Chapter 1: Laki-laki ditengah Hujan

14 1 1
                                    

LANGIT tampak gelap, tertutup oleh awan mendung yang menyelubungi kotaJakarta hampir sepanjang sore itu. Agnes berjalan tampak resah, menghindari orang-orang yang berlalu-lalang disekelilingnya. Seorang dokter diikuti beberapa perawat laki-laki dan perempuan nampak terlihat tergesa-gesa membawa seorang pasien dengan kereta dorong melewati lorong sempit itu. Suara pekikan dan tangisan menyeruak dari wanita yang mendampingi pasien tersebut, sementara sang perawat berseru agar orang-orang sekitar memberikan jalan bagi mereka. Pasien itu melewatinya-Agnes memeluk dirinya sendiri, menekan buku-buku jarinya yang gemetar.

Pasien itu bukan teman ataupun kerabatnya. Namun, melihat kondisi pasien itu membuat gambaran yang ia lihat terasa begitu jelas. Ada begitu banyak darah. Meski, ia tahu rasa takutnya itu tidaklah nyata. Agnes terlihat ketakutan. Jelas, ia merasa takut. Agnes menarik nafas, berusaha menguatkan setiap langkah kakinya. Ia meremas erat kedua lengannya. Bau rumah sakit yang terasa begitu kentara, membuatnya semakin merasa gelisah.

Suara hujan. Agnes menghentikan langkahnya, berdiri menghadap jendela besar rumah sakit itu. Lorong yang ia lewati tampak sepi. Ia menempelkan telapak tangannya, mengerjap pelan menatap hujan yang turun begitu deras diluar sana. Hujan yang sangat dibencinya.

Agnes mendesah.

Mengarah pada taman rumah sakit diluar jendela itu, ia kembali menger-jap. Heran. Karena, seseorang tengah berada disana. Matanya menangkap sesosok laki-laki duduk di salah satu bangku di taman itu. Tidak biasanya, ia melihat ada orang yang rela berada diluar hujan-hujanan-apalagi, tanpa payung. Namun, laki-laki itu duduk disana, menunduk, membiarkan hujan membasahi dirinya.

Kedua tangan laki-laki itu terkatup menyentuh bagian puncak keningnya. Laki-laki itu kemudian berdiri, kepalanya mendongak menengadah kearah la-ngit-memejamkan matanya. Agnes tidak dapat mengalihkan perhatiannya. Mata-nya terpaku pada sosok laki-laki itu.

Air mata atau hujan?

Agnes merasa laki-laki itu seakan menangis. Apakah laki-laki itu benar-benar menangis?

Tetesan air yang jatuh bergulir dari ujung rambut hitam laki-laki itu, mem-buat sosoknya terlihat begitu indah bagaikan sebuah lukisan. Agnes sedikit ter-kesiap, begitu matanya dan mata laki-laki itu bertemu. Laki-laki itu menyadari bahwa ia tengah memperhatikannya. Hening. Untuk beberapa saat, hanya suara rintik hujan yang memecah kebisuan diantara mereka. Laki-laki itu kemudian ber-balik, melangkah pergi.

Agnes masih berdiri disana, menatap punggung laki-laki itu. Laki-laki yang aneh, pikirnya. Ia lalu kembali beranjak ketika sosok laki-laki itu terlihat cukup jauh dari pandangannya.

***

Devin Reffedo mengusap rambutnya yang basah, memandangi hiruk-pikuk aktivitas diluar sana dari balik jendela apartemen yang berada di lantai dua puluh delapan dihadapannya. Beberapa gedung pencakar langit berdiri kokoh, sementara bangunan-bangunan disekitarnya nampak begitu kecil. Lampu-lampu kendaraan terlihat seperti bias-bias cahaya yang berkelap-kelip, seperti kunang-kunang-menghiasi pemandangan malam kota Jakarta yang seakan tidak pernah tidur.

Namun, pemandangan tersebut terasa hampa baginya.

Meski, sudah lebih dari setengah tahun berlalu-dan, hampir satu bulan ia berada disini, memutuskan untuk tinggal bersama sepupunya. Tapi, Devin masih dapat mengingatnya. Setengah tahun yang ia lalui... masih terasa bagaikan mimpi baginya. Mimpi yang begitu nyata. Mimpi yang ia harap dapat ia enyahkan dari ingatannya. Setiap detik dan setiap menit-di hari-hari itu-Devin kembali mengerjap, tidak merasakan apa pun yang berarti, kecuali kehampaan dan kepedihan. Sesuatu yang telah hilang darinya-dirinya...

"Apa sekarang kau punya kebiasaan baru? Tidur sambil berdiri?" kekeh suara yang berada tidak jauh darinya.

Devin mengerjap, mengalihkan pandangannya kepada seorang laki-laki yang tengah beranjak dari dapur-menuju ruang duduk bergaya modern yang hanya berjarak beberapa langkah. Semburat uap panas yang menyembul dari mug yang dibawa laki-laki itu menunjukkan bahwa minuman tersebut cukup panas.

Rain and YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang