SEISI kelas IX IPA3 mendadak heboh, ketika seorang laki-laki datang ke kelas mereka pagi itu. Rambut hitam laki-laki itu sedikit panjang acak-acakan, nampak tidak disisir rapi. Tubuhnya tinggi tegap, namun sedikit kurus. Dasinya be-rantakan. Begitu pula dengan kemeja sekolah yang dikenakannya. Laki-laki itu terlihat menawan dengan kulitnya yang berwarna pucat. Meski, penampilan laki-laki itu secara keseluruhan terlihat serampangan. Tapi, tetap tidak mengurangi da-ya tarik yang dimilikinya. Bahkan, hampir semua murid perempuan di kelas IX IPA3 langsung memandang takjub saat kemunculan laki-laki itu.
Setelah beberapa kali bertanya, Devin akhirnya berhasil menemukan ruang kelas yang dicarinya. Tatapan matanya langsung mencari-cari, menyapu seisi ru-angan itu. Ada cukup banyak murid perempuan di dalam kelas itu dan tidak me-nutup kemungkinan lain, bahwa orang yang dicarinya tidak ada disana atau bisa saja belum datang. Pasalnya, Devin hanya mengetahui nama gadis itu.
Agnes merasa semakin frustasi mengerjakan laporan tertulis yang harus di-selesaikannya pagi ini. Ia merasa tidak begitu bersemangat mengingat hingga se-malaman mencari, tapi tetap tidak juga menemukan benda yang dicarinya. Mem-buatnya, benar-benar merasa putus asa. Ia memijat-mijat keningnya, tidak dapat berkonsentrasi dengan laporan yang harus dikerjakannya. Mendengar suara bisik-bisik disekitarnya, akhirnya membuat Agnes menyerah. Agnes mengangkat kepalanya, terkejut—mendapati Devin Reffedo berdiri diambang pintu kelasnya.
Laki-laki itu tampak kebingungan seperti sedang mencari sesuatu. Agnes bertanya-tanya mengapa laki-laki itu bisa berada di kelasnya? Sebenarnya apa yang sedang dilakukannya disini? Mata Agnes kemudian terkejap kaget begitu mendengar namanya disebut.
"Apa ada yang bernama Agnes disini?" Laki-laki itu bertanya pada Laura yang baru saja datang dan masih menenteng tas sekolah dibahunya.
Tiba-tiba dicegat dan ditanya seperti itu, jelas membuat Laura sedikit kebingungan. Tapi, ketika laki-laki itu menyebut nama 'Agnes' secara spontan Laura langsung menunjuk kearah temannya. Devin mengikuti arah yang ditunjuk oleh telunjuk jari gadis itu yang kemudian mengarah pada seorang gadis berambut pendek yang duduk disamping dinding, tepat di bangku ketiga yang berada persis di barisan meja guru.
Tapi, kenapa laki-laki itu mencarinya? Mata mereka bertemu. Laki-laki itu menatapnya dengan pandangan ragu dan Agnes merasa sama bingungnya dengan laki-laki itu.
Menyadari hampir semua mata tertuju padanya. Dengan cepat, Agnes bangkit berdiri menarik laki-laki itu pergi bersamanya. Devin yang kebingungan, ketika seorang gadis berambut pendek yang kemungkinan besar adalah 'Agnes' yang ia cari—menarik tangannya—tidak berkata apa-apa—hanya mengikuti gadis itu membawanya.
Setelah memastikan hanya mereka berdua yang ada di taman itu. Agnes melepas genggaman tangannya. "Ada perlu apa denganku?" ketusnya dengan na-da acuh tak acuh terdengar menyebalkan. Agnes tidak peduli, kenapa laki-laki itu mencarinya. Satu hal yang pasti, ia ingin urusan ini cepat selesai.
"Apa kau Agnes?" tanya laki-laki itu, kemudian menunjukkan amplop coklat yang dibawanya. Mata Agnes melebar, langsung mengenali benda yang di-pegang laki-laki itu. Bagaimana mungkin laki-laki itu bisa membawanya?
"Ini milikmu?" tanya laki-laki itu sekali lagi dan dengan gerakan cepat, Agnes langsung merebut miliknya dari tangan laki-laki itu.
Devin terkesiap. Tangan gadis itu begitu cepat meyambar amplop tersebut dari tangannya dengan kecepatan kilat. "Kau meninggalkannya di ruang UKS kemarin." Devin menjelaskan, tidak ingin gadis itu salah paham terhadapnya.
Tidak terlalu mendengarkan apa yang dikatakan laki-laki itu, Agnes lebih memilih membuka amplop itu untuk memastikan foto-fotonya masih ada di dalam sana.