Tertatih

222 23 27
                                    

Pagi yang cukup sejuk dibanding seperti biasanya, efek hujan semalam masih terasa. Bahkan mataharipun masih malu-malu menampakkan dirinya. Ia masih bersembunyi di balik mendungnya awan. Hanya semburat cahaya kuning yang terbentuk di awan. Bekas air hujan membasahi dedaunan di halaman, rumput juga masih basah.

Aku mengintip jalan kompleks depan rumah, masih sepi. Tentu saja, weekend dengan hawa yang lebih menyenangkan untuk bergelung di kasur pasti membuat para tetangga juga akan melakukan hal sama. Lain halnya aku, yang masih memiliki jadwal shift pagi saat weekend ini sudah sibuk dengan si Ginger yang loncat kesana kemari dengan kertas nota belanja yang entah kapan dia dapat. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya. Berbagai macam mainan mahal ku belikan tapi tetap saja sesobek kertas nota belanja lebih menyenangkan untuk kucing betina satu-satunya di rumah ini.

Aku menyeruput kopi di cangkirku, lalu meraih tas ransel sebelumnya kucek tempat makan Ginger yang sudah terisi catfood kesukaannya. Setelah mengecek barang bawaanku, aku segera meraih kunci mobil dan tak lupa mengusap dagu Ginger yang langsung menjatuhkan dirinya di lantai menandakan ia menyukainya.

"Bye, kucing baik!" pamitku, sebelum menguncinya. Aku tertawa melihat Ginger berdiri di tepi jendela seolah mengantarku berangkat kerja, kulambaikan tangannku sebelum bergegas masuk ke mobil.

Begitu berada di balik kemudi dan mesin pun menyala, sontak rasa sepi menyerangku. Inilah yang tidak kusukai dari diriku sendiri. Begitu merasa sendiri semua kenangan-kenangan juga masalah itu menyerangku bertubi-tubi. Hal itu diperparah dengan salah satu lagu dalam playlistku berputar. Fine, oleh Taeyeon, salah satu lagu yang selalu ku putar.

When one day, one month, one year passes
You said you'd probably smile and reminisce but

Not me
It will not be easy for me
Still, you fill up my days
Not yet
I tell myself, like a fool
I can not swallow the words that linger in my mouth
It's not fine
Ah ah ah ah it's not fine

Ya, sudah setahun berlalu namun bayangmu masih di pikiranku. Bahkan, semakin ku ingin melupakan kamu masih ada di sana. Kamu sudah terlalu menguasai hidupku. Bahkan disetiap langkahku kamu masih ada. Tak ada niat kah kau pergi?

Selalu itu yang ku ucapkan saat lagu ini berputar. Orang-orang pikir aku telah baik-baik saja. Orang lain pikir aku bahagia. Aku hanya berakting sebaik mungkin agar orang lain percaya aku bahagia. Aku berpura-pura tersenyum, senyum yang tak sampai hati. Tawa pun juga kulakukan namun, lagi-lagi itu hanya menutupi semua kehancuranku.

Sesungguhnya, bukan murni ulah kamu yang memilih pergi. Namun, kondisi keluargaku juga yang jauh dari kata baik-baik saja membuatku semakin jatuh. Berdiri kokoh seolah tak pernah rapuh. Bejalan tegak seolah tak pernah tertatih. Tertawa bahagia seolah tak ada tangis.

Aku, berada di titik terendah. Rasanya aku ingin menyerah. Disaat kubutuh sosok yang bisa menopangku, dia memilih pergi. Iya itu kamu. Bahkan aku tak pernah bisa menanyakan alasannya kenapa. Disaat itu pula langkahku terseok dan aku pun jatuh. Masih berusaha tertatih dalam melangkah. Entah sampai kapan aku bisa bertahan.

Andai, aku menyerah dan memutuskan berhenti, apa yang terjadi padaku?

Between the meaningless jokes, back-and-forth conversations
And all the people, I look like I'm fine
I pretend to be numb and I try to smile
I try to turn around from your shadow but

I keep thinking
About our last moment
The words "take care" was it for our plain breakup
Not yet
I tell myself, like a fool
I can not swallow the words that linger in my mouth
It's not fine...

Kulirik smart watch di pergelangan tanganku, sudah saatnya pulang karena shiftku telah usai. Setelah berganti pakaian, aku pun berpamitan dengan rekan-rekanku yang masih sibuk berbincang. Aku memang menghindari itu, aku malas berbicara basa-basi sekarang.

Sebelum benar-benar pergi aku mencari sahabatku, Luna terlebih dulu. Ia akan sewot jika aku pergi terlebih dulu. Namun setelah aku tanya ke rekan-rekanku yang lain, Luna masih di SDM katanya melengkapi berkas setelah ia menikah. Mungkin, nanti ku kirim pesan saja.

Aku pun tiba di sebuah taman yang tak jauh dari rumah sakit tempatku bekerja. Entah kenapa aku suka disini. Sejak pandemi, dan dilarang berkumpul taman ini cenderung sepi. Aku bisa duduk berlama-lama di sini sambil merenungi apa yang terjadi padaku. Kadang, dari sini juga aku bisa menekuni hobiku menulis kembali. Hanya sekedar menulis sesuatu di sebuah laman novel digital.

Ku berjalan ke arah kursi taman di sana. Memandangi sekitar taman yang tertata rapi meski pengunjung tak seramai dulu. Hanya beberapa orang yang menikmati suasana taman. Ku pasang airpods lalu menyalakan lagu Fine kembali, kemudian ku pejamkan mataku. Seperti biasa, rasa sesak itu datang dan semua pertanyaan yang tak bisa terjawab itu muncul di kepalaku. Kenapa terjadi? Kenapa harus aku? Apa salahku? Apa karena aku?

Lagunya pun selesai, kubuka mataku perlahan. Ada sosok laki-laki berseragam PDL, yang hampir saja membuatku terkejut tengah berdiri di depanku.

"Haish, kamu ngapain di sini? Katanya jaga, udah selesai?" kesal ku.

"Udah, langsung diculik sama Devanka. Tadi ada yang cerewet minta dicariin sahabatnya yang katanya habis shift ngilang," jelas lelaki di depanku. Aku hanya memutar bola mataku, pasti Luna.

"Luna?" Lelaki itu hanya mengangguk dan mengangsurkan sapu tangannya. Aku hanya menatapnya heran.

"Diusap dulu air matanya." Lelaki ini dengan seenaknya maju selangkah lalu menyerahkan sapu tangannya di tanganku. Ia pun duduk di sebelahku.

Aku segera mengusap ujung mataku, ternyata aku tanpa sadar menangis sewaktu memejamkan mata.

"Makasih, aku bawa ya nanti aku cuci dulu," ijinku. Ia hanya menganggukkan kepala.

"Seberat itu, Ra?" tanya Fatih, lelaki di sampingku ini. Aku hanya diam, enggan memberikan jawaban. Aku sedikit kurang nyaman bercerita dengan orang yang belum kukenal dekat. Meskipun Fatih ini, rekan kerja suaminya Luna yang sudah kukenal lama tapi aku masih merasa aneh menceritakan kisahku.

"Nggak perlu cerita kalau kamu belum mau berbagi," ucapnya.

"Luna cerita?"

"Nggak ada, tapi aku tahu kamu nggak baik-baik aja. Kita gak baru kenal 2 hari lalu, Naura," jelas Fatih. Aku menghela nafas. Ia benar, kadang aku sering meminta bantuannya. Wajar ia tahu bahwa aku tak baik-baik saja. Ku tatap ia sejenak.

"Kita ngomong di mobil aja ya, nggak nyaman cerita di sini," ajakku.

"Aku juga baru mau mengusulkan itu." Ia pun beranjak berdiri mengikutiku.

"Motormu?"

"Aku di drop Devanka sama Luna tadi, dia liat mobilmu di parkiran jadi aku disuruh turun."

"Loh, Luna tahu?" Fatih hanya mengangguk. Kalau begini jelas modusnya Luna ngirim si Fatih. Dia emang semangat banget jodohin aku sama teman suaminya ini. Tapi, apa Fatih masih mau sama aku habis dengerin ceritaku ini?

Kami berjalan dalam diam menuju kendaraanku. Aku menyiapkan diriku jika setelah Fatih tahu semua tentangku, ia mundur pun tak masalah. Aku masih sosok Naura yang susah move on. Naura yang berasal dari keluarga berantakan. Juga Naura yang sulit membangun kepercayaan dengan lelaki lagi.

'Mari kita liat Fatih, apakah kamu mundur atau justru sebaliknya?'

Bersambung..

———
Maaf 😅🤣 its okey love nya terabaikan, ideku mentok. Malah bikin short story lagi 😂🤣

Selanjutnya dari hello&goodbye beberapa akan diboyong kesini. 😂🤣

Semarang, 1/3/2021

The FootpathsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang