XXIII

1.2K 197 61
                                    

Langit yang sedikit mendung menyambut kedatangan Haechan dan Arruna ketika sampai di halaman parkir cafè. Runa yang tengah mengoperasikan ponselnya lantas tak sadar bahwa sepeda motor yang dikendarai Haechan telah berhenti. Hampir dua puluh hitungan detik, gadis itu tak juga bergeming dari posisi duduknya.

"Runa," panggil Haechan, mengalihkan fokus gadis itu.

"Eh, iya? Kenapa, Mas?"

"Kamu mau di motor aja nggak turun?"

"Hah?"

Runa memasang raut wajah bingung ketika kalimat Haechan itu terlontar.

"Kita udah sampe."

Sontak gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitar lantas terkekeh pelan, "aduh maaf, ya, Mas. Tadi Runa lagi serius ngebacain chat."

Runa kemudian langsung turun dari sepeda motor Haechan dan melepas helm yang semula terpasang di kepalanya.

"Chat dari siapa, sih? Penting banget sampe bikin nggak fokus gitu?" Tanya Haechan dengan nada yang sama sekali tak enak untuk didengar; membuat senyum Runa sontak menghilang.

"Tadi aku cuma baca chat dari grup KKN, Mas."

"Kamu lagi sibuk? Kalau sibuk bilang aja, nggak usah maksain. Jadi aku nggak usah ngajakin kamu ke luar gini dan gangguin kesibukan kamu."

Haechan membuang pandangannya ke depan. Menggerakkan tangannya untuk membuka pengait helm yang tengah ia gunakan.

"Mas kok gitu?" Lirih Runa pelan.

Haechan mengembuskan nafas kasar. Sejak pesan misterius beberapa hari lalu mendarat di deretan ruang obrolan pada ponselnya, ia merasa jadi sedikit gampang terpancing untuk uring-uringan tak jelas. Ia menatap gadis di hadapannya yang kini sedikit menunduk, mungkin terkejut dengan sikap Haechan malam itu. Lantas tangannya sigap meggantungkan helmnya di spion.

"Ayo ke dalem. Di sini dingin."

Tak ingin berlarut dengan emosinya yang demikian, Haechan menggandeng tangan Runa dan melangkah masuk ke dalam cafè.

"Mau duduk di mana?" Tanya Haechan.

"Terserah Mas aja."

Haechan memejamkan mata sekilas, menahan amarahnya, sebelum akhirnya mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Menemukan spot favoritnya masih kosong, Haechan kemudian melanjutkan langkahnya ke arah meja dekat jendela besar di sisi kanan.

"Run," panggil Haechan setelah seorang pelayan selesai menuliskan pesanan mereka.

Suara lelaki tadi pelan tapi masih terdengar oleh lawan bicaranya. Terlihat dari pandangan Runa yang semula tertunduk menjadi terangkat menatap lelaki bermanik almond itu.

"Kenapa, Mas?"

"Maaf, kalau tadi aku kasar ngomongnya."

Runa tersenyum tipis, "iya, nggak apa-apa."

Haechan mengacak puncak kepala gadis itu, ikut tersenyum ketika merasakan hatinya yang menghangat.

"Tapi, Mas, Runa boleh nanya?"

"Nanya apa?"

"Um, Mas Haechan lagi ada masalah, ya?"

Haechan terdiam sejenak sebelum kembali bicara, "emang keliatannya gitu?"

Runa mengangguk, "nggak biasanya Mas jadi agak uring-uringan gini."

"Ya, sebenernya ada sih yang lagi aku pikirin."

"Mas," sedikit ragu, Runa menggenggam tangan Haechan. Gadis itu agak menyesali tindakannya barusan ketika dirasa debaran jantungnya yang mendadak meningkat. Haechan hanya menatap gadisnya, menunggu apa yang akan diucapkan.

Alur - [Haechan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang