Sang Pemetik Gitar

162 16 2
                                    

𝓙𝓪𝓷𝓾𝓪𝓻𝓲
.
.
.
.

𝓙𝓪𝓷𝓾𝓪𝓻𝓲

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





🌻🌻🌻

Biasanya banyak anak muda yang jalan jalan dan pergi kesana sini saat Malam minggu. Tapi tidak dengan Januari. Pemuda itu malah duduk di balkon kamarnya seraya memainkan gitar.

Bukan galau, tapi itu memang sudah menjadi kebiasaan Januari. Dia sangat senang menikmati suasana malam dengan genjrengan gitarnya. Rasanya sangat menenangkan.

Tapi untuk malam ini, Januari juga ditemani sebatang Rokok yang tadi dia nyalakan. Entah ada gerangan apa tapi Januari sedang ingin saja sebat, mumpung Mba Kayla tidak ada di rumah.

Hilal dan Naren juga sudah tidak ada di rumahnya sejak satu jam yang lalu. Tadinya Januari diajak mereka untuk pergi, tapi Januari tolak karena Dia sedang tidak ingin keluar rumah hari ini.

"How could a heart like yours, ever love a heart like mine"

Suara barinton milik Januari mengalun indah bersama bunyi gitar yang sedang dia mainkan. Lagu dengan judul Heart like yours milik Willamette Stone menjadi pilihannya malam ini. Akhir-akhir ini lagu itu sering dia mainkan.

Januari berhenti sejenak dari aktivitas bermain gitarnya. Dia beralih menghisap nikotin yang sudah membuat dia kecanduan semenjak masuk SMA.

"Kalo permen lebih manis kenapa harus rokok?"

Kepala Januari menoleh kebelakang, tepatnya kedalam kamarnya yang sudah menampilkan Irama di ambang pintu Balkon. Dia baru ingat kalo perempuan itu masih ada di rumahnya.

Tatapannya beralih kembali menatap langit malam diatas sana. Januari sedikit tidak suka bila ada Irama disini tapi dia lebih tidak suka lagi kalo Irama tidak ada.

Perempuan itu sudah duduk disamping Januari dan ikut menatap langit. Sesekali Irama dibuat batuk oleh asap rokok yang beterbangan di sekitarnya.

"Kalo ada yang lain kenapa harus gue?" Niat Januari hanya satu, membalikkan Pertanyaan Irama tadi.

Beberapa saat bibir Irama tertutup rapat. Pergerakannya sedikit kaku menerima pertanyaan dadakan seperti itu dari Januari. Bahkan dia sendiri pun tidak tau kenapa harus Januari.

"Sebuah rasa tanpa alasan adalah yang paling tulus. Aku gak punya alasan kenapa harus Kak Januari. Kalo bisa pun, aku inginnya bukan Kakak"

Manik Januari sedikit menggelap kala mendengar jawaban panjang Irama yang diakhiri senyuman. Cepat-cepat dia mengalihkan tatapannya dari mata Irama. Semakin dalam dia menatapnya, Januari semakin dibuat terbuai.

"Seperti yang aku bilang tadi, perasaanku itu tulus. Aku tidak punya niat untuk memiliki Kak Januari seutuhnya."

Helaan napas keluar dari bibir manis Irama. Gadis itu berujar mengenai rasanya seraya menatap Bulan diatas sana, sendiri tanpa Bintang.

"Aku pernah lihat salah satu video Mario Teguh. Dia bilang Cinta itu seperti satu ruang, kalo salah satunya tidak memiliki rasa namanya bukan cinta melainkan hanya sebatas perasaan yang kita miliki sendiri. Jadi perasaanku ini milikku sendiri, tanggung jawab aku. Kak Januari tidak ada sangkut pautnya dengan perasaan ku, karena Kak januari tidak memiliki perasaan yang sama."

"Lagipula Kak Januari tenang aja, aku sedang berusaha secepat mungkin untuk menghapus perasaan ini"

Diakhir kalimatnya Irama mengembangkan senyum dan menatap Januari yang enggan menatapnya kembali. Binar dari manik mata Irama tersirat sendu dibalik senyumnya yang manis.

"Maaf"

Tidak ada kata lain selain kata maaf yang terlintas di benak Januari. Pemuda itu sekarang sedang bertengkar hebat dengan hatinya sendiri. Januari selalu terkenal akan hati bimbangnya.

"Seharusnya aku yang minta maaf karena selama ini udah buat Kak Januari risih."

Mulut Januari bungkam seribu bahasa setelah mendengar ucapan Irama malam ini. Dia tidak pernah mengira kalimat yang keluar dari mulut Irama dapat membuat hatinya terasa perih.

Suasana di Balkon kamar Januari menjadi sangat muram. Suara semilir angin menjadi pengisi diantara kekosongan dua insan yang salah satunya didamba.

"Ra---"

"Oh iya tadi aku kesini cuman pengen bilang kalo Mas Jaefan juga pergi. Katanya Kak Januari kalo pengen keluar jangan lupa kunci rumah terus juga chat Mas Jaefan sama Mba Kayla"

Suara getir dan sedikit terburu-buru menjadi temeng sendiri bagi Irama. Dia sengaja memotong ucapan Januari. Dia terlalu takut untuk mendengar ucapan yang akan Januari katakan. Irama tidak ingin menambahkan luka dihatinya malam ini.

"Aku tadi cuman mau sampein itu aja si, tapi malah ngelantur kemana mana hehehe.... Yaudah kalo gitu aku pulang dulu ya kak"

Irama beranjak dari duduknya, berniat untuk pergi dari sana dan menangisi malam ini dengan Irama indahnya.

"Gue anter" Berdiri dari duduknya, Januari menatap balik manik Irama yang juga menatapnya.

"Gak perlu Kak, deket ini kok rumahku"

Tanpa merespon ucapan Irama, Januari lebih dulu jalan mendahului gadis itu. "Buruan" ujarnya tanpa menoleh.

Dari belakang senyum manis Irama lagi lagi terpatri indah. Menatap punggung yang sedari dulu tidak bisa dia gapai rasanya sangat memabukkan sampai membuatnya kecanduan.

Baru kali ini Januari mengantar Irama pulang secara sukarela. Sudah pasti rasa senang sekarang sedang mengerogoti diri Irama. Namun tetap saja, Irama akan menangisi malam ini dalam diamnya. Entah tangis sedih atau tangis bahagia.

Irama tetaplah Irama yang selalu indah walau sang Pemetik Gitar tidak selaras dengan Iramanya.







🌻🌻🌻

Maaf kalo jadi melow gini :)
Aku minta Vote nya ya wak

𝓙𝓪𝓷𝓾𝓪𝓻𝓲

𝓙𝓪𝓷𝓾𝓪𝓻𝓲

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Januari, Lee Jeno. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang