"Semua manusia itu sama saja, hanya satu sisi yang bisa mereka cerna. Padahal jauh dari sana, ada duka yang tak terlintas di kepala mereka"
~Surya Ananta
Tubuh kurus tinggi, kulit kuning langsat. Alis tebal menimbulkan kesan angkuh yang sangat kuat, ditambah dengan bola mata berwarna hitam pekat. Menjadikannya sukses mendapatkan gelar ice boy, untuk kesan pertama melihatnya.
Tentu saja, ia adalah Surya Ananta. Putra dari bapak Reno dan ibu Ratna, seorang pengusaha sukses yang bergelimang harta. Semua orang pasti mengidam-idamkan kehidupan seperti Surya. Tampan dan terlahir di keluarga yang kaya raya. Itulah anggapan dari semua orang yang melihat kehidupan Surya dengan sebelah sisi saja, padahal kenyataannya sangat bertolak belaka.
Pyarr!!!
Persegi berwarna bening, kini sukses berubah menjadi kepingan-kepingan kaca. Ditemani cairan merah yang mengalir disela-sela jarinya. Namun itu semua tak meredakan murka yang ia rasa.
"Sial... sial... sial!" Teriakan keluh kesah yang mengisyaratkan kemarahan bercampur dengan kekecewaan.
Tak ada suara lagi setelahnya, ternyata sang tersangka pemecah kaca kini terduduk memeluk lututnya. Warna merah padam sangat terpancar dari raut wajahnya, bahkan tatapan matanya mengisyaratkan perasaan yang tak bisa diterjemahkan oleh kata-kata. Siapa lagi kalau bukan Surya Ananta.
***
Kini fajar kembali menyapa pagi dengan sangat bersinar, menyingkirkan gelap gulita malam dengan cahayanya. Menerobos sela-sela fentilasi udara untuk mengusir gelap disegala sudut dunia, yang berhasil mengusik tidur nyenyak seorang Surya Ananta.
"Hoam,,,"
Suara menguap yang mengisi segala sudut ruangan, kini ia mencoba membuka matanya. Mengusir kantuk yang sebenarnya masih bersemayam di tubuhnya. Dengan menyipitkan mata, ia reflek menatap jam diding di kamarnya. Berwarna biru muda dengan model salah satu tokoh kartun berkantung ajaib, ternyata jam dengan model doraemon itu mampu membuat Surya tersentak dan lari tunggang langgang menuju kamar mandi. Tentu saja, jam itu sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Dimana dapat dipastikan, 30 menit lagi gerbang sekolah akan ditutup.
Lima belas menit sudah ia bersiap di kamar mandi, kini ia keluar dan bersiap secepat mungkin untuk berangkat sekolah. Ditemani sepeda motor kesayangannya, ia menuju sekolah dengan skill seorang pembalap internasional. Sayangnya keberuntungan sangat jauh dari Surya, selisih seperkian detik ia sampai setelah gerbang berhasil ditutup sempurna.
"Pak Narto... Pak bukain pak, saya kan gak lama telatnya pak," bujuk Surya dengan nada bicara memelas.
"Iya bentar... bapak ambil kuncinya," jawaban yang mampu membuat Surya lega dan merasa bahwa keberuntungan masih berpihak kepadanya.
"Tunggu!" Teriakan lantang yang mampu membuat Surya berkeringat dingin dan membuat pak Narto, selaku satpam SMA Trisatya ini memberhentikan langkahnya untuk mengambil kunci.
"Surya! Kamu telat?! Ketua osis macam apa kamu ini? Kenapa bisa telat?"
Introgasi yang lebih menegangkan dari Introgasi seorang polisi. Kini Surya berhadapan dengan ibu Pujianti, wakil kesiswaan yang dikenal sangat tegas dan tidak pernah memandang bulu saat memberi hukuman. Tentu saja ini sangat menegangkan, dengan citra diri seorang ketua osis yang harus ikut terseret dalam pelanggaran ini."Maaf bu, saya tadi malam habis ngerjain tugas jadi bangunnya kesiangan"
"Halah alasan saja! Pokoknya saya gak mau tahu, kamu harus membersihkan gudang olahraga sekarang juga! Saya mau melihat gudang olahraga sudah bersih ketika jam istirahat tiba."
"Iya bu, saya akan membersihkannya"
Siapapun siswa yang berhadapan dengan ibu Pujianti tidak akan bisa berkutik, hanya bisa mengiyakan semua hukuman yang ia perintahkan. Tak terkecuali Surya, meski ketua osis adalah jabatannya dan ia sangat dekat dengan ibu Pujianti disetiap rapat dan kegiatan osis lainnya. Bukan berarti ia akan mendapatkan perlakukan istimewa, ia tetap mendapatkan hukuman yang sepadan dengan siswa-siswa yang melanggar peraturan lainnya.
***
Keringat sudah bercucuran dari pelipisnya, mukanya lusuh dengan debu yang menempel di wajahnya. Sayang, agenda bersih-bersih ini baru mencapai lima puluh persennya saja.
Cklik....
Suara pintu yang mampu membuat office boy sementara itu bekerja dengan sangat cekatan, khawatir ibu Pujianti sedang mengeceknya.
"Eh pak ketos... ngapain di sini?" Sapa Embun dengan nada ceria ciri khasnya.
"Eh kamu, aku kira tadi ibu Pujianti," jawab Surya dengan raut senang dan tawa kecil yang terlukis di wajahnya.
"Wait... jangan bilang habis dihukum ibu Pujianti," tebak Embun disusul dengan tawannya.
Yang ditertawakanpun hanya membisu tak berkata-kata dengan muka masam yang menghiasi wajah tampannya.
"Ternyata ketua osis juga bisa ngelanggar peraturan juga ya," ledek Embun disusul dengan tawanya, mampu membuat Surya semakin geram.
"Udahlah! Lo ke sini mau cari apa?" Tanya Surya, membuat Embun berhenti tertawa dan mengingat tujuannya datang ke gudang olahraga.
"Bola voly," celetuk Embun.
"Itu bolanya," jawab Surya sembari menunjuk tempat di mana bola voly itu berada.
"Bisa bawa semua gak?" tanya surya saat melihat jumlah bola melebihi jumlah tangan gadis itu.
Embun hanya menggeleng, langsung saja Surya membantunya membawakan bola-bola itu ke halaman. Keduanya berjalan beriringan, membuat semua teman-teman kelas Embun menatap mereka dengan tanda tanya.
"Surya membantu Embun?"
"Ada hubungan apa mereka berdua? Sampai-sampai seorang Surya mau membantu Embun"
"Bagaimana mungkin, cowok secuek Surya mau membantu Embun?"
Kira-kira begitu pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di kepala tiap pasang mata yang menatap mereka.
"Taruh sini?"
"Iya, makasih"
"Iya"
Percakapan singkat yang mampu membuat semua siswa yang mendengarnya merasakan patah hati. Berbeda dengan Embun, baginya prilaku Surya ini biasa saja. Bahkan tak sedikitpun terselip rasa baper di hati seorang Embun Naura Derlina.
***
Setelah selesai menyelesaikan hukumannya, kini waktunya untuk beristirahat sembari mengisi perutnya yang belum terkontaminasi dengan makanan apapun sejak fajar menyapanya.
"Bu... Bakso satu pedes sama es lemon. Gak pake lama," pesannya dengan posisi tersandar, agar lelahnya sedikit memudar.
"Iya nak Surya," jawab ibu kantin.
Sekitar sepuluh menit menunggu, pesanannya kini sudah berjejer di depannya seakan-akan merayu. Tentu saja tanpa babibu lagi, Surya langsung menyerbu makanan itu tanpa ampun. Seperti orang yang belum makan seharian, padahal memang benar Surya belum makan seharian karena tadi pagi ia belum sempat sarapan.
~○~○~●~○~○~●~○~○~
Seorang Surya Ananta. Pemuda yang sangat terbiasa dengan kehidupan yang mandiri, bahkan diusianya saat ini ia sudah menjadi pengusaha disalah satu kafe ternama di Bandung. Dengan jabatan yang ia punya, ia harus pandai-pandai membagi waktu. Itu saja belum termasuk dengan waktu belajarnya di malam hari dan ia juga salah satu anggota kepramukaan seperti Embun dan Reina. Dia termasuk anggota yang bisa diandalkan, namun itu dulu. Kini semuanya sudah berbeda, entah apa yang terjadi dibaliknya yang pasti kini Surya sudah tidak se-aktif dulu.
Holaa readers♡....
Aku balik lagi nih:)
Penasaran gak sih sama masalah apa yang dipendam sama Surya? Kalau penasaran tungguin cerita aku ya♡♡Jangan lupa vote dan coment, sederhana sih tapi itu bikin aku tambah semangat buat nulis hehehe:)
Happy reading ya♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Embun
Teen FictionCeria, satu kata yang mampu menggambarkan seorang gadis berprestasi dengan sosok yang lembut dan anggun. Embun Naura Derlina namanya. Gadis dari keluarga sederhana namun memiliki prestasi dan karakter yang luar biasa. Lika liku kehidupan masa remaja...