Hari sudah berganti namun dia masih milik orang lain. Sampai kapan dan apakah mungkin menjadi milikku? Waktu yang bisa menjawab. Aku hanya menikmati setiap detiknya saja.
Setelah apel pagi, aku diperintah membeli gorengan di seberang asrama. Ada warung gorengan di sana. Konsumsi gorengan untuk anggota yang korve hampir setiap hari menjelang acara kunjungan panglima. Aku tidak terlibat di acara itu namun selang satu hari harus naik jaga kesatrian. Kalau pun tidak jaga, ya, ikut korve tanpa mengenal waktu. Maklum masih junior.
Saat sedang duduk di warung gorengan menunggu pesananku selesai digoreng, jodoh orang kembali muncul di depan mata. Ah, memang jodoh nggak akan ke mana sekalipun masih menjadi milik orang. Venda menyeberangi jalan seorang diri, sudah rapi mengenakan seragam cokelat pemerintahan menenteng tas.
"Mbak, mau ke mana?" Aku menegurnya. Sebenarnya agak sungkan, tapi tak apa, makin ke sini sudah makin terbiasa layaknya kakak adik. Wkwkwk ... itu menurutku.
"Mau berangkat kerja, Om."
"Tumben jalan kaki, mobilnya mana?"
"Sebel." Bibirnya maju 5 senti. "Semalam itu mobil ditumpangi sama ayam jago. Bang Rudi bawa ayam ke rumah temannya. Memang dasar ayam sama majikan nggak punya otak, buang hajat di dalam mobil."
Ya ampun, Mbak, makin gemes kalau lagi ngembek gini.
"Terus sekarang Mbak ke kantor naik apa?"
"Pesawat lewat sini nggak ya, kalau nggak, ya, naik angkot aja."
Ada saja kalimatnya yang membuatku tertawa. Andai boleh, ingin kukacak rambut panjangnya. Mencubit cuping hidungnya yang mancung kemudian ... mencium ... keningnya.
"Abang nggak nganter, Mbak?"
"Ogah. Lagi ngambek sama dia. Tuh lagi beresin isi mobil. Pesawat lagi nggak ngider arah sini kali ya, ya udah aku naik angkot aja. Nah tuh kebetulan ada yang lewat." Tangannya melambai ke arah jalan. Angkot berhenti, Venda naik ke dalamnya.
Hati-hati di jalan, Mbak, kabari kalau udah sampe kantor. Mmuuaacchh.
**
Di tengah kegiatan korve yang memakan waktu sampai matahari meninggi, anggota diberi istirahat. Beberapa yang sudah berkeluarga pulang ke asrama, sedang yang bujang kebanyakan meleseh di bawah pohon sekadar menikmati angin segar.
Aku melihat ponsel, 10 panggilan tak terjawab, tertulis nama mamak sayang di sana. Padahal pernah kuberi pengertian kedua orang tuaku, jangan menghubungi siang hari, pasti jarang aku angkat. Pernah 30 panggilan tak terjawab, aku kira penting, waktu itu kebetulan kegiatan jam komandan. Semua anggota wajib silent HP, kegiatan fokus pada pengarahan komandan. Aku mencoba menghubungi mamak kembali, ternyata hanya menanyakan aku sudah makan siang atau belum. Kali ini ada 10 panggilan, pasti menanyakan sesuatu seperti pesan singkatnya semalam.
"Halo, Mak, ada apa?"
"Owalah, Le, kamu dari mana aja toh, telepon Mamak nggak kamu angkat!"
"Namanya tentara, Mak, nggak selalu pegang HP."
"Piye, Le, wes nemu jodohmu? Kapan dibawa pulang? Bapakmu takon terus, lha wong adekmu dadak minta kawin, terus piye kamu kakaknya saja belum kawin masa mau dilangkahi adekmu."
"Mak, aku ini tentara masih junior, ya, belum boleh nikah."
"Terus kapan boleh nikah? Selak buyut jenggoten kamu nanti, Le."
"Nanti Mak kalau sudah waktunya. Sabar dulu nggeh."
Blablablabla. Blablablabla.
Aku menjauhkan telepon dari telinga. Begitulah mamak, kalau sudah nyerocos nggak bisa berhenti apalagi masalah jodoh. Kedua orang tuaku tidak memiliki latar militer sama sekali, wajar jika mereka tidak tahu aturan militer. Mereka pikir setelah aku selesai pendidikan dan dinas aktif, segala kemapanan duniawi ada di genggamanku. Padahal bukan begitu. Mereka sangat bangga, seorang petani memiliki anak berprofesi sebagai tentara. Nanti pulang kampung memakai seragam loreng berikut membawa anak istri. Mulut mamak-mamak memang segampang itu.
"Le, Tole, yowes kamu jangan lupa makan."
"Iya, Mak."
"Jangan lupa golek jodoh yang bener, nggak usah cantik sing penting bisa ngeramut kamu."
"Iya, Mak."
"Janji yo, Le?"
"Iya janji."
"Kamu selalu ingkar janji, kok."
Aku meringis.
**
Saat asyik menikmati angin sepoi di bawah rindangnya pohon dekat peleton, sebuah panggilan keras mengagetkan.
"Woi, Pot, cepat ke barak," tegur Dani.
Aku langsung bangun dari baring sesaat. "Ada apa?"
"Sudahlah, cepat ke barak." Dani berlari ke arah barak. Aku mengikutinya dari belakang.
Sampai di barak, Dani menunjuk kondisi meja di samping tempat tidurku yang lacinya sudah terbuka. Isinya berantakan. Semua gambarku tentang Venda terhambur ke lantai.
"Aku yakin bukan kucing yang hambur lacimu. Mana mungkin kucing bisa buka laci," ujar Dani.
Aku mengangguk. Lantas siapa pelakunya, jika hanya leting yang membongkar tak mengapa. Bagaimana jika senior, lalu berasumsi negatif tentang gambar yang aku buat.
"Kapan kamu masuk barak?" tanyaku penasaran.
"Barusan. Sudah dalam keadaan terhambur."
"Tadi pagi nggak ada orang lagi di sini?"
"Nggak ada, Pot. Semua anggota korve. Sudah aku ingatkan sama kamu, sudahi kegilaanmu itu. Walau kamu samarkan wajah di gambarmu, tetap aja siapa pun bisa nebak siapa yang kamu gambar."
Aku menghitung satu-satu gambar yang sudah selesai. Harusnya berjumlah 15 lembar, namun sekarang tinggal 13. Beberapa dari 13 ini kondisinya tercabik-cabik.
Biarlah setelah ini akan terjadi apa. Ini konsekuensi dari mencintai milik orang lain. Jika beberapa letingku mengatakan masih banyak di luar sana wanita cantik, bagiku Venda tetap pemenang hatiku. Tidak bisa disanggah, semua terlanjur menggugah. Sekalipun sakit berujung nestapa, tetap tegak aku melangkah.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Mbak!
RomanceAdalah aku, seorang prajurit rendahan yang baru menyelesaikan masa orientasi di detasemen tak sengaja bertemu dengan Venda, istri senior. Berawal dari lirikan biasa, sering bertemu sampai memunculkan variasi rasa terindah sepanjang masa dalam hati...