Setelah apel, dilanjut lari membawa ransel protap. Setelahnya lagi, anggota diberi kelonggaran waktu. Seperti biasa, aku mendapat pembagian korve di sektor kebun. Agak sedih, kegiatan korve membuatku tidak bisa melihat keluar masuknya Venda dari asrama.
"Kas, pergi beli garpu taman di Toko Tani Gunung Sari," perintah Danru sambil menyodorkan beberapa lembar uang. "Bawa motor yang ada di garasi peleton."
"Siap."
Bergegas keluar asrama mengendarai motor matic menyusuri jalanan ramai. Sampai di Toko Tani, aku segera masuk mencari garpu taman. Toko Tani terkenal satu-satunya toko yang menjual perlengkapan berkebun paling lengkap di Kota Bontang. Berjajar rak-rak berisi alat-alat kebun. Tidak cuma alat kebun, beberapa jenis ikan hias juga dijual di sini.
"Sssttt ...."
Suara apa itu, seperti suara dengusan. Kuletakkan gunting taman yang kupegang-pegang di rak. Aku menoleh mencari sumber suara. Ohmegat ... layaknya siang bertemu malam di antara senja. Senyumnya di balik rak begitu manis. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Tak meminta, rezeki selalu datang tiba-tiba. Oh pujaan hatku ... Venda.
"Beli apa, Om?" tanyanya. Dia berjalan mendekatiku yang semula berada pada jarak 2 rak berukuran panjang 1 meteran.
"Beli garpu taman, perintah Danru." Mataku tak lepas mencuri keindahannya.
"Garpu taman di sana, ini kan gunting taman."
"Iya, Mbak nanti saya ke sana. Lagi lihat-lihat gunting taman dulu. Mbak sama siapa ke sini?"
"Nah gitu kan enak manggilnya Mbak bukan Kak. Sori, ya, kemarin aku adukan ke Bang Rudi, supaya Om ubah sikap. Om sama siapa?"
"Sendiri, Mbak. Mbak sendiri juga?"
"Sama teman, kebetulan beli kue untuk acara di kantor mampir bentar ke sini, mau cari ikan."
"Ikan? Bukannya di pasar, Mbak?"
"Ikan hias, Om. Pengen pelihara ikan. Bosan, di rumah Bang Rudi sibuk ngelus ayam, ya, aku juga pengen pelihara hewan. Untung ayam jago yang dielus, coba ayam betina mungkin sudah jatuh cinta mereka sejak lama."
Aku tersenyum. Selera humor Venda di atas rata-rata. Ini belum seberapa, kalau aku berada di rumahnya, banyak tingkah-tingkah konyol yang dia lakukan. Itulah mengapa kekurangajaranku susah move on.
"Sudah dapat ikannya?"
"Udah. Itu udah dibawa ke kasir, tinggal bayar aja."
Aku mengangguk. Jujur, kalau berada dekat begini justru aku tak bisa banyak bergelut. Seakan membeku, tulang-tulangku melunak, luluh lantak oleh rasa yang tak bisa terlukis. Venda mengalihkan pandangan ke rak gunting taman. Tangannya mengelus bagian besi panjang gunting.
"Ups ... tajam," keluhnya.
Sontak aku kaget, takut tangannya terluka. "Sudah tau tajam, kenapa dipegang, Mbak?"
"Cuma ngetes, aku kira benda paling tajam itu lidah tak bertulang, ternyata gunting taman pun tajam. Iihh ... ngeri, ah."
Wuuusss ... angin cinta, gemes. Sudah kubilang, beginilah cara Venda bersikap, gimana aku mau move on?
"Kalau gitu jangan dipegang lagi, Mbak."
"Ho'oh, jangan pegang sembarangan Om, benda di sini mirip mulut emak-emak, tajam. Ya udah, aku duluan, ya, see you," pamitnya begitu ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Mbak!
RomanceAdalah aku, seorang prajurit rendahan yang baru menyelesaikan masa orientasi di detasemen tak sengaja bertemu dengan Venda, istri senior. Berawal dari lirikan biasa, sering bertemu sampai memunculkan variasi rasa terindah sepanjang masa dalam hati...