakan (paksaan) makan siang Estel, kesan pertamanya dengan cowok itu, hingga insiden pelayan tadi yang mengharuskan dia untuk menahan Estel. Arsan nggak bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Gua baru inget kita belum bener-bener kenalan," ucap Estel tiba-tiba entah dari mana. "Michael Estel."
"Arsan."
Estel mengangguk.
"Maksud lo ajakin gua kesini apa?" giliran Arsan yang bertanya tanpa basa-basi. Dia sangat ini ingin mendengar jawaban cowok itu.
"Buat makan siang, masa kerja kelompok."
"Haha, lucu"
Jujur, Arsan nggak tahu dirinya dapat keberanian darimana. Dia udah kelampau kesal dengan tingkah Estel.
"Makasih buat makan siangnya, tapi gua udah bilang nggak tertarik-"
Estel memotong perkataan Arsan, "Sebutin berapapun yang lo mau," ucapnya. "Berapapun, selama masuk akal, bakal gua transfer ke rekening lo sekarang."
"Lo bercandakan?!"
"Emang gua kelihatan bercanda?" tanya Estel dengan satu alisnya terangkat.
"Kenapa?" Itu yang Arsan ingin tahu. Dia bingung kenapa cowok itu menginginkan dirinya.
"Gua lagi bosen."
"Huh?"
"Gua lagi bosen aja, butuh hiburan," jawaban itu keluar dari mulut Estel dengan mudah.
"Kenapa lo engga cari pacar aja atau sekalian FWB? Lebih gampang daripada nyari sugar baby."
Estel mengangkat kedua pundaknya. Saat ini dia cukup terhibur dengan ekspresi kebingungan di wajah Arsan. Aneh, cowok itu kelihatan tengil tapi juga imut di mata Estel.
"Atau jangan-jangan engga ada yang mau deket sama lo karena lo suka php?"
"Gua gak suka hal-hal ribet kayak gitu."
Oh, jadi begitu... Arsan bisa tahu kalau cowok itu juga nggak suka akan komitmen.
"Kenapa gua?"
"Lo banyak tanya kayak pembantu baru ya."
"Jawab aja pertanyaannya."
"So demanding," canda Estel. Dia menopang dagunya dengan tangan, ada senyuman nakal bermain di bibirnya. "Dari awal gua lihat lo, lo itu menarik dan buat gua penasaran. You're not bad looking either, I would even say you're cute."
Arsan bisa ngerasain pipinya panas hingga leher. Estel bener-bener nggak ada malunya bicara seperti itu, apalagi dengan smirk di pinggir bibir merahnya. Arsan sekarang tahu alasan Estel, dia butuh seseorang untuk jadi hiburannya- tanpa perasaan, tanpa status, tanpa ribet.
Arsan juga tahu kalau tawaran dari Estel bisa menjamin kondisi keuangannya. Dia bisa membayar kost tante Mae tepat waktu dan mulai menambung untuk biaya praktek, bisa jadi uang kuliah untuk semester depan. Arsan hanya butuh uang- tanpa perasaan, tanpa status, tanpa ribet seperti yang Estel minta. Ya, ya dirinya bisa ngelakuin itu semua.
Arsan Raketa akhirnya berani menatap kedua mata seorang Estel. Ia memberikan senyum semanis mungkin, lesung pipinya terlihat yang buat Estel ikut tersenyum semringah.
"Deal. Gua kirim nomor rekening gua nanti."
"Sure, baby. Tell me anything you want, I give it to you."
Persetan dengan keputusan gilanya, toh Arsan tahu kalau penyesalan selalu datang di akhir. Arsan ingin bersenang-senang dulu sekarang sama seperti Estel. Mereka berdua bisa manfaatin satu sama lain, a win-win situation.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best of Me
Fanfiction"By the way, bisa engga sih lo jatuh cinta sama sugar daddy sendiri?" [Wooyoung : San] [Bahasa]