Gileee, aku lancar banget di lapak ini.
🙃🙃🙃"Dia bukan tipe lu, Luna!
"Dia juga cowok brengsek."
"Tampilannya aja nggak banget buat diajakin jalan, apalagi pacar."
Pikiran buruk memenuhi isi kepala Luna, tapi tidak hanya itu saja karena pikiran baik juga ikut menimpali, seolah melawan semua penilaian buruk yang tidak bisa dilemparkan begitu saja tanpa bukti, apalagi hanya sekedar asumsi.
"Tapi dia yang selalu ada buat lu."
"Dia juga pendengar yang baik, yang sama sekali nggak nge-judge kayak yang dulu."
"Omongannya jujur dan tegas, juga serius. Kayaknya emang nggak niat buruk."
"Don't judge a book by its cover."
"Aarrrggghhh, ini otak kenapa sih?" sewot Luna sambil mengacak-acak rambutnya dengan gemas.
"Eh, lu kenapa? Udah gila?" tanya Cella bingung.
"Iya, udah gila banget! Kayaknya gue perlu ke psikiater deh," jawab Luna cemberut.
Kening Cella berkerut dan menatap Luna dengan penuh penilaian. "Ada masalah hidup apa sih lu sebenarnya? Lu masih hutang cerita dan malah nyusahin gue dengan harus bohong sama nyokap lu!"
Luna menggeleng pasrah. "Things get worst. Nyokap nggak setuju sama cowok pillihan gue."
"What? Lu udah punya pacar? Kok nggak ngenalin gue?" seru Cella kaget.
Luna kembali menggeleng. "Bukan! Bukan gitu. Duh, gini-gini ceritanya..."
Seperti biasa, di waktu kerja yang sudah mencapai jam tiga adalah sesi membuang waktu sampai jam lima. Demi sebuah kewarasan dan penyegaran, hal itu wajib dilakukan oleh Luna dan Cella di setiap harinya. Dikarenakan bos berhalangan masuk, maka Luna dan Cella lebih totalitas dalam membuang waktunya sekarang.
Memesan jajanan lewat aplikasi, bertukar varian lewat tahu gejrot pesanan Luna, dan rujak buah pesanan Cella. Meja kosong yang ada di dalam ruangan pun dijadikan sebagai meja makan untuk berbagi rasa, baik makanan ataupun kisah.
Sambil menikmati tahu gejrot yang super pedas, Luna bercerita tentang apa yang terjadi padanya selama seminggu terakhir. Cella yang asik mengunyah rujaknya, memberi ekspresi beragam dan terlalu dramatis lewat tatapan tidak percaya, berseru, lalu tersedak, dan kembali lagi ke tatapan tidak percaya.
"Lu udah gila!" demikian seruan Cella saat Luna mengakhiri ceritanya.
Yeah, memang, batin Luna masam. Apa yang dirasakan Luna saat ini lebih dari sekedar gila, dan itu membuatnya semakin tidak terkendali. Entah kenapa setiap kali membicarakan Jerome, atau sekedar teringat padanya, ada debaran yang tidak biasa.
"Gue nggak punya pilihan daripada dikenalin sama anaknya temen nyokap gue, Cel! Lu nggak tahu modelan kenalan nyokap gue tuh kayak gimana," cetus Luna jujur.
"Yah, tapi nggak sampe desperado gitu dong, Lun! Jerome bukan satu-satunya pilihan. Di aplikasi ada banyak pilihan, lu tinggal swipe, match, and boom!" sahut Cella gemas.
Kening Luna berkerut tidak suka. "Gue nggak minat main aplikasi lagi, Cel. Gue nggak suka! Bisa terjebak sama Jerome aja itu udah terpaksa. Yah nggak terpaksa juga karena apa yang udah terjadi nggak boleh gue sesali. But, Jerome is more better than them."
"Dengan kata lain, lu udah mengakui kalau aplikasi itu ada gunanya dong. Kalau nggak dari aplikasi, lu kenal Jerome darimana?" balas Cella.
"Guna nggak guna. Tapi sekarang, bukan masalah aplikasi berguna atau nggak. Masalahnya adalah gue lagi punya masalah dan nggak kepengen main aplikasi lagi. Urusan hidup gue udah banyak, nggak mau ditambah dengan kenalan sama orang asing yang lebih serem dari Jerome."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ULTIMATE FUCKBOY (SUDAH TERBIT)
RomanceBased on 10 days of research through dating Apps, as been told by the Interviewees named Mr. Dirty: "Gue bukan orang yang romantis, tapi sesekali perlu yang manis. Kayak lu," kata Jerome. "Gue bukan orang yang melow, tapi nggak suka sama orang yang...