metropolitan

11.9K 87 0
                                    

banyak yang berubah dari diriku sejak aku pindah ke Denpasar selain dari gaya hidup tentunya. Baru empat bulan saja, kota ini telah mampu menyulap gaya hidupku berubah seratus delapan puluh derajat menjadi layaknya ABG di kota-kota besar. Namun salah satu yang masih tak berubah dari diriku adalah aku tetap tak pernah menyukai dunia gemerlap, bau menyengat minuman keras di diskotik atau pun party night. Aku memang lebih memilih melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat dari itu, yang tentunya tak kalah memberikan hiburan yang menyenangkan, misalnya duduk-duduk di tepi pantai Kuta sambil makan es krim saat menjelang petang, menikmati beberapa potong tiramizu di kafe langgananku sambil mendengarkan alunan live musik yang menurutku jauh lebih tenang dan romantis, menikmati jagung bakar di taman kota ketika malam tiba, dan lain sebagainya. Aku adalah aku, aku tak ingin kehilangan jati diriku dengan mengikuti arus yang tak aku suka hanya karena terseret oleh lingkungan, meskipun ada banyak suara sumbang yang menyebutku: konyol, bodoh, kampungan, atau pun penganut aliran kunoisme.

Apalagi seminggu belakangan, aku sudah punya seorang teman yang bisa diajak jalan-jalan. Bagiku, berdua selalu lebih baik dari pada seorang diri. Namanya sebut saja Aldy, seorang cowok ganteng dari ibukota yang sedang berlibur ke Bali selama dua minggu liburan sekolahnya, ia baru kelas dua smu dan kebetulan punya om yang tinggal di Bali, dimana Aldy menginap saat itu. Pada hari kedua sejak Aldy tiba di Bali, secara tak sengaja kami bertemu di salah satu mal di pusat kota Denpasar. Waktu itu Aldy sedang menunggu keluarga om-nya yang sedang berbelanja, mereka janjian ketemu di pintu samping, di dekat deposit counter. Sementara pada saat yang hampir bersamaan aku baru saja keluar dari dalam mal setelah berbelanja beberapa t-shirt dan sepotong celana jeans. Saat aku berpapasan dengan Aldy di depan pintu, aku tak begitu menaruh perhatian padanya, aku cepat-cepat saja melangkah menuju kantin yang berada tepat di seberang pintu, masih di dalam kompleks mal yang sama.

Aku memesan sepiring nasi goreng hongkong dan segelas air putih, untuk mengisi perutku yang keroncongan di tengah udara yang begitu panas menyengat tengah hari itu. Sambil menunggu pesananku datang, aku pun iseng-iseng melongok keluar kantin, melihat beberapa orang yang keluar masuk mal. Memang tidak begitu ramai pada jam segini, dan justru itulah yang menolongku untuk bisa memperhatikan sesosok remaja yang berdiri di depan pintu, jika dalam kondisi ramai, mana mungkin aku bisa memperhatikan Aldy. Segar juga mataku mendapat pemandangan sesosok ABG yang good looking dan tampak innocent itu. Cukup lama juga aku memperhatikannya, mataku tak berkedip dan tak beralih sedikit pun dari Aldy. Tiba-tiba aku terkejut karena Aldy mendekat ke arahku. Jangan-jangan ketahuan kalau aku memperhatikannya sejak tadi, gawat nih, pikirku. Aku pun segera mengalihkan pandanganku. Ternyata Aldy tak sedang mendekat ke arahku saat itu, ia sedang menuju kantin yang sama dimana aku berada saat itu. His performance was very cool, like me of course.

Aldy memilih tempat yang hanya berjarak sepelemparan saja dari mejaku, tidak begitu jauh. Pokoknya saat itu posisi pandangku cukup nyaman untuk melihatnya dari ujung rambut sampai ujung kaki, hanya saja aku tak begitu bebas memelototinya karena posisi kami yang saling berhadapan saat itu, jadi sesekali saja aku mencuri-curi pandang ke arahnya. Dalam suatu kesempatan, secara tak sengaja kami saling beradu pandang, tiba-tiba bagaikan menang lotere di siang bolong, tak kusangka dan tak kuduga, Aldy melemparkan sebuah senyuman untukku. Jantungku pun seakan mau berhenti berdetak saat itu,

"Oh, my God!" kataku dalam hati sambil mengelus-elus dadaku. Senyumannya memang betul-betul bisa merontokkan gigi dan meruntuhkan iman, pikirku. Bagaimana tidak, begitu melihat senyumnya itu, aku seolah-olah ingin segera menelannya hidup-hidup. Tiba-tiba tanpa terkontrol, tanganku melambai ke arah Aldy, memanggilnya. Tingkahku saat itu memang seperti orang konyol, tapi sungguh, antara otak dan tanganku sudah benar-benar korslet saat itu, tidak sinkron.

Aldy memandangku dengan bingung, tapi toh ia tak cukup kuat juga untuk menahan gaya magnet yang kumiliki. Aldy pun akhirnya mendekat juga ke mejaku, mengambil tempat duduk tepat di depanku, menyodorkan muka gantengnya tepat di depan batang hidungku. Ingin segera kujamah dan kuremas-remas saja mukanya itu dengan gemas dan dengan nafsuku yang membara saat itu. Tetapi tentu saja, itu adalah hal yang sangat kurang ajar yang tak mungkin kulakukan saat itu.

kumpulan cerita gayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang