Gadis kecil itu tersenyum ke arah Heeseung. Mata coklat terangnya memantulkan kehangatan pada hatinya. Senyuman tipis tersungging di bibir manis berwarna merah muda. Tangan kanannya mengaitkan boneka kelinci yang ukurannya hampir menyamainya. Sedang tangan kirinya melambai-lambai pada Heeseung yang masih melukis objek indah ciptaan tuhan yang terpampang untuknya.
"Yoona, jangan berdiri terlalu ke tengah!" suruhnya sambil tertawa renyah.
"Ah wae Heeseung oppa? Lagi pula kan tidak ada mobil lewat di daerah ini." bibir mungilnya mengerucut gemas sekali.
"Yah, kau harus dengarkan kata-kata oppa. Atau nanti oppa yang akan dimarahi ayah dan ibu kalau terjadi apa-apa denganmu. Paham?"
Gadis kecil itu hanya mengangguk kecil seraya tersenyum lebar menunjukkan gigi kelincinya yang sedikit keropos karena sering memakan permen. Tapi itu sungguh tidak menghapus kecantikan dan keimutannya. Heeseung membalas senyuman manis itu.
Guratan-guratan tipis dicoretkan lagi oleh Heeseung guna menyempurnakan rambut panjang gadis itu yang terurai lembut. Namun, tak ada sepuluh detik mata Heeseung berpaling darinya, tiba-tiba....
Braaakkkkkkk....
Suara hantaman keras dari sisi depan mobil yang melaju sangat kencang bertabrakan dengan tubuh mungil gadis itu. Menyebabkan badannya terpental beberapa meter dari tempat asalnya. Aspal hitam yang kasar rupanya menyobek sebagian epedermis halus sang gadis. Membuat luka dan darah memenuhi wajah dan bagian tubuh depannya.
Mata Heeseung segera terbelalak menatap kengerian itu. Sontak tubuhnya bergetar hebat dan tangisan langsung mengucur ke pipinya. "Yoona yaaaa....." teriakannya sangat memilukan bagi siapapun yang mendengarnya.
Tapi sayang ... tak ada orang disepanjang jalan itu. Hanya burung-burung sajalah yang hinggap di ranting menyaksikan kepedihan hati Heeseung.
Tanpa perintah, Heeseung lantas berlari memeluk tubuh gadis kecil yang dalam kondisi mengenaskan itu. Dipeluknya hingga separuh tangannya ikut bersimbah darah. Diciumnya pucuk kepalanya. Dan ia meraung meminta tolong adanya keajaiban akan semua ini.
"Yoona yaaa. Ku mohon bertahanlah." Heeseung menggoyang-goyangkan tubuh mungil di pangkuannya. Namun nihil ... tak ada reaksi yang direspon oleh gadis bernama Yoona.
Hingga perlahan detak jantung Yoona mulai melemah. Membuat Heeseung panik dibuatnya. "Yoona ya ... yoona ya kumohon jangan pergi," pintanya lagi dengan suaranya yang sudah tercekat sakit di tenggorokan.
Tapi naas, kematian tak mengenal kata damai. Jika ia telah tiba, mau tak mau, siap tak siap, ada atau tidaknya perpisahan, maka ia akan datang menjemput. Heeseung yang baru saja hendak membopong gadis itu untuk membawanya ke rumah sakit mendadak lesu saat menyadari tanda-tanda kehidupan tak ditemukan lagi pada Yoona. Tubuh dingin yang tak bernafas lagi itu telah membuat separuh kecerian Heeseung lenyap. Pergi bersama jiwa suci yang akan menuju surga sana.
Detik itu, Heeseung membenci dirinya sendiri yang mengalihkan pandangannya dari objek nyata favoritnya hanya untuk menggambar di kertas putih ini. Jika saja ia tidak lengah, maka Yoona dapat diselamatkannya.
Sementara itu, mobil yang berpacu dalam kecepatan tinggi berakhir terjerembap dalam jurang yang berada di sisi jalan. Asap mengepul, terbang dan melayang diatas sana. Membuat sekelompok kecil penduduk sekitar datang kesana.
Heeseung tak peduli dengan mereka semua. Ia hanya memfokuskan perpisahan sepihaknya dengan gadis kecil yang sudah tak bernyawa lagi itu. Tidak ada jawaban balik, tapi setidaknya Heeseung menjadi orang terakhir yang memeluknya disaat sekarat. Dan itu cukup membuat Heeseung balik menjalani hari.
Sekali lagi Heeseung memejamkan matanya, untuk membisikkan kata good bye pada ruh Yoona yang berpisah dari raganya.
.
.
"Heeseung, kau tertidur lagi?" wanita berambut sebahu itu menyadarkan Heeseung dari posisi tidurnya yang memalingkan wajah dan menyenderkannya ke kaca bus. Ah ... mimpi itu lagi-lagi menghampirinya.
"Hmmm." Dehaman kecil dari Heeseung keluar dari bibirnya menjawab pertanyaan wanita yang ternyata adalah ibunya.
"Kau mengapa tidak tertarik sekali sih pindah ke Seoul?" ibunya masih terus mengomelinya sepanjang perjalanan. Kalau dihitung-hitung, perjalanan yang menguras waktu lima jam itu telah membuat Heeseung jatuh tertidur sepuluh kali, dengan yang ini.
Sebetulnya Heeseung hendak memprotes perlakuan ibunya yang kelewat cemas, takut-takut Heeseung tertinggal didalam bus karena keenakan tidur. Padahal ia kan hanya hendak beristirahat sejenak dari lelahnya perjalanan.
"Tidak ada yang spesial disana bu," jawabnya acuh.
"Ibu tidak ingin mendengar jawaban yang seperti itu keluar dari mulutmu ya."
"T-tapi memang itu alasan" –ibunya segera memotong perkataan Heeseung yang belum selesai ia utarakan.
"Aish, ibu bertanya pada diri sendiri. Ibu tak menyuruhmu menjawabnya," gerutu wanita paruh baya itu kesal.
Sama kesalnya dengan Heeseung yang tak pernah paham watak ibunya. Kadang bahkan lebih sering wanita yang melahirkannya itu bertindak tidak jelas. Minta dibantu untuk melakukan ini itu tetapi giliran Heeseung baru saja ingin beranjak membantu, omelan khasnya itu menyuruh Heeseung untuk berdiam saja. Katanya lebih baik melakukannya seorang diri tapi setelah itu tetap saja mengeluh, merasa tersakiti seorang diri seakan semua pekerjaan ini ditanggung olehnya.
"Heeseung!" panggil ibunya lagi.
Yang dipanggil itu hanya menoleh.
"Kau tak suka dengan pekerjaan ibu? Apakah kau malu?"
Heeseung menggenggam tangan ibunya. "Ibu hanya satu-satunya keluarga yang kupunya. Selama ibu ada di bumi ini, apapun pekerjaan ibu atau yang ibu lakukan, aku sangat bangga. Bangga sekali."
Lantas ibunya langsung menarik lengan Heeseung agar tubuh jangkung itu berhasil jatuh dalam pelukannya. Anak lelakinya ini merupakan satu-satunya sumber penyemangat dari sulitnya hidup ini. Entah harus seberapa besar rasa syukur yang ia panjatkan akan kehadiran sosok malaikat penghiburnya. Yang terpenting dalam setiap hembusan nafasnya, akan selalu ada doa untuk hidup Heeseung yang lebih baik.
"Oh ya ... kau sudah melihat bagaimana bentuk sekolah barumu itu?" tiba-tiba ibunya bertanya.
Kepala Heeseung hanya menggeleng menjawabnya.
"Yah ... bukankah ibu sudah bilang kalau lihat dulu, agar kau tak terkejut melihat betapa mewahnya sekolah barumu. Katanya itu sekolah menengah atas terbaik di Seoul. Kau beruntung sekali bukan dapat bersekolah dengan anak-anak pejabat negri, pebisnis, dokter dan profesi hebat lainnya. Siapa tahu kau kecipratan suksesnya mereka."
"Ibu ... aku ini bisa sukses dengan standar hidupku sendiri," timpal Heeseung.
"Iya ibu percaya. Tapi sesampainya di rumah tuan nanti, kau harus menunjukkan kesopanan dan rasa hormat yang tinggi padanya. Bayangkan betapa baiknya dia pada kita. Esok kalau kau menjadi orang kaya, kau harus bersikap dermawan sepertinya. Paham!"
Heeseung mengangguk, lalu menatap pemandangan kota Seoul dibalik kaca bus. Ternyata begini rasanya melihat langsung gedung-gedung megah pencakar langit yang selama ini hanya ditontonnya dari monitor televisi. Maklum, seumur hidupnya hanya dihabiskan di sebuah desa terpencil di Korea Selatan.
Tapi tetap saja, kota ini masih belum merebut kata spesial dari hatinya. Entahlah esok atau lusa.
.Ah baru bab pertama udah disuguhi sad story, gpp kan ya.
Btw gimana guys harinya? Semoga lancar selalu ya.Buat kalian yang mau merantau atau lagi di tanah rantauan, tetap semangat ya! Ga mudah emang, tapi ada mimpi yang harus kita gapai dan ada orang2 yang menunggu kesuksesan kita💜
Big luv
Sumy
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Lies | Enhypen ver
Fanfiction"Bagaimana bisa kau yang dielukan bak superhero di sekolah mencintai gadis pembully?" "Dia juga manusia bukan? tahu apa kamu tentangnya!" Dialah Heeseung, lelaki yang sangat membenci kebohongan tapi berakhir menaruh rasa pada gadis angkuh yang berta...