Turun jaga kesatrian diberi waktu istirahat walau besoknya tetap apel dan lanjut kegiatan seperti biasa. Paling tidak ada waktu menyalurkan hobi. Hobiku agak aneh dari leting lain. Jika ada waktu longgar, leting cenderung keluar asrama mencari angin segar, sedangkan aku suka menggambar. Sementara ini aku lebih suka menggambar di atas kertas A3 biasa, walau sejujurnya aku lebih suka melukis di kanvas. Tidak mungkin sekarang aku melukis di kanvas, berhubung junior sepertiku masih tinggal di barak bujangan agak pusing menyimpan kanvasnya di mana.
Selain itu juga, berbahaya jika gambar-gambarku diketahui banyak orang. Gambar siapa? Apa yang digambar? Ya jelas, objek terindah yang membuat mataku tertegun sejenak ketika memandangnya. Aku suka membuat gambar sketsa wajah Venda. Terkadang sebagian wajah sengaja kusamarkan agar tidak seorang pun tahu siapa objek gambar itu. Aku mendapatkan wajah Venda ketika para ibu-ibu Persit melaksanakan kegiatan olah raga bersama yang letaknya tepat di seberang barak bujang.
"Pot, ayo, keluar beli nasi goreng depan pos," tegur Seno—letingku. Pot merupakan panggilan keakraban antara leting. Terkadang kami memanggil nama langsung, lebih sering memanggil dengan sebutan Pot.
"Nggaklah, sudah kenyang makan jatah bujang."
"Lagi apa kau?" Seno mendekat. Buru-buru kusimpan kertas gambar yang sudah tergores sebagian wajah di sana.
"Mainan pensil, sudah sana kau beli makan!"
"Mainan cewek, enak, lah kamu mainan pensil kayak anak SD aja. Ayolah, ke depan!"
"Nggak usah, aku sudah makan."
Sebuah tangan lain tiba-tiba merebut kertas yang kukempit di area ketiak.
"Apa kau main rebut aja, kembalikan!" bentakku pada Dani. Dani juga letingku, tempat tidurnya tepat di sebelah tempat tidurku.
"Gambar siapa lagi kamu?" Dani memperhatikan saksama gambar yang setengah jadi itu. Selama ini yang selalu menaruh curiga tentang gambar itu, ya, cuma Dani. Seperti nggak asing dengan wajah ini, katanya waktu itu.
"Gambar cewek di google," sanggahku.
"Halah, kayak aku nggak tau aja."
"Jadi ke depan nggak? Kalau ngaak, aku pergi sendiri." Seno masih menunggu, aku dan Dani menggeleng bersama kemudian Seno beranjak pergi.
"Pot, coba jujur, siapa yang ada di gambarmu ini? Aku yakin nggak asing sama gambarmu."
Kurebut kembali kertasku. Dani berbaring di atas kasurnya memandang langit-langit.
"Ini wajah yang ada di Google. Aku iseng aja gambarnya."
"Bau kebohongan!"
"Terserah kamu. Lebih baik aku begini daripada ikut-ikut senior main ke tempat hiburan malam."
"Wajah wanita yang kamu gambar mirip—"
"Siapa?" Kupotong saja kalimat Dani. Aku menoleh ke arahnya kemudian ke segala arah, memastikan tidak ada lagi orang. Aku takut Dani menyebutkan nama itu dengan nada keras.
"Mirip salah satu ibu Persit di asrama."
Kusimpan gambarku dalam laci meja. Aku ikut berbaring di kasurku sendiri. Dengan jarak satu rentang tangan, aku dan Dani layaknya pasangan romantis memandang bintang bersama. Padahal cuma plapon barak.
"Menurutmu siapa yang aku gambar?"
"Istri Bang Rudi. Ya kan?"
Makdeg!
"Aku cuma iseng gambar, salurkan hobi aja."
"Kenapa harus istri orang? Kenapa bukan wajahku, wajah janda penjual gado-gado seberang aula, atau gadis telanjang yang ada di Google."
"Kenapa bisa kamu sebutkan kalau itu istri Bang Rudi?"
"Aku tau itu wajah istrinya Bang Rudi. Nggak usah ngelak kamu!"
"Aku suka dengannya."
"Bangkek, kau!"
"Kenapa?"
"Jangan gila, sebelum semuanya terlanjur jauh, tolonglah kamu sadar!"
Ribuan saraf motorik ditambah sensorik dalam tubuh sudah sadar sejak awal mula aku bertemu Venda di acara penyambutan anggota baru yang notabene waktu itu menyambut kedatangan letingku yang berjumlah lima orang. Dia begitu anggun mengenakan seragam hijau pupus, berdiri berjajar dengan anggota Persit lainnya. Waktu itu mataku langsung tertuju padanya, pun hatiku, tiba-tiba jatuh, jantung berdegup saat mataku dana matanya bertatapan.
"Heh, ngelamun jorok kau!" Telapak tangan Dani melayang di wajahku. Ampun dah, kubalas tamparan juga ke wajahnya.
"Sudahlah, nggak usah urusi hidupku."
"Kita ini leting, kalau salah satu dari kita ada yang salah, jelas saling mengingatkan."
"Aku ingat aku salah, sudah kan! Toh aku cuma gambar, nggak ganggu kehidupan rumah tangga mereka."
"Ini masalah bom waktu, Pot. Cepat atau lambat, bisa jadi bumerang untuk kamu sendiri."
"Hemm ... sudahlah, jangan ganggu, ngantuk aku mau tidur dulu siapa tau mimpi enak. Mimpi nyium istri orang."
"Bangkek!" Dani melempar baju kaos yang dilepasnya dari badan. Suhu di barak bujang memang cukup gerah, seringkali penghuninya tidur tanpa kaos setiap malam.
Persetan dengan Dani. Dia leting paling dekat denganku, aku yakin mulutnya tidak sebocor perempuan. Sejak awal aku memang bercerita dengannya kalau aku mengangumi seorang wanita. Dia biasa aja waktu itu, namun ketika ceritaku merambah menyebut siapa wanita yang aku kagumi, dia meninju wajahku. Tidak sakit tinjuannya selama setelahnya yang ada dalam bayanganku hanya Venda. Setdah!
**
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Mbak!
RomanceAdalah aku, seorang prajurit rendahan yang baru menyelesaikan masa orientasi di detasemen tak sengaja bertemu dengan Venda, istri senior. Berawal dari lirikan biasa, sering bertemu sampai memunculkan variasi rasa terindah sepanjang masa dalam hati...