XIV

2.6K 411 39
                                    

Kehilangan nafsu makan, Haechan hanya mengamati semangkuk sup ayam di hadapannya. Udara yang memenuhi ruang makan kini justru terasa mencekik rongga pernafasan. Tanpa sedikitpun mengerjap, manik almondnya bergulir ke arah jam dinding di sisi kanan ruangan.

Another bad day comes again.

Sejak semalam, laki-laki itu gusar. Membayangkan kemungkinan paling buruk dari banyak kemungkinan buruk yang berputar-putar di kepalanya.

Kegusarannya itu sangat kentara, sampai perempuan paruh baya yang duduk di hadapannya menyadari bungsunya itu sedang tidak baik. Namun, beberapa menit berlalu dengan Bunda yang bergeming, membiarkan lengang dan dingin yang terasa mematikan itu merasuki ruangan yang biasanya terasa hangat.

Mau bagaimana lagi, keputusan sang Bunda sudah bulat sepertinya.

"Jam delapan kita berangkat, ya."

Haechan mengangkat pandangannya yang sempat tertunduk, "ya."

"Dimakan dulu supnya."

"Belum laper, Bun." Tubuh Haechan mendorong kursi yang didudukinya ke belakang, lantas berdiri dan melangkah meninggalkan ruang makan, "Echan mau manasin motor."

Laki-laki itu memijat pelipisnya yang terasa sakit. Entah karena ia yang semalaman belum tidur atau karena hal yang lebih abstrak; beban pikiran yang sedang mengganggunya.

Entah apa dan siapa yang salah, entah apa dan siapa yang harus Haechan salahkan atas semua yang tengah terjadi. Berusaha tidak merutuki keadaan, Haechan hanya kembali mengembuskan nafas beratnya. Mencoba melegakan hati yang tak bisa tenang barang sedikit.

Kejadian malam tadi masih terngiang jelas di pikirannya.

"Echan nggak mau, Bun. Echan udah nggak sayang sama Kara."

Haechan mengembuskan nafas sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Buat Echan, Kara sekarang cuma temen baik Echan. Nggak lebih."

Dengan emosi tertahan, kalimat yang ke luar dari mulut Haechan menjadi terdengar penuh penekanan. Tak habis pikir dengan jalan pikiran sang Bunda yang mengubah semua hal menjadi sangat rumit di mata Haechan.

"Jangan bantah. Ini keputusan terbaik buat kamu."

Haechan menggeleng pelan.

"Bun, tolong dengerin Echan sekali ini aja."

Haechan meraih tangan Bunda, menggenggamnya erat. Bunda bergeming sebelum akhirnya berdeham singkat.

"Kamu mau ngomong apa?"

Haechan mengembuskan nafas. Sedikit mendongak, ia menahan sesuatu yang sejak tadi mendesak ke luar dari balik kantung matanya.

"Mungkin terlambat kalau Echan baru cerita sekarang. Tapi Echan mau kasih tau Bunda, Echan pernah mimpiin Ayah beberapa bulan lalu, di mimpi itu Ayah bilang sama Echan buat jaga Runa, Bun."

"Bunda tau? Sebelumnya Echan belum sepenuhnya nerima Runa. Tapi keyakinan itu seketika dateng setelah mimpi itu---"

"Kamu mau Bunda ngubah keputusan Bunda cuma karena itu? Mimpi itu bunga tidur, Chan. Nggak ada hubungannya sama kenyataan. Jangan nyari alasan kayak gini buat maksain ego kamu nerusin perjodohan ini," sela Bunda.

"Terus apa bedanya Haechan sama Bunda? Bunda juga maksa ego Bunda buat batalin perjodohan ini 'kan?"

"Haechan!"

"Bunda cuma nggak bisa berdamai sama kenyataan kalau Ayah udah nggak ada. Bun, Ayah pasti sedih kalau tau Bunda nyalahin orang lain gini."

"Nyalahin gimana maksud kamu? Jelas-jelas kalau aja Pak Afandi nggak mecat Ayah waktu itu, Ayah nggak akan---"

Alur - [Haechan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang