ᴅᴇʙᴜʀ ombak yang mulai surut perlahan meninggalkan pesisir pantai Gwangalli, intensitas air yang cukup tinggi pukul empat pagi belum lama ini menyebabkan dampak terparah sejauh mata memandang. Dalam rentang waktu satu jam lebih tiga puluh menit pasca kejadian, sebanyak lima buah kapal militer angkatan laut mulai berlabuh menyusuri rute menuju lokasi bencana alam gempa dengan potensi tsunami 7,5 skala richter di Busan hari ini. Delapan unit helikopter menyorot cahaya-cahaya besar di antara kegelapan dan berpencar, memantau situasi pemukiman yang telah menyatu bersama porak-poranda dari jalur udara. Siap bergerak mendekati bibir pantai.
Berdasarkan informasi yang beredar di media stasiun televisi dan artikel, sumber menyatakan bahwa tercatat 438 orang meninggal dunia, 115 hilang dan 397 orang belum diketahui keadaannya. Ketiadaan peringatan dini dari badan klimatologi setempat yang lalai tidak menduga, namun tetap terdeteksi yang dicetak dalam gelombang kecil—sebelum menjadi pemberitahuan besar yang terlambat disadari—membuat masyarakat tidak memiliki waktu untuk menyelamatkan diri dan harta benda ke lokasi yang aman.
Menurut Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Korea Selatan, hari ini juga pihaknya melakukan pencarian korban yang terkena bencana alam kali ini.
Seperti bagaimana sang kapten regu baru saja turun dari helikopter dengan gagah, surai kelam wira itu mengalun lembut saat semilir angin laut membuai sela telinga. Membawa senter yang menyala terang, lantas berhenti lama di atas batu-batu besar yang singgah di atas gundukan pasir Gwangalli. Pantai yang terkenal di kota Busan. Seharusnya pantai terlihat indah. Air lautnya jernih, menyaksikan senja yang terbenam di atas jembatan yang membentang pantai, kursi-kursi kuliner yang dipenuhi warga kota, juga turis yang asyik berfoto tidak ada lagi di sana, digantikan bongkahan reruntuhan gedung di bawah kakinya.
Diam, tetapi iris tajamya kembali sibuk mengamati sudut-sudut pantai yang rusak. Gelap-gulita, listrik padam total. Dialah Sersan Mayor, Kim Taehyung. Dia tampan, mungkin hanya ada satu-satunya di dunia ini yang tidak semua orang bisa mendapatkannya.
Ada sesuatu yang menciptakan lubang besar di dadanya saat dia tahu bahwa;
"Pak, kami minta maaf. Tapi kami menemukan jasad orang tua Anda dalam keadaan tiada."
Sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di pantai ini hingga sekarang, ada orang tuanya yang tinggal di pesisir; yang setiap hari menunggu kepulangan Taehyung sambil bekerja di laut dan berharap dapat makan malam bersama. Padahal sebagian besar hari-hari Taehyung diisi tugas negara yang menjadi penyesalan terbesar ketika tim pencari telah menemukan orang tuanya mati tertimbun di antara pasir dan karang.
Apa pun itu, Taehyung berusaha menerima apa adanya kehidupan yang digariskan. Dia sadar kalau selama ini dia larut dalam pekerjaan sehingga melupakan rumah untuk berkumpul dan berbincang hangat secara terbuka dengan orang tuanya. Jadi, Tuhan menghukumnya dengan mengambil Ayah dan Ibu Taehyung melalui tragedi ini.
"Tolong urus mereka, aku akan datang ke pemakaman nanti."
Air matanya hendak jatuh kala Taehyung menyaksikan sendiri kantong jenazah yang digotong bersama para tim pencari pergi menuju kapal. "Aku pantas membayar semua ini dengan penyesalan," bisiknya pada udara. "Permintaan maafku tidak akan bisa menggantikan rasa sakit kalian. Aku putra yang buruk, bahkan sampai penghormatan terakhir."
Kapal militer lain menambatkan jangkar setelah regu Taehyung tiba di tempat, mengirim derit keras pada rantai yang jatuh lepas ke dasar laut. Tangga pandu telah disiapkan di lambung kiri kapal, satu meter di atas air. Berbekal jumlah pasukan yang memadai, mereka turun dari kapal guna melakukan evakuasi korban ke seluruh kawasan pantai yang terdampak.
KAMU SEDANG MEMBACA
U Ar-My Reason
FanfictionTaehyung, seorang Mayor dari Militer Angkatan Laut Busan yang diharuskan memimpin jalannya proses evakuasi korban pasca bencana gempa bumi dan tsunami di pantai Gwangalli menemukan anak laki-laki kecil berbandul kalung hitam yang nyaris sekarat di a...