M05. Tenshi no Shippo

695 33 6
                                    

Dhike melihat anak laki-laki di depannya dengan perasaan gelisah. Dia lalu menghela nafasnya berat. Balon yang sedari tadi di pegangnya, milik anak kecil itu lalu diberikannya lagi ke anak kecil itu.

"Kakak mau pulang dulu, ya," katanya lembut. Memang wajahnya terlihat dingin dan menjengkelkan, tapi hatinya benar-benar baik dan putih, seputih kapas.

"Tapi, kakak belum dateng, kak Dhike," kata anak kecil itu, Dika. Sekali lagi Dhike membuang nafasnya dengan berat.

"Hmm, tapi kakak bener-bener harus pulang, Dika," kata Dhike. "Memang kakak kamu kemana?" Lanjutnya. Dika yang ditanya malah menggelengkan kepalanya keras--berlebihan malah.

Dhike terdiam. Dia lalu mengisyaratkan Dika untuk kembali bermain. Dia lalu duduk di bangku yang ia duduki tadi. Dhike menatap langit. Dia teringat jaman dulu, ketika ia menerbangkan balon bulat berwarna merah dimana ada rahasia didalamnya. Kira-kira, angin membawa rahasia itu terbang kemana, ya?

***

Dhike memperhatikan guru sejarah di depannya berceloteh tentang bagaimana Jepang bisa masuk ke Indonesia. Memang telinganya ada disitu, tapi fokusnya ada di tempat lain. Ia memperhatikan dengan seksama Raka Adhitya, laki-laki yang tempat duduknya ada di serong Dhike.

Dhike menyukai anak ini sudah sejak lama. Mungkin 1 atau 2 tahun yang lalu? Entahlah dia tidak pernah ingat.

Tapi dia lah sang sempurna. Tubuh atletis, paras wajah yang tampan, kapten tim basket sekolahnya, ranking 5 besar kelas. Kurang lengkap apa?

Sedangkan Dhike, hanya gadis manis yang menutupi kepolosannya dengan wajahnya yang terkesan judes. Dhike pintar di bidang akademis, ranking 2 parallel di sekolahnya. Hanya itu. Dia lah sang kutu buku anti-sosial.

Ketika sedang asik menonton pemandangan indah di depannya, tiba-tiba sang objek bergerak secepat kilat menoleh ke arah Dhike. Dhike yang tidak sempat menghindar agar tidak tertangkap basah hanya bisa membuang mukanya ke arah lain. Jantung Dhike berdegup kencang sampai ia yakin temannya yang duduk di depannya bisa mendengar suara detak jantung Dhike. Jantung Dhike berdegup terus seperti itu hingga terasa akan meledak.

Ia pun menatap langit di luar kelasnya. Bel baru saja berbunyi, sehingga sang guru sejarah tidak perlu menangkap Dhike yang sedang melamun.

Awan-awan putih yang berarak di luar sana menarik perhatian Dhike. Jika ia bisa bertanya pada awan putih kenapa perasaannya jadi berat begini, dia akan bertanya. Tanpa segan. Kenapa dia cukup melihat Raka, tanpa perlu mencapainya? Apa dia menikmati cinta yang menepuk angin ini?

***

Pada awalnya, Dhike hanya tertarik pada Raka yang serba sempurna. Tapi lama kelamaan perasaan itu berubah jadi suka. Ketika pertama kali menyadari, Dhike benar-benar bingung harus berbuat apa. Itu adalah pertama kalinya ia jatuh cinta dengan seseorang.

Tapi perasaannya itu plinplan. Kadang, ia berpikir harus mengutarakan perasaannya. Tapi ada di waktu lain perasaan itu bergerak ke tempat lain. Bahkan ada saatnya perasaan itu hilang tak berbekas.

Cinta bagaikan ekor malaikat yang plinplan. Gerak ke sana sini susah kutangkap. Tak akan bisa atasi pada pengalaman pertama.

Keberadaan Dhike bagaikan angin bagi Raka. Dia seperti tidak menyadari adanya keberadaan Dhike, bahkan sebagai teman sekelasnya. Hingga suatu kebetulan mereka satu kelompok belajar. Walaupun tidak jadi dekat--bahkan sepertinya tidak berubah--tetap saja Raka sempat melihat Dhike.

Suatu saat arah angin akan berubah, hingga kebetulan kau lihat ke sini.

Dhike tidak berharap cintanya terbalas, memang. Tapi jika keajaiban itu tiba-tiba datang, ia akan setia menunggunya. Di tempatnya sekarang.

Aku menunggu di tempat ini hingga keajaiban munculnya pelangi.

***

Dulu juga sempat beredar rumor bahwa Dhike suka pada Raka dan Raka pun membalas perasaan Dhike. Tentu saja rumor itu membuat Dhike senang, sekaligus kesal. Menurutnya, biar dia saja yang tahu tentang perasaannya terhadap Raka, tak perlu orang lain sampai tahu.

Cinta bagaikan ekor malaikat yang nakal, kabur dengan lembut tak tahu kemana.

"Kau ini pengejar bulan, atau pendamba matahari, sih, Ke?"

Dia sangat ingat ketika ia menceritakan tentang perasaannya ke teman perempuannya, malah dibalas seperti itu.

"Cuma misalnya,"

Akhirnya ia berkata seperti itu. Cuma misalnya. Dan yang orang-orang tahu sampai sekarang ya hanya permisalan Dhike suka pada Raka.

Memang lucu sekali jika Dhike berharap Raka yang serba sempurna itu mau membalas cintanya. Dhike sadar akan kesilauan matahari yang di dambakannya. Dengan sangat berat, Dhike melupakan obsesinya dan hanya suka--tanpa harapan apapun--kepada Raka.

Matahari yang kudambakan terlalu silau.

Rumor yang sempat beredar pun sampai ke telinga Raka. Raka sempat berusaha meminta klarifikasi langsung dari Dhike. Tapi, Dhike yang tau akan posisinya malah bersikap dingin ke Raka. Akhirnya, rumor itu benar-benar dibantah oleh Dhike. Dan, tidak lagi terdengar kabar tentang itu.

Karnanya aku berpura-pura tidak suka, dan aku pun menjadi bersikap dingin.

Sejak saat itu, Dhike hanya bisa melihat dari atas Raka yang sedang bermain bola basket, tanpa berani mendekat. Hanya bisa melihat Raka yang menulis catatan dari bangkunya yang terpaut jauh. Hanya bisa memandang mataharinya dari bumi tempat ia berpijak. Hanya bisa melihatnya dari jauh.

Aku memandang dari kejauhan cinta tak terbalas, hanya milikku.

------------------------------------------------------------

23-02-2015

Pajama DriveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang