02. Tempat teraman

9 2 0
                                    

Kaki Heeseung menapaki halaman dari rumah dengan arsitektur super mewah nan elegan. Tak henti-hentinya matanya itu mengerjap takjub dan sesekali kata 'wah' meluncur dari bibirnya. Heeseung tak dapat berbohong, nyatanya memang rumah ini menakjubkan sekali. Mana ada bangunan seperti ini di desanya dulu.

Sambil membantu supir taksi itu mengeluarkan beberapa koper dan tas dari bagasi mobil, retina Heeseung tak sengaja menangkap seorang gadis yang mengenakan piyama di balkon atas sana. Gadis itu mengambil ponsel di sakunya, lantas mengulurkan tangannya keatas untuk melakukan selfie camera.

Dari sisi samping Heeseung sudah dapat menebak bagaimana hasil selca itu. Dengan gaya dua jari yang disematkan di pipinya, pastilah gadis itu membuat wajahnya sok diimut-imutkan. Heeseung memang belum melihat bagaimana rupa gadis itu dari depan. Tapi kalau dilihat dari postur tubuhnya yang mungil dan tingkah lakunya, sepertinya gadis itu amatlah lucu.

Ah ... rambut panjangnya yang menjuntai juga piyama soft pink itu kembali mengingatkannya pada Yoona. Satu-satunya adik perempuan Heeseung yang amat disayanginya.

Heeseung menarik senyum simpul kala gadis itu pergi dari pandangannya. Lalu sembari menarik koper dan menggendong ransel besarnya, ia bertanya pada ibunya yang barusan selesai membayar ongkos taksi.

"Apakah tuan mempunyai anak perempuan?"

"Iya. Memangnya kenapa?" ibunya balik bertanya.

"Ah itu ... tadi aku melihat anaknya. Lucu sekali dia bu, sepertinya mirip dengan Yoona. Kurasa dia baru saja menginjak bangku SMP. Yoona juga kalau masih hidup pasti seumuran dengannya."

"Jangan berandai-andai. Itu tidak baik." Kedatangan mereka disambut oleh para asisten lain yang juga tinggal di rumah megah ini. Masing-masing tersenyum pada Heeseung dan ibunya. "Yang hidup tetaplah harus melanjutkan kehidupan ini," bisik ibunya memberi nasehat.

Lantas setelah itu ibu Heeseung langsung memperkenalkan diri juga putranya. Para asisten itu memuji betapa tampannya Heeseung. Jika dipoles sedikit saja, Heeseung dapat bersanding dengan para model majalah terkenal.

"Tentu saja. Heeseung kan anakku, maka dari itu dia tampan karena menurun dari..." –Heeseung langsung menyambar ucapan ibunya. "Dari mendiang ayahku. Dulu beliau memang tampan sekali. Bahkan konon katanya hendak debut menjadi seorang aktor. Tapi itu semua gagal karena..." –kali ini ibunya yang balas dendam memotong omongan Heeseung.

"Ah sudahlah. Kita cukupi dulu perkenalan ini. Saya sepertinya harus bertemu dengan kepala asisten." Mata ibunya melotot tajam pada Heeseung. Kesal sekali dengan anaknya yang menceritakan hal itu pada orang yang baru dikenalnya.

"Tentu saja ahjumma. Aku dapat membantu Heeseung membawa barang-barang menuju kamarnya," ucap salah satu asisten yang sedikit lebih muda dari yang lainnya dengan suara yang mendayu-dayu.

"Tak usah. Biarkan Heeseung diantar oleh pak Choi saja," elak yang lainnya. "Iya lagi pula kau masih ada tugas bukan? Awas nanti ketahuan kepala asisten," tuding lainnya.

"Yah, Heeseung-ah. Noona minta maaf yah." Asisten yang lebih muda itu melambai sambil terus mengedipkan matanya dengan centil.

Heeseung yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum risih. Setelahnya ia dibantu pak Choi, supir pribadi di keluarga kaya ini ke kamar untuknya dan ibunya.

.

.

Disinilah, di kamar yang ukurannya tak seberapa besar dengan perabotan seadanya, Heeseung dan ibunya akan tinggal. Kamar khusus asisten yang mempunyai dapur dan kamar mandi kecil ini hanya terdapat dua jumlahnya didalam rumah, satu untuk keluarga pak Choi dengan istri yang juga bekerja sebagai asisten laundry dan anaknya yang duduk di bangku akhir sekolah dasar. Dan yang terakhir untuk dirinya dan ibunya. Sedangkan untuk asisten lain yang tidak berkeluarga, mereka disatukan dalam satu ruangan.

Perjalanan ibunya bisa sampai diterima bekerja disini, mulanya hanya karena menolong seorang wanita yang mobilnya terjebak di jalanan berlumpur saat hujan badai menerpanya ditengah perjalanan desa. Lalu ibunya membawa nyonya Hwang ke rumah untuk dilayani dan diberi penginapan.

Wanita itu berkali-kali mengatakan jatuh cinta dengan masakan ibunya, hingga memakannya begitu lahap. Padahal ia mengatakan kalau sudah seminggu ini nafsu makannya menghilang, semua makanan sedap terasa hambar di lidahnya.

Akhirnya wanita itu menawarkan pekerjaan pada ibu Heeseung untuk menjadi juru masak di rumahnya yang berada di Seoul. Ibunya sangat bahagia mendapat tawaran berharga itu. Bayangan tentang kesuksesan Heeseung kelak di ibu kota sana menari-nari di pelupuk mata ibunya.

Jadi, langsung saja ibunya mengabari Heeseung tentang berita gembira itu. Awalnya Heeseung menolaknya. Ia tak dapat meninggalkan tanah kelahirannya yang berisi banyak kenangan akan kisahnya bersama mendiang ayah dan Yoona. Setiap jengkal tanah dan secuil barang sangat berharga baginya.

Tetapi ibunya mengancam akan meninggalkannya sendirian disini. Heeseung terpaksa mengikuti ibu ke Seoul. Ia tak ingin berpisah dengan satu-satunya keluarga yang dimiliki. Dengan berat hati, Heeseung meninggalkan desa yang amat dicintainya itu.

Bersama sang ibu, Heeseung merajut kembali impian di kota metropolitan nomor wahid di Korea Selatan. Pemuda desa itu tahu betapa rancunya tinggal di kota. Banyak orang mengadu nasib demi mencari pundi-pundi uang tanpa memikirkan sifat kemanusian. Penipuan, penyuapan, pembunuhan, pencurian dan lain-lain.

Seoul akan berbeda dengan desanya yang penuh kedamaian dalam keterbatasan. Seoul yang menjadi destinasi banyak orang diluar sana penuh kejahatan dalam kelengkapan. Dan Heeseung harus lebih bertarung lagi dengan kehidupan ini.

Tetapi setidaknya di kamar ini. Di kamar yang luasnya hanya mungkin tak mencapai satu persen dari keseluruhan luas rumah ini. Heeseung memiliki tempat paling aman dari ganasnya kehidupan kota. Setidaknya ada satu orang yang dapat dipercayainya disini.

"Nak Heeseung, kalau sudah bersih-bersih nanti. Kau dapat bergabung makan siang dengan kami di ruang makan bawah. Datanglah! Mungkin ibumu juga telah berada disana," ajak pak Choi.

"Baik pak. Nanti saya akan segera menyusul," jawabnya sopan.

Heeseung segera merapihkan dan menata barang-barang. Perabotan di kamar ini banyak sekali yang sudah tidak layak pakai dan membuatnya terpaksa membuangnya. Ia juga membersihkan sawang-sawang di langit-langit atap. Hingga tak kerasa jikalau tempat sampah disampingnya telah menggunung.

"Aku tidak tahu lagi dimana tempat membuang sampahnya," keluh Heeseung berucap seorang diri.

Ia lalu memutuskan untuk keluar dari kamar itu dan menyusuri anak tangga menuju lantai bawah. Tempat tinggal para asisten memang terpisah dari rumah megah milik wakil wali kota Seoul bernama Hwang In Yeop. Serta istrinya, seorang wanita yang ditolong ibu Heeseung itu bernama Lee Se Jin. Pasangan suami istri itu kerap dipanggil oleh para asisten dengan nama tuan Hwang dan nyonya Hwang. Heeseung tak tahu berapa anak yang pasutri itu miliki. Tetapi, gadis yang ia lihat di balkon itu mungkin salah satunya.

Mengandalkan insting dan feeling-nya, ia memilih menuju lorong dari arah kanannya. Ia terus berjalan sambil menenteng tong sampah di tangannya. Setelah melihat ujung dari lorong tersebut, Heeseung setengah berlari menuju kesana. Oh ... tapi rupanya jalan yang dipilihnya ini merupakan parkiran mobil milik keluarga kaya itu.

Heeseung memutuskan untuk balik badan, hendak kembali ke lorong satunya. Mungkin disana letak ruang makan bawah yang dimaksud pak Choi. Tetapi baru saja kaki Heeseung hendak melangkah, tiba-tiba suara tangisan seorang wanita terdengar di telinganya.

Otaknya langsung merespon cepat untuk menoleh. Dan pandangannya seketika disugukan oleh gadis yang dilihatnya di balkon tadi. Ia sedang berjongkok dibalik deretan mobil sambil meremas boneka kelinci berwarna soft pink.

Oh my God! Ini kembali mengingatkannya pada Yoona lagi.

Namun ketika Heeseung ingin menghampirinya. Panggilan dari pak Choi malah mengejutkannya. "Heeseung! Kau salah memilih jalan," ucap pak Choi sedikit berteriak.

Heeseung yang dipanggil itu lantas menolehkan kepalanya kembali. "Ah iya pak. Ini baru saja aku hendak berbalik arah menuju sana," jawabnya. Heeseung mencoba untuk melihat lagi ke belakang. Ia penasaran apa yang terjadi pada gadis itu. Tapi gadis itu telah lenyap dari parkiran sana.

Ah sudahlah, gadis yang baru beranjak remaja kan memang sering merajuk dan menangis tidak jelas, pikirnya. Heeseung lalu melanjutkan jalannya menuju ruang makan para asisten.    

Blue Lies | Enhypen verTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang