Bagian 4

25 7 0
                                    

Plak.

"Brengsek kamu, ke mana aja? Ditunggu dari tadi, sektor korvemu masih berantakan. Sudah berani macam-macam kamu!" bentak Bang Cahyo—senior dua tingkat di atasku.

"Siap, salah!"

"Danton ngomel ke Abang katanya kamu diperintah bersihkan sektor kebun tapi nggak beres. Dari mana kamu?"

"Siap, saya diperintah beli garpu taman, Bang."

"Sana, ke kolam lele, basahkan badanmu!"

"Siap."

Basah badan adalah ritual sanksi senior terhadap juniornya. Setiap junior yang salah jika perintahnya basah badan sudah pasti kami-kami wajib mencari sumber air, air apa pun yang penting bisa membasahi tubuh sekalipun air got.

"Tunggu dulu," tegur seseorang di balik pagar kebun.

Aku menoleh. Bang Rudi datang dengan pakaian kotor, mungkin habis membersihkan sektor korvenya.

"Istriku sudah aman? Mobilnya gimana?" tayanya padaku.

Bang Cahyo hanya diam melihat kedatangan Bang Rudi. Bang Rudi lebih senior darinya.

"Siap, sudah kembali ke kantornya, Bang."

"Iya, tadi Abang nggak bawa HP, dia nelepon berkali-kali. Terima kasih, ya, sudah bantu istri Abang. Dia kirim fotomu lagi delosor di bawah mobil bantu pasang ban."

"Siap."

"Yo, biar aja Kas lanjutkan kerjaannya sendirian di kebun, nggak perlu basah. Nanti Abang yang back up kalau Danton tanya. Tadi dia bantu istri Abang ganti ban di depan asrama."

"Siap, Bang," jawab Bang Cahyo. Untunglah.

Sebuah tamparan mendarat di wajah tak mengapa bagiku. Sudah biasa. Rasa perih di wajah sudah hilang sejak otakku membayangkan sebahagia ini dipotret diam-diam sama jodohnya orang. Berarti tadi aku tidak sedang GR, nyata bintang hatiku mengambil gambar diam-diam. Bukankah itu romantis? Iya, bagiku dia romantis, baginya aku apatis. Memaksakan hati melawan logika hingga terjalin simbiosis. Bukan komensalisme apalagi mutualisme, melainkan parasitisme membentuk pergerakan taktis. Menghapus tangis menyajikan senyum meringis.

**

Menjelang sore ....

Sama sekali tubuhku belum beranjak dari kegiatan korve kebun. Sektorku lumayan luas dan kukerjakan sendiri. Walau hatiku agak cacat, menyukai istri orang, namun soal korsa terhadap perintah atasan aku begitu penurut. Bagiku perintah adalah tumpah darah seorang prajurit. Tadi, sambil membasmi rerumputan yang meninggi, tanaman kangkung dan jagung kulihat sudah bisa dipanen. Tidak banyak tapi lumayan untuk lauk makan. Bukan, bukan aku yang memasak, aku tidak bisa. Dalam pikiranku, kangkung dan jagung kubawa ke rumah Venda lalu dirinya memasak untukku.

Ting ....

Ponselku bersuara tanda pesan WA masuk. Di layar ponsel terlihat nama Bang Rudi.

"Posisi?"

"Siap, masih di kebun, Bang. Petunjuk?"

"Sudah sore, bereskan alat kebun balik ke barak. Habis magrib mampir ke rumah sebentar. Penting!"

"Siap."

Mesam-mesem lagi. Hatiku merekah setiap mendapat perintah datang ke rumah Bang Rudi. Seakan semesta berubah, bisa kulukis bebas wajah Venda di langit.

I Love You, Mbak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang