11# Baikan?

2.2K 468 218
                                    

Witing tresno jalaran Soko kulino lunture tresno jalaran Soko wong liyo
*
*
*

Matahari sudah setelah gala. Pukul 11.30 para lelaki di kantor berangkat tunaikan salat Jumat di masjid seberang perkantoran.

Siena masih di ruangan. Sejak tadi matanya menekuri layar komputer, tapi pikirannya melayang jauh. Tangannya sesekali memijat pangkal hidung, kepala berdenyut nyeri mengingat hubungannya dengan Shaka masih sepanas bara api. Jujur Siena lelah harus bersitegang terus. Shaka, lelaki itu tidak satu kalipun memberi kesempatan untuknya menjelaskan tentang hal di masal lalu. Sesuatu yang dianggap fatal oleh Arshaka, pemicu sikapnya saat ini terhadap Siena.

Mata Siena memindai pintu kaca yang berderit saat ada yang mendorong dari luar.
Mbak Winda melongok dari pintu yang setengah terbuka, "Na, sibuk, nggak? Yok bantuin bentar," ucapnya di tengah pintu tanpa masuk.

"Bantu apa, Mbak?" Siena beranjak setelah mematikan laptopnya lebih dulu.

"Siapin tempat buat makan bersama. Di ruangan kosong, sebelah ruang divisi marketing."

Siena melangkah mengikuti petunjuk Mbak Winda yang berjalan lebih dulu di depan. Ah, iya. Dia baru ingat belum mengucapkan terima kasih pada Winda atas kebaikan hatinya  kemarin mengirimkan makanan dan minuman pereda nyeri haid.

"Mbak Wind, makasih ya buat kirimannya kemarin." Siena mengulas senyum tulus. Winda menghentikan langkah. Dahinya berkerut mendengar ungkapan Siena.

"Terima kasih buat apa, Na?" Tanyanya dengan alis terangkat sebelah.

Gantian Siena yang cengo, "Itu, kemarin, kan aku ga turun buat makan siang karena lagi nyeri haid, terus ada anak OB datang bawain sekresek jajanan sama makan siang, plus dua botol jamu pereda nyeri haid juga. Katanya Mbak Winda yang ngirim," Jelas Siena secara rinci.

Winda tertawa sumbang, "Oh, itu ya ... Iya, sama-sama, Na." Mata Winda mengedip beberapa kali. Dia sudah paham kalau ada pernyataan janggal karyawati  begini biasanya ulah pak bos. Sudah tidak kaget, bukan sekali dua kali. Yang lalu-lalu juga sering pak bos mengirim makanan atau barang, motifnya mau modus, tapi atas nama Winda, modus secara halus. Sama sekali tidak masalah bagi Winda, toh dia kebagian imej cangtip. Di mata teman-teman lain bak seperti malaikat penolong. Padahal yang modal pak bos.

Memasuki ruangan yang dimaksud, di sana sudah ada beberapa karyawati lain. Ada yang sibuk menggelar karpet, membuat es di teko besar. Ada yang menata kotakan berisi nasi lengkap dengan lauknya, dan jajalan ringan.

"Ada acara Mbak Wind, ada yang ultah ya?" Siena bertanya antuasias. Sejenak berusaha lupakan beban yang melilit hati.

"Oh, jangan kaget Na. Tiap hari Jumat memang pak bos ngadain makan siang bersama sama semua karyawan. Program Jumat berkah katanya. Jadi biar kita semua akrab, terjaga silaturahmi, gitu, terus ga cuma makan bersama pegawainya, pak bos biasanya juga bagi-bagi nasi box buat banyak orang." Penjelasan Winda membuat kedua sisi rahangnya tertarik membentuk lengkung senyum tipis.  Meski jengkel dengan sikap Shaka saat berhadapan dengannya, tapi lelaki itu sangat baik hati. Royal terhadap para karyawan.

"Assalamualaikum ..." Ucapan salam menggema dari depan pintu ruang yang dipakai makan bersama. Tante Ratih melangkah masuk bersama si kecil Cherry.

"Wa'alaikumussalam, Tante. Hallo Cherry," sahut Siena. Cherry, bocah kecil itu langsung menubruk pada Siena. Jemari kecilnya yang montok mengait erat di pinggang Siena.

"Ante Na, mau diajak omah," celoteh Cherry menggemaskan.

"Siang, Bu Ratih, tumben ke sini? Pak Shaka masih salat Jumat, Bu." Winda menukas.

One More Love (Published by Batik-Publisher)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang